Indonesia, Avengers di Tengah Perang Dagang?

22 Oktober 2018 12:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
The Night King di 'Game of Thrones'. (Foto: Game of Thrones)
zoom-in-whitePerbesar
The Night King di 'Game of Thrones'. (Foto: Game of Thrones)
ADVERTISEMENT
Daenerys Targaryen dan Cersei Lannister terlambat menyadari bahaya yang ada. Mereka terlalu lama sibuk dengan politik perebutan takhta Iron Throne. Akibatnya, mereka abai dengan peringatan Winter is coming yang kerap diucapkan oleh klan Stark.
ADVERTISEMENT
Ketika itulah The Night King, pemimpin para White Walker―dengan menunggang naga-nya: Viserion―berhasil menghancurkan The Wall, benteng pelindung kerajaan manusia yang terletak di ujung utara Westeros. Sebagian benteng itu akhirnya rubuh. Pertanda dimulainya invasi ribuan mayat hidup ke Westeros yang dihuni manusia.
Di Bali, Jumat (12/10), pidato Presiden Joko Widodo berhasil membius delegasi peserta Plenary Session Annual Meeting IMF-World Bank. Kepada para petinggi institusi Bretton Woods dan pimpinan bank sentral dari berbagai negara itu, ia memperingatkan: Winter is coming.
Di dunia Game of Thrones, istilah Winter is coming―yang ditekankan Jokowi―merupakan bentuk kearifan lokal klan Stark, penduduk Winterfell. Istilah itu dipakai untuk mengingatkan mereka untuk selalu awas terhadap ancaman White Walker dari utara.
ADVERTISEMENT
Sementara Jokowi menghidupkan istilah dari dunia fiksi itu ke ranah ekonomi politik internasional. Term tersebut digunakan sebagai analogi untuk memperingatkan bahaya lain di balik perang dagang yang melibatkan dua raksasa perekonomian global: Amerika Serikat dan China.
Presiden Jokowi menyampaikan pidato sambutan pada Pertemuan Tahunan IMF-World Bank 2018 di Nusa Dua, Bali. (Foto: ANTARA FOTO/ICom/AM IMF-WBG/Puspa Perwitasari)
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Jokowi menyampaikan pidato sambutan pada Pertemuan Tahunan IMF-World Bank 2018 di Nusa Dua, Bali. (Foto: ANTARA FOTO/ICom/AM IMF-WBG/Puspa Perwitasari)
“Negara-negara yang tengah tumbuh, juga sedang mengalami tekanan pasar yang besar. Dengan banyaknya masalah perekonomian dunia, sudah cukup bagi kita untuk mengatakan bahwa: winter is coming.”
Melalui pidato sepanjang 14 menit itu, ia ingin mengingatkan ancaman lain di balik perang dagang yang mengintai negara-negara di dunia. Menurut Jokowi, ancaman yang perlu diperhatikan oleh masyarakat internasional meliputi, ancaman perubahan iklim, pencemaran lingkungan, dan krisis ekonomi global.
Ia mengimbau negara-negara maju maupun berkembang untuk menurunkan tensi rivalitas dan kompetisi. Sebaliknya, Jokowi mendesak negara-negara dunia untuk melakukan kolaborasi dan kerja sama internasional untuk menanggulangi ancaman tersebut.
Jokowi di Bali Fintech Agenda (Foto: Dok. Biro Pers Setpres)
zoom-in-whitePerbesar
Jokowi di Bali Fintech Agenda (Foto: Dok. Biro Pers Setpres)
“Untuk itu, kita harus bertanya apakah sekarang merupakan saat yang tepat untuk rivalitas dan kompetisi? Sekali lagi, apakah sekarang ini merupakan saat yang tepat untuk rivalitas dan kompetisi? Ataukah saat ini merupakan waktu yang tepat untuk kerja sama dan kolaborasi?” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Pidato itu memukau hadirin yang berisi para petinggi negara, Bank Dunia, dan IMF. Sambil mengulum senyum, Jokowi menerima tepuk tangan meriah hingga standing ovation dari peserta delegasi yang hadir. Para petinggi IMF dan World Bank pun ikut angkat topi.
Presiden Bank Dunia, Jim Yong Kim, berkelakar bahwa rasanya ia ingin pulang karena minder setelah mendengar pidato Jokowi sebagus itu. Sementara Managing Director IMF Christine Lagarde menyebut pidato Jokowi luar biasa bagus dan “telah meningkatkan standar pidato kita.”
“Ini saatnya kita pulang karena kita tidak bisa lebih bagus dari itu (pidato Jokowi),” ujar Yong Kim.
