Jika Kim Jong-un Mati dan Diganti, Apa yang Terjadi pada Korea Utara?

1 Mei 2020 17:34 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kim Jong-un. Foto: Reuters/Third Party
zoom-in-whitePerbesar
Kim Jong-un. Foto: Reuters/Third Party
Spekulasi bertebaran soal kabar Kim Jong-un selama 20 hari terakhir. Surat kabar Daily NK di Korea Selatan menyebut ia menjalani operasi kardiovaskular usai jatuh sakit karena terlalu banyak merokok, obesitas, dan terlalu banyak bekerja. Laporan lain bahkan menyebut Jong-un koma dan meninggal.
Pangkal dari segala laporan dan spekulasi tersebut adalah ketidakmunculan Jong-un sejak 11 April 2020. Apalagi dalam kurun waktu tersebut ia melewatkan dua acara besar: 1) perayaan ulang tahun Kim Il-sung, pendiri Korea Utara sekaligus kakeknya sendiri, pada 15 April; dan 2) parade tahunan perayaan ulang tahun berdirinya angkatan bersenjata Korut pada 25 April.
Ketidakhadiran Jong-un selama hampir tiga minggu itu wajar membuat dunia bertanya-tanya. Selain melewatkan perayaan-perayaan penting, catatan sejarah juga menunjukkan kebiasaan ‘menghilang’ pimpinan dinasti Kim apabila terjadi sesuatu.
Pada 2007, ayah Jong-un, Kim Jong-il, sempat tak terlihat selama 40 hari. Pada penampilan pertamanya ia terlihat lebih kurus dengan rambut yang mulai botak, memperkuat rumor bahwa selama ini ia mengalami serangan jantung. Pada 2008, Jong-il juga sempat menghilang dengan dugaan strok. Ia meninggal pada 2011 dan Korut tak pernah mengkonfirmasi kabar soal penyakit si Pemimpin Tertinggi.
Kim Jong-il, ayah Kim Jong-un. Foto: Reuters
Memang, kabar tentang Kim Jong-un masih sangat berkabut. Korea Selatan dan Amerika Serikat menyebut Jong-un hidup dan baik-baik saja. Meski begitu, sampai Jong-un terlihat kembali berkuda atau berkunjung ke pabrik-pabrik andalan negaranya, rumor terhadap kesehatan dirinya dan gonjang-ganjing siapa yang akan jadi penggantinya akan terus mengemuka.
Sampai saat ini, kebanyakan pengamat melihat Kim Yo-jong sebagai calon kuat pengganti Jong-un—apabila benar si kakak meninggal atau tak bisa lagi memerintah karena koma. Memang, ada nama lain macam Choe Ryong-hae, anggota politbiro dan orang kedua Partai Buruh Korea.
Meski begitu, variabel Paektu Bloodline (sebutan untuk dinasti keluarga Kim) dalam penentuan pemerintahan Korut masih sangat kental. Persaingan justru disebut-sebut kuat dari adik beda ibu Jong-il, Kim Pyong-il. Pyong-il, yang usai kalah dalam perebutan kekuasaan dari Jong-il, menghabiskan 40 tahun di Eropa sebagai duta besar dan baru kembali tahun lalu. Oleh beberapa pihak, ia dinilai lebih berpengalaman.
Kim Jong-un dan Kim Yo-jong (kanan). Foto: Reuters/Korea Summit Press Pool
Pertanyaan yang kemudian sama pentingnya adalah: bagaimana nasib Korea Utara sendiri setelah ini? Apa saja skenario yang mungkin terjadi akibat keadaan Schrödinger Jong-un ini?
Pertanyaan-pertanyaan ini wajar mengemuka, mengingat infrastruktur persenjataan Korut dan jumlah kekuatan militernya yang luar biasa, kontrol dan kemauannya untuk mengambil langkah brutal bahkan terhadap aparat dan populasinya sendiri, juga tentu saja kemampuan nuklirnya.
Kemungkinan pertama adalah Jong-un baik-baik saja dan semuanya kembali berjalan normal—roket-roket diterbangkan dan sanksi-sanksi diberlakukan. Tentu saja AS dan Korsel harus mengkoordinasikan langkahnya untuk tetap menghindari eskalasi konflik.
