Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Hari masih pagi dan Gianyar kuyup karena hujan. Kamis, 29 November setahun yang lalu, sekerumun orang berbagi hangat di kantor Sababay Winery di Jalan Professor Doktor Ida Bagus Mantra, Gianyar, Bali. Dingin hujan di luar tak banyak dirasa sedang mereka bersuka cita merayakan hari bersejarah.
Bersejarah, sebab hari itu mereka meluncurkan sacramental wine atau anggur misa yang dibuat oleh tangan dan dari anggur bangsa sendiri. Bersejarah, sebab hari itu adalah momen penutup dari separuh milenia ketika umat Katolik di seluruh Nusantara tak lagi harus repot-repot mengimpor anggur dari negeri lain untuk keperluan ibadah sehari-hari.
Pada hari itu, anggur misa produksi Sababay, yang sudah dua tahun belakangan coba diproduksi dan menjalani proses sertifikasi berlapis, dinyatakan Nihil Obstat atau bebas dari keberatan. Artinya, ia layak digunakan dalam perayaan ekaristi seluruh umat Katolik di Indonesia.
Disaksikan tujuh uskup dari berbagai wilayah di Indonesia, juga oleh Dirjen Bimas Katolik Kementerian Agama RI Drs.Eusabius Binsasi, dan beberapa undangan terbatas, Ketua Komisi Liturgi Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Mgr. Petrus Boddeng Timang menandatangani pernyataan Nihil Obstat tersebut.
"Setelah 500 tahun kehadiran Gereja Katolik di bumi pertiwi, baru kali ini kita mulai menggunakan produk lokal untuk kebutuhannya," ujar Mgr. Petrus saat itu kepada khalayak yang hadir.
Pada 1546 Santo Fransiskus Xaverius tiba di Indonesia; bermukim satu tahun di Pulau Ambon, Saparua, serta Ternate; dan membaptis ribuan warga sekitar. Namun, belum pernah sekalipun dari waktu tersebut umat Katolik di Indonesia mampu menyediakan anggur untuk peribadatannya sendiri.
Memang, anggur buat ibadah misa umat Katolik punya standar khusus dan diatur dengan rigid oleh Vatikan. Itu sebabnya gereja Katolik di Indonesia mengimpor anggur tersebut dari produsen di luar negeri yang sudah terjamin. Sejak 1974, keperluan anggur misa untuk perayaan Ekaristi Gereja Katolik di Indonesia diimpor dari kebun anggur Sevenhill Cellars, winery yang dibangun pada abad ke-19 oleh imam Jesuit asal Austria di Lembah Clare, Australia Selatan. Sebelum itu, konon anggur misa diimpor dari Spanyol.
Kini, setelah 44 tahun setia mengimpor anggur dari Sevenhill Cellars, gereja Katolik di Indonesia mulai menyediakan anggur untuk ibadah dari dalam negeri. Pada 2019, 50 persen anggur di gereja Katolik di Indonesia sudah berasal dari Sababay, sementara sisanya masih menggunakan sisa impor 2018 dari Sevenhill.
Rencananya, pada 2020, 35 ribu liter anggur yang dibutuhkan 37 keuskupan di Indonesia per tahunnya (berdasar data impor 10 tahun terakhir), sudah akan 100 persen menggunakan sacramental wine dari Sababay Winery.
Swasembada anggur, setelah 20 tahun menjadi wacana, akhirnya menjadi kenyataan.
Dua Dasawarsa Wacana Swasembada
Sejatinya gagasan tentang swasembada anggur misa pertama kali dicetuskan wartawan Floribertus Rahardi dalam tulisannya di Tabloid Kontan pada awal tahun 2000-an. Gagasan tersebut tidak menggema, berhenti begitu saja tanpa ada langkah konkret menyertai.
Memasuki 2010, gagasan swasembada anggur kembali muncul dalam Sidang Sinodal KWI. Meskipun para uskup belum memberi rekomendasi terhadap usulan swasembada itu, di rentang 2010-2011 upaya penjajakan swasembada anggur mulai menggeliat. Contohnya adalah workshop anggur misa di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta pada 30 April 2011. Meski muncul upaya baru, geliat untuk swasembada tersebut ngadat dan tak ada kelanjutan. Gereja menganggap industri dan standar anggur di Indonesia belum siap.
Sementara itu, proses impor minuman beralkohol semakin sulit. Harga anggur, yang dibayar dengan valuta asing, makin mahal. Ketatnya regulasi impor minuman beralkohol di Indonesia juga menambah waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan anggur ibadah tersebut.