Tidak kali itu saja Jokowi menggunakan perumpamaan yang berasal dari film-film terkini. Dalam pertemuan World Economic Forum on ASEAN di bulan September lalu, Jokowi menyinggung kondisi perekonomian global yang mengarah pada perang tak terbatas atau Infinity War, seperti judul film The Avengers: Infinity War.
ADVERTISEMENT
Tidak mengherankan jika pidato-pidato tersebut menarik perhatian kelompok milenial di Indonesia. Sebab pilihan film yang dikutip oleh Jokowi merupakan film-film terkini dengan basis penggemar kelompok muda dan menengah perkotaan.
Bahkan politisi muda Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Tsamara Amany, berkata retorika Jokowi mengingatkannya pada pidato Bung Karno. Menurutnya, kesamaan pidato Jokowi dengan Bung Karno adalah sama-sama menawarkan jalan tengah di tengah menajamnya pertentangan ekonomi politik internasional.
“Pak Jokowi menunjukkan bahwa Indonesia ingin menjadi katalisator penengah perang dagang,” ujar Tsamara yang juga merupakan Juru Bicara Jokowi-Ma’ruf.
Bung Karno pernah melakukannya dalam konteks Perang Dingin dan saat kolonialisme yang masih bercokol di negara-negara Asia dan Afrika. Sementara Jokowi tengah mencobanya kini di tengah perang dagang yang kian memanas.
Sinema dalam Pidato Jokowi. (Foto: Basith Subastian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Sinema dalam Pidato Jokowi. (Foto: Basith Subastian/kumparan)
Peluang
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, menurut beberapa pengamat, Indonesia tidak akan banyak terkena imbas perang dagang secara langsung. Sebab, negara kita tidak berpartisipasi dan berpengaruh terlalu dalam pada perdagangan internasional.
Menurut pengamat ekonomi internasional Universitas Indonesia, Fithra Faisal Hastiadi, secara peringkat global production network Indonesia masih berada di bawah negara-negara lain, bahkan di lingkup ASEAN. Indonesia masih berada di bawah Thailand, Malaysia, Vietnam, dan bahkan Filipina.
“Karena apa? Karena mereka sudah membangun basis industrinya dengan cukup kuat dan kemudian mereka sangat agresif dalam melakukan pembangunan internasional. Nah, sementara kita masih sangat terbatas,” ujarnya ketika dihubungi kumparan, Rabu (17/10).
Hal tersebut membuat kontribusi perdagangan internasional terhadap pertumbuhan ekonomi―yang diukur lewat produk domestik bruto―relatif terbatas. Pada tahun 2017 lalu, menurut data Badan Pusat Statistik, neraca perdagangan internasional negara kita mencatatkan surplus sebesar USD 11,84 miliar. Sementara nilai PDB Indonesia pada tahun yang sama mencapai nilai USD 1,01 triliun.
ADVERTISEMENT
Kontribusi sektor perdagangan secara umum terhadap PDB adalah sebesar 13,01 persen. Masih di bawah sektor industri, sebesar 20,16 persen, dan pertanian yang berkontribusi sebesar 13,14 persen.
Jokowi di Rapat Pleno KTT ke-32 ASEAN (Foto: Dok. Istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Jokowi di Rapat Pleno KTT ke-32 ASEAN (Foto: Dok. Istimewa)
Di lingkup ASEAN, rasio perdagangan terhadap PDB Indonesia tergolong yang paling rendah. Berdasarkan data Aseanstats―divisi di ASEAN yang menyediakan data statistik, rasio perdagangan terhadap PDB Indonesia hanya 35,92 persen. Lebih rendah dibanding Myanmar sebesar 50,75 persen, apalagi Singapura yang mencapai 314,89 persen.
“Kalau kita lihat dari partisipasi Indonesia dalam perdagangan internasional atau kontribusi dari sisi perdagangan internasional terhadap pertumbuhan ekonomi itu relatif masih terbatas. Sehingga kalau pun terjadi perang dagang, efeknya itu tidak akan terlalu besar,” kata Fithra menambahkan.
Meski demikian, perekonomian negara kita tetap akan terdampak apabila perang dagang masih terus berlanjut lebih lama lagi. Sebab, menurut perhitungan IMF, hal tersebut dapat menurunkan tingkat pertumbuhan ekonomi dunia.
