Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Joe Biden Cabut ‘Muslim Ban’, Migran Sebut Hanya Omong Kosong
5 Februari 2022 12:31 WIB
·
waktu baca 5 menitADVERTISEMENT
Mantan Presiden AS, Donald Trump , pernah mengeluarkan kebijakan yang melarang pelancong dari berbagai negara mayoritas Muslim pada 2017. Larangan ini dibuat sepekan setelah ia menjabat sebagai orang nomor satu di AS.
ADVERTISEMENT
Dalam aturan tersebut, Trump melarang kunjungan untuk pendatang dari 7 negara mayoritas Muslim seperti Iran, Irak, Libya, Somalia, Sudan, Suriah, dan Yaman.
Sontak larangan tersebut menuai protes dari komunitas internasional. Situasi di bandara-bandara lantas kacau. Ratusan pelancong terdampar dalam perjalanannya ke AS sebab visa yang mereka miliki dibatalkan. Mereka kemudian ditahan petugas imigrasi dan ditendang kembali ke tempat asalnya.
Akibat dari larangan itu, banyak orang melewatkan berbagai kesempatan sekali seumur hidup. Mereka terpaksa tidak menghadiri pernikahan, pemakaman, maupun kelahiran kerabat terdekatnya.
Kini, larangan itu sudah dicabut. Presiden AS Joe Biden menandatangani 15 perintah eksekutif untuk membatalkan sejumlah kebijakan Trump, beberapa jam setelah ia dilantik pada Januari 2021 lalu. Sayangnya, terlepas dari keputusan Biden, efek dari kebijakan tersebut masih beriak hingga saat ini.
ADVERTISEMENT
Muslim Ban Hanya Omong Kosong
“Hanya karena larangannya telah dicabut, bukan berarti dampaknya sudah tidak terasa hingga saat ini,” ujar Direktur eksekutif Koalisi Imigrasi New York, Murad Awawdeh, seperti dikutip dari Al Jazeera, Sabtu (5/2).
Awawdeh mengatakan, banyak pemenang undian kartu hijau (Green Card) yang menghadapi risiko keuangan. Untuk diketahui, Green Card dikenal sebagai visa lotre yang menawarkan kesempatan bagi 50 ribu orang pemohon setiap tahunnya untuk menetap dan menjadi warga negara AS.
Demi mendapatkan Green Card, mereka berhenti dari pekerjaannya. Para pelamar yang menempuh studi juga keluar dari sekolah. Bahkan, ada pula yang sampai rela berutang.
Namun usai meninggalkan kehidupan lamanya untuk mendapat izin tinggal tetap di AS, sistem imigrasi malah mengabaikan mereka.
ADVERTISEMENT
Warga negara-negara yang masuk dalam daftar larangan memang tetap dapat melanjutkan permohonan visa keragaman saat kebijakan itu diberlakukan. Meski demikian, sebagian besar dari pelamar tidak pernah dihubungi lagi.
Sebut saja Ahmad, seorang warga Suriah yang memenangkan lotre visa pada Mei 2018 lalu. Ahmad yang berasal dari Damaskus, ibu kota Suriah, angkat kaki dari negaranya yang dilanda perang.
Pada Juli 2019 lalu, ia menginjakkan kaki di Yordania untuk wawancara di kedutaan AS sebagai alur dari Program Visa Keragaman. Sebelum hari itu, pria berusia 33 tahun tersebut telah melamar hingga dua kali.
Tak berbeda dari pengalaman sebelumnya, ia disuruh menunggu jawaban yang hingga saat ini tak kunjung datang.
“Kami diperlakukan dengan tidak adil. Padahal saya punya kesempatan, tetapi karena larangan dan tempat asal saya – ini bukan salah saya, saya tidak memilih untuk lahir di sini,” ujar Ahmad dalam wawancara telepon dengan Al Jazeera.
ADVERTISEMENT
Ahmad hanya satu dari ribuan warga negara asing yang hidupnya dijungkirbalikkan oleh kebijakan yang disebut “larangan Muslim” tersebut.
