Jusuf Hamka: Membantu Sesama Jangan Pikir Agama dan Suku

29 Juni 2018 12:34 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Jusuf Hamka mungkin bukan siapa-siapa buat orang awam sampai aksi sosialnya Ramadhan 2018. Ia mendirikan Warung Podjok Halal yang menjual ‘nasi kuning Rp 3.000 makan sepuasnya’ kepada kaum duafa.
ADVERTISEMENT
Ia juga meresmikan Masjid Babah Alun dengan arsitektur Tiongkok di kolong tol Cawang-Tanjung Priok. Masjid cantik itu hendak ia fungsikan sebagai tempat ibadah, tempat belajar, sekaligus tempat pelatihan.
Derma yang Jusuf lakukan tak datang tiba-tiba. Ia memang punya rezeki berlimpah untuk dibagikan, namun juga memiliki niat kuat untuk membantu sesama. Kombinasi keduanya itulah yang belakangan membuat sosoknya jadi sorotan.
In Frame-Jusuf Hamka (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
Berikut petikan perbincangan kumparan dengan Jusuf Hamka pada beberapa kesempatan di rentang waktu Mei-Juni 2018.
Bagaimana sampai punya pikiran untuk membangun masjid di bawah jalan tol?
Memang tak biasa karena kolong tol biasanya terkenal menjadi tempat gundukan sampah, penghuni liar, bahkan jadi lokasi premanisme dan prostitusi.
Saya punya keinginan membuat tempat ibadah, masjid. Saya punya target, setelah umur 60 tahun saya pengen buat masjid sebanyak mungkin. Insya Allah sampai seribu.
ADVERTISEMENT
Tetapi saya mulai dari mana? Waktu saya jadi dirut perusahaan jalan tol (PT Citra Marga Nusaphala Persada), saya sempat lihat ke sini (kolong tol). Sangat-sangat kumuh. Saya berinisiatif, kenapa nggak bikin masjid di sini dengan gaya oriental?
Karena impian saya bukan hanya membuat tempat ibadah, tapi juga tempat yang bermanfaat secara ekonomi untuk warga sekitar. Maksud saya membangun dengan oriental style supaya juga menjadi tujuan wisata, yang dengan sendirinya akan mengangkat perekonomian sekitar.
Masjid Babah Alun (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
Babah Alun ini masjid pertama yang Bapak buat?
Dulu sih mimpinya ingin bikin satu saja. Waktu itu saya baru mualaf, umur 20-an. Sudah saya bikin satu di Samarinda, di pabrik saya, dengan gaya biasa. Model Timur Tengah.
ADVERTISEMENT
Punya pabrik di Kalimantan?
Saya dulu punya pabrik kayu terbesar di Samarinda, Kalimantan Timur. Dulu di situ karyawan saya ada 11.000 orang. Sekarang sudah tutup. Tapi sempat menghasilkan cukup banyak (pendapatan).
Saya ini memang anak hutan, tapi punya network ke orang-orang kota. Jadi banyak yang bantu saya.
Seiring berjalannya waktu, rezeki bertambah terus--alhamdulillah, rezeki yang digelontorkan Allah bagai tsunami. Jadi ya saya bikin di sini.
Saya berdoa, “Ya Allah, kasih saya badan sehat, umur panjang, insyaallah saya akan bikin seribu masjid seperti ini.”
Ternyata sudah ada respons. Kemarin saya bertemu dirut yang mengelola tol di Kebayoran. Dia menyediakan lahan 1.500 meter persegi untuk saya bangun masjid seperti ini.
Mereka melihat ini unik dan dapat menjadi tujuan wisata. Kalau jadi tujuan wisata kan bisa juga menjadi income penduduk setempat. Bisa membantu wargalah.
Masjid Babah Alun. (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
Ada tujuan khusus dari pemilihan arsitektur masjid yang bergaya Tiongkok?
ADVERTISEMENT
Di negara kita ini, setiap ada kerusuhan, yang dibenturkan, yang disalahkan, adalah orang-orang Tionghoa. Entah itu masalah politik, ekonomi. Pdahal hadis mengatakan, “Tuntutlah ilmu sampai ke negeri China.”
Jadi sebenarnya antara Islam dan China tak ada masalah. Pada abad ke-7, agama orang-orang China di sana adalah Islam.
