Jika RUU Pemilu Tak Direvisi, 271 Daerah Akan Dipimpin Penjabat hingga 2024

9 Februari 2021 10:47 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi pemilih pada Pilkada. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pemilih pada Pilkada. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
ADVERTISEMENT
Pembahasan RUU Pemilu di DPR RI terancam kandas. Sebab beberapa partai politik koalisi Jokowi yang sempat mengusulkan revisi kini balik badan, yaitu NasDem, Golkar dan PKB. Mereka ingin Pilkada tetap diserentakkan di 34 provinsi pada 2024.
ADVERTISEMENT
Kini hanya PKS dan Demokrat yang ingin RUU Pemilu direvisi. Mereka mendorong agar Pilkada dinormalisasi yakni tetap digelar pada 2022 dan 2023.
Jika Pilkada digelar serentak 2024, maka dalam UU Pilkada 10/2016, mengharuskan adanya Penjabat (Pj) untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah yang masa jabatannya habis sebelum 2024. Yaitu kepala daerah yang habis di 2022 dan 2023.
Hal ini diatur dalam UU Pilkada Pasal 201 Ayat 9. Berikut bunyinya:
(9) Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali kota dan Wakil Wali kota yang berakhir masa jabatannya tahun 2022 dan yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2023, diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Wali kota sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali kota dan Wakil Wali kota melalui Pemilihan serentak nasional pada tahun 2024.
ADVERTISEMENT
Ada 271 kepala daerah yang masa jabatannya habis pada 2022 dan 2023, sehingga kekosongan itu diisi oleh Pj yang ditunjuk Kemendagri. Beberapa daerah di antaranya yakni DKI Jakarta dan Jawa Barat, Sumatera Utara dan Jawa Tengah.
Berdasarkan catatan kumparan, jumlah 271 daerah itu terdiri dari 101 daerah hasil Pilkada 2017 yang habis 2022, salah satunya DKI Jakarta. Lalu ada 171 daerah hasil Pilkada 2018 yang habis 2023, di antaranya yakni Jawa Barat, Sumatera Utara dan Jawa Tengah.
KPU selaku penyelenggara Pilkada tidak memberikan penjelasan soal potensi 271 daerah dijabat Pj. Sebab hal itu merupakan ranah dari Kemendagri.
"KPU tidak terkait dengan soal itu. Itu menjadi wewenang Kemendagri," kata Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi.
Plt. Dirjen Otda Kemendagri Akmal Malik. Foto: Dok. Kemendagri
Sementara Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri, Akmal Malik, mengaku belum bisa memberikan penjelasan karena masih menunggu perkembangan karena DPR belum putuskan final akan direvisi atau batal.
ADVERTISEMENT
"Masih jauh, kita tunggu saja ya," kata Akmal, Selasa (9/2).
Pekerja melakukan pelipatan dan penyortiran surat suara Pemilu Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Bandung 2020 di Gudang Logistik KPU, Soreang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Senin (16/11/2020). Foto: Novrian Arbi/ANTARA FOTO
Sedangkan pengamat dan peneliti LIPI, Prof Siti Zuhro, dengan tegas menyatakan Pilkada Serentak 2024 harus dihindari. Hal itu berkaca dari pengalaman Pemilu Serentak 2019.
"Jadi Pemilu tidak harus disatukan menjadi Pemilu borongan kenapa tidak realistis juga trial error tidak mempertimbangkan dampak negatif Pemilu 2019. Juga bertentangan dengan mindset dan cultural set new normal yang mensyaratkan desain pemilu/pilkada yang rasional," kata Siti.
Maka dari itu, Siti Zuhro memberikan solusi dan masukan mencegah Pilkada Serentak 2024. Yakni dengan menggabungkan Pilkada 2022 dan 2023 sehingga KPU nanti bisa lebih fokus mempersiapkan Pemilu 2024.
"Pilkada Serentak dilaksanakan sesuai jadwal pada 2022 di 101 daerah, Pilkada 2023 dilaksanakan di 170 daerah bisa dipertimbangkan untuk dipersatukan ke Pilkada Serentak 2022 sehingga jadi 271 daerah," tutur dia.
ADVERTISEMENT