Dari proses permintaan rekomendasi di Kementerian Agama agar barang peribadatan yang diimpor bebas bea masuk, menentukan jumlah produksi, negosiasi harga dengan Sevenhill, pengurusan dokumen, pengiriman dari Australia, sampai ke distribusi sampai 37 keuskupan di Indonesia diperlukan waktu sekitar satu tahun.
Belum lagi soal bagaimana pemerintah tak begitu paham soal peribadatan umat Katolik. Anggur misa dipandang sama dengan minuman beralkohol pada umumnya. Ini, menurut Romo Agustinus Surianto Himawan, membuat petugas Bea Cukai di lapangan bingung melihat puluhan ribu liter minuman keras impor tiba di Indonesia.
“‘Ini jangan-jangan dijual. Jangan-jangan diminum?’ Anggur misa dipandang sama dengan minuman beralkohol pada umumnya. Regulasi Indonesia amat ketat untuk urusan Minuman Mengandung Etil Alkohol (MMEA)," ujar Romo Agustinus, Kepala Departemen PSDM-PU-TG KWI, kepada kumparan di Kantor KWI, Cikini, Senin (23/12).
Bahkan karenanya, KWI memutuskan untuk mengubah periode impor yang biasanya tiga tahun sekali menjadi dua tahun sekali, yakni pada 2012, 2014, 2016, 2018 dengan jumlah 61.600-70.400 liter sekali impor.
Perkembangan terjadi pada Rapat Presidium KWI bulan Agustus 2016, ketika wacana swasembada anggur misa produksi kembali hadir. Saat itu Romo Agustinus mengepalai Departemen PSDM-PU-TG KWI, yang salah satu tugasnya adalah mengurus ketersediaan anggur misa. Ia tahu betul betapa sulitnya mengurus impor anggur misa. Pada rapat tersebut, Romo Agus meyakinkan bahwa mendesak agar gagasan ini segera direalisasikan.
Rapat tahunan KWI tersebut kemudian membedah tiga hal yang harus dipecahkan soal ide swasembada anggur. Yang pertama adalah mengenai kemampuan winery di Indonesia (soal mutu dan standar), sustainabilitas untuk memasok semua kebutuhan anggur misa secara nasional sebanyak 33.000-44.000 liter per tahun, ketiga soal penentuan harga yang belum tentu bisa kompetitif bila dibandingkan impor.
Untuk menyelesaikan pertanyaan-pertanyaan tersebut, dibentuk Tim Swasembada Anggur Misa yang dipimpin oleh Mgr. Petrus Boddeng Timang (mantan Ketua Komisi Liturgi KWI, kini Uskup Banjarmasin). Ia dibantu RD Agustinus Surianto Himawan (Kepala Departemen PSDM-PU-TG KWI), RP Ch.Harimanto OSC (Wakil Ketua Komlit KWI), RD Yohanes Rusae (Sekretaris Komlit KWI), dan Floribertus Rahardi yang menulis di Kontan awal 2000an.
Mereka menjajaki kerjasama dengan winery lokal, melakukan diskusi panjang, dan studi banding ke beberapa pabrik anggur. Anggur dari pabrik-pabrik tersebut juga diuji dan diaudit menggunakan beberapa laboratorium, terkait kandungan alkohol, kandungan kimiawi, dan kualitas anggur secara umum.
Hasilnya, dalam Sidang Sinodal KWI pada November 2017, 34 dari 37 uskup yang hadir menyetujui untuk mulai menjajaki penggunaan anggur misa lokal untuk peribadatan di gereja Katolik. Uji coba dilakukan dengan menggunakan anggur misa lokal sebesar 50 persen sedangkan 50 lainnya masih menggunakan anggur impor.
"Kita presentasikan (di Sidang KWI) bahwa Indonesia mampu. Ada kebun anggur yang kontinu menghasilkan anggur, kemudian ada winery yang siap dan sudah mengelola cukup lama. Setahu saya hasil audit dari Laboratorium Sucofindo kapasitas terpasang Sababay Winery itu 2 juta liter per tahun," ungkap Romo Agustinus.
Pilihan kemudian jatuh pada PT Sababay Industry yang memiliki winery di Gianyar, Bali. Kapasitas terpasang yang besar dan kemampuan memproduksi anggur secara kontinu membuat Sababay dinilai sanggup untuk "dititipi" produksi anggur misa yang kebutuhannya mencapai 35.000 liter per tahun untuk delapan juta umat Katolik di Indonesia.