Abad ke-7 ialah awal Islam masuk ke China, ketika Dinasti Tang menerima tamu dari jazirah Arab yang merupakan utusan kekhalifahan Utsman bin Affan.
Interior Masjid Babah Alun. (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
Kabarnya Masjid Babah Alun akan dihibahkan ke Pemprov DKI Jakarta?
Saya berharap DKI bisa mengambil, mengelola, dan mengadopsi pola pemanfaatan lahan ini. Semacam RPTRA (Ruang Publik Terpadu Ramah Anak) baru di kolong tol.
Saya mungkin saya belum berhasil 100 persen (mengembangkan masjid ini pada fungsinya yang optimal), tapi ini akan jadi tempat bermain yang juga bisa mendidik mereka.
ADVERTISEMENT
Di sini akan jadi tempat ibadah, tempat bermain, dan tempat pendidikan. Mudah-mudahan Pemprov DKI mau mengadopsi konsep ini. Kalau nggak mau ya nggak apa-apa. Saya akan kelola sendiri.
Maksudnya baik, kalau mau ambil ini bisa jadi percontohan untuk selanjutnya.
In Frame-Jusuf Hamka (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
Material dan ornamen masjid ini kelihatan bagus. Berapa biaya untuk membangunnya?
Nggak terlalu besar. Kurang lebih Rp 5,5 miliar. Mungkin kelihatan mahal, tapi manfaatnya jauh lebih banyak dari nilai materinya.
Uang sejumlah itu dari penghasilan Bapak sebagai penasihat di tiga perusahaan (PT Indosiar Visual Mandiri, PT Indocement Tunggal Prakarsa, dan PT Citra Marga Nusaphala Persada)?
Hahaha, kalau dari tiga perusahaan itu kecil, nggak gede. Tapi rezeki yang saya dapat sebelum pensiun itu gede. Dan kebetulan saya juga memegang saham publik di perusahaan-perusahaan besar ya.
ADVERTISEMENT
Kalau cuma ngandelin gaji perusahaan mah cuma ecek-eceklah gajinya, nggak seberapa, haha. Tapi karena teman yang minta saya jadi advisor, ya sudahlah.
Jusuf Hamka dan bocah-bocah tunawisma. (Foto: Instagram/@jusufhamka)
Seperti apa masa kecil Bapak?
Saya anak Samarinda, hijrah ke Jakarta jadi anak kampung, ternyata Allah kasih rezeki kota.
Waktu umur 10 tahun, saya bantu teman-teman dagang untuk cari uang jajan tambahan--jual es mambo di termos sama dagang asongan di Masjid Istiqlal.
Keluarga hidup berkecukupan, kan?
Iya. Bapak saya dosen di Universitas 17 Agustus, ibu saya guru. Saya 7 bersaudara--adik tiga, kakak tiga. Saya anak keempat.
Saya memang nakal. Dagang es mambo, asongan. Cari sampingan di Istiqlal. Nah, di situ (samping Istiqlal), kan ada sungai (Ciliwung). Saya dulu berenang di sungai itu.
ADVERTISEMENT
Suatu saat, teman saya ingin pinjam ban, padahal saya baru mau pakai, jadi nggak saya kasih. Dia dorong saya, saya kebawa arus, mau masuk ke pintu air, saya teriak-teriak.
Tahu-tahu seorang tunawisma dari atas rel kereta, lompat langsung nolongin saya. Saya langsung keluarin semua duit saya, es mambo dagangan saya, saya kasih ke dia. Akhirnya dia jadi sahabat saya.
Sempat dua tahun bersahabat dengan tunawisma itu. Saya masih ingat namanya. Zabir, tukang sepatu. Sekarang saya nggak tahu dia di mana. Mudah-mudahan masih hidup, saya ingin balas budi baiknya.
Tahun berapa itu?
Mungkin 1968, saat saya masih umur 10-11 tahun. Zabir itu saya ingat terus, nggak akan lupa. Karena dia lompat dari atas rel kereta untuk nolong saya.
ADVERTISEMENT
Orang kecil saja bisa nolong saya. Saya bisa hidup sampai sekarang karena orang kecil. Tugas saya sekarang membantu mereka.
