Juragan Odong-odong: Kami Boleh Diatur, tapi Jangan Matikan Usaha

24 Oktober 2019 15:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ibu-ibu yang menaiki odong-odong di daerah Bidara Cina, Jatinegara, Jakarta Timur. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ibu-ibu yang menaiki odong-odong di daerah Bidara Cina, Jatinegara, Jakarta Timur. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
ADVERTISEMENT
Mulyadi bertanya-tanya, apa yang dimaksud dengan kata 'ditertibkan' yang diucapkan Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo. Tak cuma itu, Syafrin juga menyebut odong-odong tak memenuhi persyaratan teknis untuk beroperasi di jalan umum.
ADVERTISEMENT
Mulyadi, pria berusia 52 tahun, ini ragu, apakah maksud Pemprov DKI adalah ingin mengatur operasional odong-odong, atau justru ingin membekukan pekerjaannya sehari-hari.
“Ini jadi pertanyaan, maksud ditertibkan ini apa? Kalau maksudnya mau mengatur bagaimana, itu silakan. Tapi jangan dimatikan,” ungkap Mulyadi saat ditemui di rumahnya di Jalan Rawasari Barat 9, Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Kamis (24/10).
Mulyadi dan rangka odong-odong yang ia produksi. Foto: Andesta Herli Wijaya/kumparan.
Mulyadi sehari-hari bekerja merancang sekaligus menyewakan odong-odong di kawasan Cempaka Putih. Pekerjaan itu telah dijalaninya sejak 2004.
Ketika mendengar kabar odong-odong hendak ditertibkan, Mulyadi mengaku tak nyaman. Ia membayangkan usahanya bakal terancam.
Lebih jauh lagi, ia membayangkan orang-orang yang mencari nafkah dengan mengemudikan odong-odong darinya juga akan kesulitan.
“Mau ke mana anak-anak ini, mau kerja apa kalau nggak boleh narik odong-odong lagi?” ucap Mulyadi.
Bengkel tempat Mulyadi sehari-hari membuat odong-odong. Foto: Andesta Herli Wijaya/kumparan.
Mulyadi tahu betul seluk-beluk bisnis odong-odong. Selain membuat dan menjual rangkanya, ia juga memiliki 2 unit odong-odong yang disewakan kepada pemuda di dekat rumahnya.
ADVERTISEMENT
Bisa dibilang, ia adalah penyuplai utama odong-odong bagi orang-orang di Rawasari yang menggantungkan hidupnya sebagai pengemudi odong-odong.
Pantauan di sekitar wilayah Rawasari, tampak puluhan odong-odong mangkal di sejumlah titik jalan umum. Beberapa odong-odong juga terlihat melaju membawa penumpang yang umumnya kaum ibu rumah tangga sambil membawa barang-barang belanjaan.
Odong-odong di kawasan Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Foto: Andesta Herli Wijaya/kumparan
“Mereka-mereka itu rata-rata enggak punya pekerjaan lain lagi. Mau kerja apa lagi, ujung-ujungnya bisa dibayangkan apa yang akan terjadi,” ujarnya merujuk para sopir odong-odong di kawasannya.
Sehingga ketika mendengar kata 'penertiban', ia merasa terbebani karena pekerjaannya terancam gulung tikar.
Menurut Mulyadi, pemerintah boleh saja mengatur operasional odong-odong. Tapi dengan cara yang sifatnya turut memperhatikan kebutuhan orang-orang yang hidup dari pekerjaannya menarik odong-odong.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, ia juga mengakui ada sejumlah pengemudi yang suka tak tertib saat membawa odong-odong di jalanan. Meski disayangkan, ia mendukung apabila Dishub mau memberikan teguran kepada pengemudi.
Mulyadi saat bekerja membuat odong-odong di rumahnya di Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Foto: Andesta Herli Wijaya/kumparan.
“Memang ada yang tak tertib. Itulah yang perlu dibenahi. Soalnya pada si pengemudi, bukan odong-odongnya,” ucapnya.
Ia menjelaskan, odong-odong tak hanya sekadar hiburan, tetapi juga cukup diminati sebagai angkutan jarak dekat. Tarifnya yang juga murah dibandingkan moda transportasi lain membuat masyarakat lebih memilihnya untuk menuju lokasi tujuan.
“Kalau dimatiin total, dilarang di semua jalan, ya itu akan menyulitkan. Tapi kalau dilarangnya itu di jalan-jalan besar jalan protokol, ya kita bisa pahamlah,” ungkapnya.
“Lha ini biasanya untuk angkutan jarak 2-3 kilometer doang kok, angkut ibu-ibu ke pasar, di jalur-jalur perkampungan. Apakah harus dilarang juga,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Odong-odong Menjanjikan Penghasilan Layak
Odong-odong di kawasan Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Foto: Andesta Herli Wijaya/kumparan
Salah seorang pengumudi odong-odong, Syukur (24), mengaku belum pernah ditilang ataupun disanksi Dishub DKI atau kepolisian karena membawa odong-odong. Ia juga tak setuju jika nantinya odong-odong dilarang beroperasi di jalanan.
Ia justru bersyukur dengan pekerjaannya saat ini. Tak perlu melulu lewat jalan besar, ia pun biasa membawa penumpang lewat jalur-jalur alternatif maupun jalanan kompleks perumahan. Pelanggannya mulai dari anak-anak hingga ibu-ibu rumah tangga.
Dari pekerjaannya, Syukur mengaku bisa meraup penghasilan Rp 150-200 ribu sehari, meski hanya membawa rombongan ibu dan anaknya berkeliling kompleks. Jumlahnya pun cukup untuk menghidupi kebutuhan keluarganya sehari-hari.
Syukur, seorang pengemudi odong-odong di kawasan Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Foto: Andesta Herli Wijaya/kumparan.
“Sehari itu, biasanya narik dari pukul 14.00 siang sampai waktu magrib, itu bisa dapat bersih Rp 200 ribulah. Itu setelah dihitung setoran ke pemilik odong-odong,” cerita Syukur.
ADVERTISEMENT
“Saya sudah 3 tahun kerja ini. Penghasilannya lumayan baik. Kalau nanti dilarang, ya pastilah memberatkan,” imbuhnya.
Dinas Perhubungan DKI sebelumnya menyampaikan akan menertibkan odong-odong bermotor yang beroperasi di jalan-jalan umum di Jakarta. Penertiban dilakukan lantaran odong-odong bermotor tak laik dijadikan alat transportasi di jalan umum.
Odong-odong juga tak hanya diizinkan beroperasi di jalan protokol saja, melainkan juga di jalan dalam perkampungan atau jalan alternatif. Karena bagaimana pun juga, jalan alternatif tetap dianggap sebagai jalan umum.
"Odong-odong itu pasti tidak memenuhi persyaratan teknis dan yang lain kendaraan bermotor, sementara mereka beroperasi di jalan umum. Nah, oleh sebab itu, ini perlu ditertibkan. Saya sudah instruksikan kepada seluruh wilayah untuk melakukan penertiban odong-odong," kata Kadishub Syafrin, Selasa (22/10).
ADVERTISEMENT