Setelahnya, Tim Swasembada pun melakukan pembicaraan lebih lanjut dengan pihak PT Sababay Industry. Berbagai diskusi, studi literatur, dan survei langsung ke pabrik di Gianyar dan kebun anggur di Gerokgak dan Seririt, Kabupaten Buleleng, Bali Utara dilakukan.
Usai berbagai persiapan matang, baru dimulailah produksi perdana anggur misa oleh Sababay pada Mei 2018. Empat bulan kemudian, pada 21-23 September dilakukan pengetesan oleh Tim Swasembada untuk memastikan anggur misa perdana memiliki citarasa yang mirip dengan anggur misa impor. Selain itu, diuji pula apakah seluruh proses produksi mengacu pada ketentuan yang diatur dalam Kitab Hukum Kanonik sehingga dapat menghasilkan anggur misa yang halal dan memenuhi syarat.
Baru pada 27 November 2018, pernyataan Nihil Obstat untuk anggur misa Sababay ditandatangani Mgr. Petrus.
Dari Sevenhill ke Gianyar
Terdaftar dengan nama PT Sababay Industry, perusahaan kilang anggur milik Mulyati Gozali ini lahir dari kunjungan liburannya di daerah Bali Utara dan keisengannya membeli anggur yang sedang panen di pinggir jalan.
"Ibu Mulyati tuh, kalau punya duit enggak dibeliin emas, enggak dibeliin saham, tapi dibeliin tanah. Jadi hobinya membeli tanah," ungkap Yohan Handoyo, COO Sababay Winery, Satrio Tower, Kuningan, Jumat (20/12).
Yohan bercerita, pada 2009 Mulyati bersama putrinya, Evy Gozali, tengah berjalan-jalan ke daerah-daerah perkebunan di Bali. Mereka melewati sebuah kebun anggur di kawasan Banjar, Grogak, Buleleng yang kebetulan sedang panen. Saat menepi, Mulyati dan anaknya kaget ketika mengetahui anggur tersebut dijual dengan harga hanya Rp 500 per kilogram.
"Di Bali itu kalau anggur lagi panen raya, harganya anjlok sekali. Karena semuanya panen. Si anggur yang ditanam di Bali itu biasanya cuma dijual di pasar basah. Kebanyakan kualitasnya juga enggak terlalu bagus, dimakan pun asem," kata Yohan bercerita.
"Harga Rp 500 ditingkat petani, padahal kalau ditingkat pasar itu bisa Rp 12.000, Nah kenapa bisa ada gap yang sedemikian besar? Middle man-nya, tengkulaknya itu, ada 7 lapis. Jadi secara struktural petani tetap susah hidupnya," kisah Yohan.
Singkat cerita, dengan tujuan derma pada petani-petani tersebut, Mulyati membeli kebun-kebun anggur tersebut. Awalnya, ia tak yakin bagaimana caranya untuk meningkatkan added value dari anggur tersebut. Setelah beberapa waktu memikirkan rencana, akhirnya diputuskan untuk membikin minuman anggur (wine). Pada 2010, Mulyati dan anaknya membuka kilang dengan nama “Sababay”, diambil dari nama Teluk Saba yang berada di Gianyar, Bali.
"Padahal Bu mulyati minum wine juga enggak, ngerti wine juga enggak. Nekat aja. Apa lagi industri alkohol ini kan, industri yang masuk daftar negatif investasi ya (DNI) sehingga pengurusan ijinnya juga enggak mudah di awal," ungkap Yohan.
Dalam merintis usahanya, Sababay Winery menunjuk Nicholas Martin Delacressonniere seorang winemaker asal Prancis untuk membantu proses produksinya. Setelah berbagai perizinan usaha selesai, memasuki tahun 2013 Sababay Winery resmi memproduksi wine anggur komersil secara massal.
Di awal produksi, Sababay Winery hanya memiliki tiga macam produk seperti black velvet, red wine, pink blossom (rose) dan white velvet. Hingga kini, Sababay Winery semakin berkembang dan memiliki 13 produk. Beberapa andalannya adalah Moscato d'Bali yang meraih perak dari Singapore Wine & Spirits Awards 2014, White Velvet yang meraih perunggu di Korean Wine Challenge, dan Mascetti yang mirip dengan sacramental wine gereja Katolik.
Mascetti tersebut merupakan port-style wine dengan kandungan alkohol 19%. Ia dibuat dari kombinasi anggur jenis Shiraz—jenis anggur yang digunakan di Australia untuk membuat port-style wine— dan Alphonse Lavallee, anggur hitam yang dibudayakan di Bali Utara.