Jusuf Hamka bersama muslim Tionghoa. (Foto: Instagram/@jusufhamka)
Bagaimana bisa bertemu Buya Hamka?
Waktu itu tahun 1981, saya 23 tahun. Saya lihat di Majalah Tempo ada orang masuk Islam di Al-Azhar. Lalu saya datang ke sana, bertemu Ustaz Zaimi, Sekretaris Masjid Agung Al-Azhar. Saya bilang, saya mau masuk Islam. Lalu dia bawa saya ke rumah Buya Hamka, di Jalan Raden Fatah.
Saya dibimbing baca asyhadu an laa illaaha illallah, wa asyhadu anna muhammadar rasuulullah. Ya sudah, saya jadi muslim.
Respons keluarga bagaimana?
Orang tua awalnya enggak tahu. Saya kan sudah di atas 17 tahun, nggak perlu izin. Setelah mereka tahu, mendukung saja.
ADVERTISEMENT
Orang tua saya moderat. Bapak saya dosen, ibu saya guru. Buat mereka nggak masalah. Bahkan waktu saya pertama kali puasa, ibu beli penggorengan baru buat masakin saya.
Jadi nggak ada kendala sama keluarga. Kalau komunitas memang sempat nggak mendukung. Mereka menghindari saya, tapi lama-lama enggak, alhamdulillah.
Jusuf Hamka bersama Buya Hamka. (Foto: Instagram/@jusufhamka)
Kok bisa jadi anak angkat Buya Hamka?
Anak angkat ideologis. Karena mama Muhammad Jusuf dia yang kasih. Terus tiga bulan setelah saya masuk Islam, masih tahun 1981, dia bikin syukuran di Masjid Al-Azhar dan kasih saya nama ‘Hamka’ supaya saya berdakwah di kalangan Tionghoa.
Anak-anak Buya tahu semua. Saya satu-satunya anak angkat yang boleh pakai nama Hamka. Saya juga kaget.
Sering bertemu Buya Hamka?
ADVERTISEMENT
Sering, tapi kemudian beliau sakit lalu wafat. Sekarang komunikasi sama anak cucunya alhamdulillah baik.
Waktu itu tahu kalau Buya Hamka orang penting?
Tidak tahu. Saya menganggapnya biasa saja. Setelah masuk Islam dan saya lihat beliau ribut sama Menteri Agama dan Pak Harto, saya kaget. Wah, ternyata orang besar.
Dia orang baik. Sangat baik.
Ribut-ribut itu adalah perkara fatwa haram Majelis Ulama Indonesia soal perayaan Natal bersama bagi muslim. Ketika itu Buya Hamka dan pemerintah berbeda pendapat, dan berakhir dengan pilihan Buya untuk meletakkan jabatannya di MUI. Buya tercatat sebagai Ketua MUI yang pertama.
ADVERTISEMENT
Apa saja yang diajarkan Buya Hamka?
Beliau kental mengajari saya untuk sedekah. Beliau mengatakan, “Kelak harta yang kamu makan akan jadi kotoran, harta yang kamu simpan akan jadi rebutan dan warisan, tapi harta yang kamu sedekahkan insyaallah akan jadi tabungan kekal di akhirat nanti.”
Itu selalu menginspirasi saya. Sama seperti ibu saya yang sering mengatakan, “Jangan pernah merasa akan jadi miskin karena memberi makan orang lain.”
Saya selalu terngiang-ngiang kata-kata Buya Hamka dan ibu saya itu.
Jusuf dan umat Buddha di acara buka puasa gratis. (Foto: Instagram @jusufhamka)
Ajaran itu sampai sekarang Bapak pegang?
Iya. Dari setiap rezeki yang kita peroleh, ada bagian orang lain. Jadi rezeki jangan disimpan, jangan diumpetin, sedekahkan kepada orang-orang yang membutuhkan. Kan di agama Islam diajarkan, pada setiap harta yang kita peroleh ada hak anak yatim.
ADVERTISEMENT
Saya lalu menjabarkan, mungkin bukan hanya anak yatim, tapi orang-orang yang nggak yatim pun wajib saya bantu. Kalau saya lihat pantas dibantu, ya saya bantu. Tidak lihat suku, agama, warna kulit. Bismillah aja.