ADVERTISEMENT
Menurut IMF, bila masih terus berlanjut, perang dagang bisa memangkas pertumbuhan ekonomi global hingga 0,5 persen di tahun 2020. Apabila tingkat pertumbuhan ekonomi dunia menurun, itu akan berdampak pada permintaan global (global demand) yang selanjutnya berdampak pada sektor ekspor Indonesia
“Dengan demikian, kalau global demand mengkerut, meskipun kita tidak terlalu terkoneksi dengan perdagangan internasional, tapi tetap saja akan ada inflation effect, akan ada imported inflation,” imbuh Fithra.
Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping (Foto: Reuters/Damir Sagolj)
zoom-in-whitePerbesar
Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping (Foto: Reuters/Damir Sagolj)
Namun, menurut pengajar Hubungan Internasional Universitas Indonesia, Shofwan Al Banna Choiruzzad, perang dagang tidak selalu berdampak buruk, karena Indonesia bisa mengambil peluang dari kondisi tersebut. Menurutnya, Indonesia dapat menggaet investor AS yang terhambat melakukan bisnis mereka di China akibat berlangsungnya perang dagang.
ADVERTISEMENT
Namun, hal itu tidak mudah karena kita mesti bersaing dengan negara lain seperti Thailand dan Vietnam. “Cuma masalahnya apakah kita sekondusif itu untuk investasi AS atau China? Makanya yang memanfaatkan itu Vietnam. Vietnam itu luar biasa. Sepuluh tahun lalu masih seperti Indonesia di 1980-an. Sekarang logistiknya sudah lebih maju dibanding kita,” papar Shofwan.
Senada dengan Shofwan, Staf Khusus Presiden, Ahmad Erani Yustika, juga menilai perang dagang bisa memberi peluang buat Indonesia. Dengan adanya perang dagang, Indonesia berpeluang meningkatkan penetrasi ekspor di kedua negara tersebut. Namun, yang perlu menjadi catatan, produk ekspor Indonesia mesti berdaya saing tinggi.
“Di pasar China, Indonesia memiliki daya saing tinggi pada produk di antaranya alas kaki, produk karet dan olahan karet dan produk olahan kayu. Sementara itu, di pasar AS, Indonesia unggul pada produk seperti alas kaki, produk olahan hewani, dan produk ikan,” jawab Erani kepada kumparan.
ADVERTISEMENT
Pertanyaannya, bisa dan siapkah Indonesia merebut kesempatan itu?
Presiden Joko Widodo di Pertemuan Tahunan IMF World Bank Group 2018 di Nusa Dua, Bali, Jumat (12/10).  (Foto: ANTARA FOTO/ICom/AM IMF-WBG/Afriadi Hikmal)
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Joko Widodo di Pertemuan Tahunan IMF World Bank Group 2018 di Nusa Dua, Bali, Jumat (12/10). (Foto: ANTARA FOTO/ICom/AM IMF-WBG/Afriadi Hikmal)
Mediator
Meski perang dagang tidak secara langsung berdampak terhadap perekonomian nasional dalam jangka pendek. Namun, Indonesia tetap dapat terseret masalah ekonomi bila kondisi ini tetap berlarut-larut.
Dalam dua kali kesempatan berpidato di forum internasional, Jokowi berhasil mencuri panggung. Ia mengingatkan bahaya perang dagang bila terus berlangsung. Tapi, apakah suara kita cukup didengar oleh dua raksasa ekonomi dunia?
Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) Dzulfian Syafrian, meragukan pidato tersebut akan punya dampak signifikan dalam upaya deeskalasi perang dagang antara raksasa ekonomi, AS vs China. Menurutnya, dalam konteks perang dagang, posisi Indonesia tak ubahnya seperti semut di antara dua gajah.
ADVERTISEMENT
“Jadi bayangkan, dua gajah sedang bertarung dan ada semut di tengah. Yang pasti kita keinjak-injak, yang pasti nanti perekonomian Indonesia juga akan terkena dampaknya, dampak buruknya,” ujar Dzulfian ketika berbincang melalui Skype dari London bersama kumparan, Kamis (18/10).
Sementara Shofwan Al Banna menambahkan, meski tidak dapat dibandingkan, setidaknya pidato Jokowi tersebut telah memberikan sinyal politik yang baik. Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana tindak lanjut dari pidato tersebut. Apakah hanya sebatas narasi atau diikuti dengan kebijakan konkret.
“Indonesia tidak kekurangan pidato atau narasi, tapi diplomasi untuk rakyat―diplomasi ekonomi. Pidatonya bagus, tapi setelah pidato apa?”
------------------------
Simak ulasan mendalam soal aksi kekinian Jokowi, Jokowi's Game of Words, di Liputan Khusus kumparan.
ADVERTISEMENT