Pernah suatu kali, jauh sebelum Sababay dipilih untuk menjadi pemasok anggur gereja Katolik di Indonesia, terjadi pertemuan dini antara Mgr. Siprianus Hormat dan manis-sepat anggur Mascetti. Mgr. Sipri, yang kini telah menjadi Uskup di Ruteng, NTT, menghadiri undangan makan bersama dengan Sababay Winery di Restoran Gyan, Kuningan, Jakarta.
Disamping makanan tersaji Mascetti, yang ketika dicicipi ternyata memiliki rasa yang serupa dengan anggur misa yang selama ini diimpor dari Australia.
“Nah, dari situ saya baru tahu, ‘Oh, ternyata anggur misa impor itu seperti itu’. Jadi ya buat kita enggak susah untuk membuat gaya seperti itu. Karena kita sudah punya memang," jelas Yohan. Beda Mascetti dan anggur misa, menurutnya, hanya pada aroma. Pada Mascetti terdapat aroma sangrai kopi berkat kandungan kayu oak yang direndam ke dalam tangki anggur saat proses pembuatan Mascetti, sementara anggur misa murni dari anggur semata.
“Untuk membuat anggur yang sesuai hukum kanonik secara teknis enggak susah, yang lebih berat saya pikir ke tanggung jawab moral ya, untuk benar-benar memastikan bahwa kita comitted. Kebetulan owner kami, Ibu Mulyati, juga Katolik. Jadi memang dari dulu punya keinginan pengin bisa membaktikan untuk gereja. Membuat anggur misa," imbuh Yohan. Itu juga agaknya yang menjadi alasan mengapa Sababay mau menjual anggur misa untuk KWI ini tanpa untung sepeserpun.
Lebih lanjut Yohan menjelaskan pembuatan sacramental wine atau anggur misa sendiri amat mudah. Pertama buah anggur harus dipress agar keluar jusnya. Kemudian difermentasi, agar kandungan gula yang ada dalam anggur yang sudah dipress menjadi alkohol dengan bantuan ragi.
Kemudian saat proses fermentasinya sedang berjalan dan belum sepenuhnya selesai, ragi yang ada dalam jus buah anggur tersebut dimatikan dengan penambahan spirit, alkohol berkonsentrat tinggi yang juga khusus terbuat dari anggur.
“Sehingga, karena si yeast-nya mati ditengah jalan, jadi anggurnya masih terasa manis karena gulanya belum terkonversi semua menjadi alkohol. Jadi rasa manisnya ini bukan karena penambahan gula, tapi asli dari jus anggurnya sendiri,” ujar Yohan.
Namun, khusus untuk Indonesia ada satu kebutuhan unik. Mengingat jarak distribusi di Indonesia yang jauh dan memerlukan waktu lama, guna menjaga kesegaran kadar alkohol di anggur misa Sababay harus dinaikkan. Tak heran anggur misa memiliki kandungan alkohol mencapai 19 persen, lebih tinggi dari anggur misa yang digunakan di Eropa.
"Karena wine dengan kadar alkohol tinggi itu tidak mudah teroksidasi, jadi terjaga kesegarannya. Kita diminta untuk bikin anggur untuk misa, ya mereka bilang, kita butuh yang alkoholnya tinggi, jadi kita ikutin," ungkap Yohan.
Hal tersebut, menurut Romo Agus, tidak menyalahi Hukum Kanonik, mengingat di dalam hukum tersebut tidak disebutkan standar yang mengatur kadar alkohol dalam anggur misa. Sementara, untuk memudahkan distribusi anggur misa di Indonesia, Sababay berinisiatif mengemas anggur misa dalam kemasan kotak berukuran 3 liter—beda dengan anggur impor dari Australia yang dikirim melalui drum-drum yang akibatnya memperbesar kemungkinan tumpah dan mengurangi nilai higienisnya.
Sesuai perjanjian dengan KWI, anggur misa produksi Sababay Winery tidak dijual secara bebas. Namun untuk keperluan misa di rumah, umat Katolik dapat membeli anggur misa bercukai melalui outlet Yayasan Obor dengan harga Rp 360 ribu perbotolnya. Pembelian anggur misa di outlet ini dicatat. Menurut Romo Agus, hal tersebut dilakukan sebagai pengawasan ke mana anggur misa tersebut tersalurkan.
"Biar tidak disalahgunakan. Ini kan baru pertama, jadi harus diawasi," ujar Romo Agus.