Ketidakadilan yang dialami Ahmad juga berbentuk materiil. Ia menambahkan, segala biaya yang ia habiskan untuk pengajuan visa meraup habis gajinya untuk setahun. Meski memiliki hak untuk bepergian dan mendapat masa depan yang lebih baik, Ahmad mendapati kerugian besar atas diskriminasi yang ia hadapi.
Departemen Luar Negeri AS mengatakan, pemohon yang ditolak masuk selama tahun fiskal 2017-2020 dapat mengajukan permohonan kembali. Meski begitu, pembela hak asasi dan pakar imigrasi tahu kesempatan semacam itu hanya omong kosong. Kecil kemungkinannya para pelamar sebelumnya akan dipilih lagi.
“Kami adalah orang-orang yang paling butuh beremigrasi dan meningkatkan kehidupan kami,” lanjut Ahmad, mengacu pada warga negara yang terdampak kebijakan larangan Trump. Sekelompok warga Suriah pemenang visa dari tahun yang sama dengan Ahmad menuntut agar pengajuan mereka diputuskan tanpa harus mendaftar ulang.
ADVERTISEMENT
Pengacara imigrasi dari Georgia, Hiba Ghalib, mengatakan bahwa kedutaan AS masih sarat dengan “budaya” memandang curiga pada pelamar dari negara-negara yang sebelumnya dilarang masuk AS. Menurutnya, budaya ini sulit untuk ditinggalkan.
“Pembatalan (larangan) tidak semata-mata mengakui dampaknya,” tambahnya, dikutip dari Al Jazeera.
Departemen Luar Negeri AS mengatakan mereka memerlukan penilaian tambahan untuk menentukan apakah pelamar memenuhi syarat untuk mendapatkan visa, tetapi tidak menjelaskan penilaian seperti apa yang dimaksud.
“Sebelum mengeluarkan visa apa pun, kami harus memastikan bahwa pemohon tidak menimbulkan risiko keamanan bagi AS,” ujar juru bicara Departemen Luar Negeri AS, seperti dikutip dari Al Jazeera.
Para pelamar yang tidak dihubungi lagi hanya diberi tahu bahwa permohonan mereka sedang diproses secara administratif. Bila diminta untuk menjelaskan proses tersebut, pihaknya tampak enggan merinci. Lagi-lagi mereka hanya mengatakan “proses administratif” itu merujuk pada berbagai langkah tambahan yang harus diambil.
ADVERTISEMENT
Pouria Mojabi, misalnya, seorang keturunan Iran-Amerika yang mengajukan permohonan pada tahun 2017. Pada saat itu, ia membuat petisi agar orang tuanya yang sudah lanjut usia dapat pindah dari Iran untuk tinggal bersamanya di California.
Ketika permohonan itu hampir rampung, kebijakan larangan mengakhiri segala prosesnya. Ibunya yang kini berusia 70 tahun mendapat pengabaian visa imigrasi. Sedangkan permohonan untuk ayahnya yang berusia 71 tahun dikabari sedang dalam proses administrasi. Hingga saat ini, status permohonan ayahnya belum juga berubah.
“Sekarang di bawah (pemerintahan) Biden, rasanya seperti janji kosong,” ujar Pouria.
Departemen Luar Negeri AS mengumumkan pada Januari lalu bahwa warga dari sejumlah negara yang direnggut haknya oleh larangan tersebut dibebaskan dari biaya imigrasi dalam permohonannya di masa depan. Negara-negara tersebut yakni Burma, Eritrea, Iran, Kirgistan, Libya, Nigeria, Korea Utara, Somalia, Sudan, Suriah, Tanzania, Venezuela, dan Yaman.
ADVERTISEMENT
Keputusan itu merupakan langkah awal pemerintahan Biden untuk memperbaiki kerugian. Tindakan diskriminatif semacam itu membutuhkan berbagai upaya pemulihan untuk mengembalikan kepercayaan yang telah terkikis.
“Sebagian dari apa yang begitu merusak dari larangan itu adalah untuk mengirim pesan politik. Pesannya adalah ‘Anda tidak diterima di sini,’” tutur Avideh Moussavian, direktur advokasi federal di National Immigration Law Center (NILC), seperti dikutip dari Al Jazeera.