Sebetulnya ini kondisi yang tak buruk-buruk amat. Bagaimanapun kelakuan Jong-un selama ini, ia menawarkan stabilitas dan kebijakannya relatif mudah ditebak ketimbang kemungkinan munculnya pimpinan lain, siapa pun dia.
Kemungkinan kedua adalah Kim Jong-un sakit atau wafat, dan terjadi transisi kepemimpinan yang relatif lancar. Meski demikian, menurut Karl Friedhoff, peneliti di Chicago Council on Global Affairs, proses ini akan sedikit berantakan dan membutuhkan banyak penyesuaian dibandingkan alih kekuasaan yang terjadi sebelumnya.
Setidaknya, sebelum meninggal pada 2011, Jong-il memiliki beberapa tahun untuk mempersiapkan Jong-un mengambil alih tampuk kuasa. Jong-un tidak punya itu. Ia memang punya anak laki-laki, namun usianya baru 10 tahun.
Kemungkinan paling besar adalah Yo-jong menggantikan kakaknya. Menurut Michael Madden, pengamat dalam bidang kepemimpinan Korea Utara dari AS, Yo-jong telah dilatih untuk berada di lingkaran kekuasaan sejak masa remajanya.
“Perempuan ini betul-betul ahli dalam politik Korut. Tidak akan ada orang lain yang menggantikan Jong-un selain dia,” kata Madden, seperti dikutip dari Financial Times.
Kim Yo-jong dan Presiden Korea Selatan Moon Jae-in. Foto: KCNA via Reuters
Namun demikian, bukan berarti langkah Yo-jong akan mulus 100 persen. Hariyadi Wirawan, pengajar Hubungan Internasional Universitas Indonesia, menyebut ada kemungkinan kepemimpinan Yo-jong akan mendapatkan tantangan oleh pihak yang melihatnya bukanlah pemimpin ideal.
“Kalau misal skenarionya adalah Kim Yo-jong naik, pertama dia akan dirongrong oleh kerabat-kerabat yang lain. Dia harus memiliki dasar kekuatan yang cukup besar untuk memuluskan jalannya menuju kepemimpinan,” kata Hariyadi saat dihubungi kumparan, Kamis (30/4).
Hariyadi menilai, peran militer akan sangat krusial dalam beberapa waktu ke depan. Dinasti Kim tentu saja telah menanamkan banyak loyalisnya di kalangan militer, namun tetap ada batasan. Ia juga memprediksi akan ada faksi militer yang mencoba muncul dan mengambil alih kendali kekuasaan meski perebutan itu akan selesai di balik pintu.
“Sebagian orang-orang Korut itu, pemimpin-pemimpinnya, sudah fed up dengan apa yang terjadi selama ini di Korut. Tapi mereka tidak bisa berbuat apa pun karena pasti dibabat oleh kelompok konservatif,” ujar Hariyadi.
Meski begitu, kemungkinan gerakan revisionis tersebut berhasil adalah sangat kecil. Kemungkinan besar elite politik dan militer akan berada di belakang pemimpin baru.
Eksekusi publik yang dilakukan Jong-un terhadap elite-elite yang paling mendekati kekuasaannya pada 2011 sampai 2017 sangat mungkin dilakukan kembali oleh pemimpin baru. Karenanya, elite kemungkinan akan bertahan dalam lingkaran kuasa ketimbang kehilangan semuanya.
Pada akhirnya, Friedhoff berpendapat, skenario ini akan berujung pada status quo.
“Negara-negara di kawasan akan mencoba mendekat untuk melakukan langkah diplomasi. Sementara, Korut sendiri akan melakukan berkali-kali uji coba rudal untuk memperlihatkan pada masyarakat nasional maupun internasional bahwa rezim yang ada sama dengan yang sebelumnya,” tulis Friedhoff seperti dilansir National Interest.
Pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un, mengawasi penembakan artileri di Korut. Foto: Korean Central News Agency/Korea News Service via AP
Skenario ketiga, meskipun paling kecil probabilitasnya, adalah terjadinya power struggle berlarut dan terjadi kaos di Korut. Dalam skenario ini, perebutan kekuasaan dan konflik berlangsung di antara faksi-faksi kuat di Korut dan Dinasti Kim kolaps.
Bahaya datang ketika konflik berkembang sampai ke derajat pertempuran antara faksi-faksi militer. Ini akan membuat dunia bertanya soal kontrol terhadap senjata nuklir, dan mendorong negara lain macam China dan Amerika Serikat bersama Korsel turun tangan.
Meski kemungkinan Korut kolaps kecil, jatuhnya pemerintahan diktator yang berbasis pada dinasti keluarga bukanlah hal yang jarang terjadi. Sebanyak 12 dari 18 dinasti diktator di dunia runtuh sejak Perang Dunia II dengan rata-rata kekuasaan 32 tahun per dinasti.
Menurut Oriana Skylar Mastro dalam jurnalnya, All in the Family: North Korea and the Fate of Hereditary Autocratic Regimes (2020), karakter dari keruntuhan dinasti diktator yang hampir selalu sama adalah bahwa keruntuhan tersebut terjadi secara cepat dan tidak terduga. Ia juga menekankan adanya satu periode ketika kontrol sebuah dinasti diktator melemah, yaitu saat proses suksesi.
“Saat itu, kelemahan struktural dari rezim dinasti mengemuka, dan hal ini bisa dimanfaatkan oleh pemerintah asing untuk melakukan intervensi-intervensi baik langsung maupun tidak langsung seperti: 1) mendorong oposisi politik, 2) mendukung gerakan masyarakat, dan 3) mengorkestrasi gerakan pemberontakan atau kudeta militer,” tulis Mastro.
Hariyadi Wirawan, pengamat diplomasi Universitas Indonesia. Foto: Retno Wulandhari Handini/kumparan
Lantas apa yang kemungkinan akan dilakukan negara-negara lain terhadap kondisi Korut sekarang? Bagaimana jika kabar Jong-un sakit atau meninggal adalah benar dan ada potensi terjadi krisis suksesi?
“Akan banyak sekali tekanan dari luar, terutama dari China,” ujar Hariyadi. Sebab, menurutnya, China selama ini memandang dirinya sebagai mentor Korut. Selain itu, China menjadi negara yang memberikan banyak bantuan ekonomi ke Korut.
“Yang penting, menurut China, Korut tidak bergerak ke arah yang lebih mendekati Jepang atau AS atau Korsel, yang juga pasti akan menawarkan banyak hal pada pemimpin baru,” katanya. AS, misalnya, “...akan mencoba menghadirkan diri lebih nyata di Semenanjung Korea dan akan melakukan segala hal agar Korut lebih terbuka secara politik.”
Presiden AS Donald Trump bertemu Pemimpin Korut Kim Jong-un di zona demiliterisasi yang memisahkan kedua Korea di Panmunjom, Korea Selatan. Foto: AFP/Brendan
Menurut Hariyadi, China sebenarnya tak ingin terlalu banyak mengubah Korut. “Sekarang, apakah China setuju dengan kondisi Korut? Tidak, sama sekali tidak. Tapi demi kepentingan strategis, China juga tidak menghendaki perubahan drastis di Korut,” ujar Hariyadi.
Yang diinginkan China, menurutnya, adalah perbaikan ekonomi di Korut sehingga mengurangi dependensinya ke China. Pada 2014, dua pertiga ekspor Korut (USD 2,6 miliar) masuk ke China. Impor barang dari China malah lebih jauh dari itu, yaitu USD 3,9 miliar.
China hanya akan memastikan bahwa tidak ada perubahan watak rezim di Korut. “Tidak bisa terbayangkan suatu reformasi Korut, kemudian seperti di Eropa Timur yang kacau balau, akhirnya jatuh ke pengaruh Barat. (Sebab) itu artinya China memiliki perbatasan langsung dengan Barat,” kata Hariyadi.
***
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona
Yuk, bantu donasi untuk atasi dampak corona.