Nggak ada salahnya teman-teman pengusaha yang mampu, kita semua, apapun agama dan sukunya, membantu saudara-saudara yang masih kekurangan setiap hari.
Merajut kebaikan tidak perlu memikirkan suku dan agama. Selama bisa mengulurkan tangan, kita ulurkan.
Kalau membantu masih lihat suku, agama, buat saya itu nggak berkah.
Lebih senang membantu dengan cara apa?
Saya nggak mau memberi sembako atau uang yang dikasih hari ini, besok dilupa. Saya ingin mereka sustain, dirawat dan jalan terus sampai mapan.
ADVERTISEMENT
Kalau saya bantu uang, besok dia minta uang lagi. Mending daripada saya kasih mereka ‘ikan’, saya kasih jalanya.
Jusuf Hamka. (Foto: Instagram/@jusufhamka)
Kenapa dulu hobi drop out dari kampus?
Saya bandel. Sekolah cuma asal supaya tahu sistematika berpikir, nggak perlu gelar. Yang penting saya tahu sospol apa, bisnis apa, kedokteran apa. Kalau sakit, obat-obatan saya cari sendiri.
Jadi yang penting bukan gelarnya, tapi saya pernah belajar di situ dan mengerti. Orang-orang bilang, “Sekolah lagi aja sekarang”, terus saya mau dikasih doktor honoris causa, saya nggak mau, nggak pengen.
Semua kuliah saya enggak ada yang selesai. Begitu ujian dan waktunya ambil ijazah, saya keluar. Saya bilang, “Gue nggak perlu itu.”
Orang bilang saya agak sinting, tapi saya nggak perlu titel. Saya malas sama formalitas-formalitas. Saya memang mbalelo.
ADVERTISEMENT
(Aktivis Reformasi) Hariman Siregar pernah bercanda, bilang, “Saudara lu gelarnya 5, 12. Semua kalah sama lu. Mereka gelar akademis, lu gelar ‘haji’. Hahaha…”
Jusuf pernah berkuliah antara lain di Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus, Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti, Bisnis Administrasi Columbia College Vancouver Kanada, FISIP Universitas Jayabaya. Ia tak lulus dari semua universitas itu.
Anak Bapak lulus kuliah tapi, kan?
Lulus. Saya terkagum-kagum. Anaknya pinter-pinter. Bapaknya nggak punya gelar, anaknya bergelar semua, hahaha…
Jusuf Hamka bersama keluarga. (Foto: Instagram/@jusufhamka)
Ada berapa anak?
Tiga. Yang pertama Fitria Yusuf, 35 tahun, sekarang Wakil Dirut CMNP (Citra Marga Nusaphala Persada--yang juga pernah dipimpin Jusuf).
Yang kedua Faisal Hamka, 30 tahun, lebih banyak urus hotel di Gili Trawangan dan Berau Kalimantan.
ADVERTISEMENT
Yang ketiga Farid, 24 tahun, sekolah di LSE--London School of Economics and Political Science. Bahasa Inggris-nya cas cis cus. Kerja di McKinsey, perusahaan konsultan yang lumayan punya prestise.
Sukses semua, ya.
Saya sering bilang gini ke mereka, saya itu ibarat Metromini, anak-anak saya Big Bird. Nah, Metromini walaupun mesinnya tua, mau adu balap dari Jakarta sampai Bogor, menang. Karena Metromini kalau mau nyodok nggak lihat kanan-kiri. Begitu udah sampai, baru lihat.
Kalau mereka ragu-ragu, banyak pertimbangan. Mau apa-apa buat proposal dulu, apalah dulu. Saya lalu bilang, “Kalau Bapak nggak pernah buat proposal.” Dia tanya, “Terus bagaimana?”
“Filosofi Bapak tuh, you never try, you never know. So you should try. Jangan cuma bikin studi sana-sini. Cobain dulu. Kalau gagal ya balik lagi.” Hahaha…
ADVERTISEMENT
Anak sekarang nggak mau, mesti pakai riset dulu. Zamannya lain sama saya. Sekarang mungkin harus begitu.
Di zaman saya, Allah sayang sama saya. Belum tentu Allah kasih kesempatan yang sama lagi. Makanya saya harus berbuat baik pada semua orang.