Jutaan Alat Peraga Kampanye Tersebar di Jakarta, Sampahnya Tanggung Jawab Siapa?

21 Januari 2024 8:52 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pengendara roda dua melintas di samping baliho alat peraga kampanye (APK) di Pandeglang, Banten, Senin (17/7/2023). Foto: Muhammad Bagus Khoirunas/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Pengendara roda dua melintas di samping baliho alat peraga kampanye (APK) di Pandeglang, Banten, Senin (17/7/2023). Foto: Muhammad Bagus Khoirunas/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Kamu pasti sering melihat baliho jalanan di tahun pemilu seperti saat ini. Tapi, tahukah kamu ke mana baliho-baliho itu akan pergi usai masa kampanye telah selesai?
ADVERTISEMENT
Ada yang bilang baliho itu akan dibawa ke tempat sampah. Namun, ada juga yang bilang baliho itu bakal diambil lagi oleh partai politik. Kami lalu bertanya tentang hal ini kepada Anggota Bawaslu Provinsi DKI Jakarta Quin Pegagan.
Lantas, apa katanya?
"Biasanya itu [baliho] tidak digunakan lagi atau diambil oleh stakeholder, peserta pemilu, atau vendor. Namun ada juga yang ditinggalkan begitu saja, ada juga yang dimanfaatkan berbagai pihak untuk alas atau kegiatan untuk pembuatan kandang dan lain-lain," ujar Quin saat ditemui kumparan di Kantor Bawaslu DKI Jakarta, Jakarta Selatan, Rabu (17/01).
Anggota Bawaslu DKI Jakarta Quin Pegagan. Foto: Rizki Baiquni Pratama/kumparan
Menurut Quin, hingga kini pihaknya belum memiliki data terkait jumlah baliho yang terpasang. Meski begitu, ia yakin bahwa alat peraga kampanye (APK) di masing-masing kota atau kabupaten di Jakarta mencapai ratusan ribu. Hitung-hitungannya, kata dia, bisa diperkirakan tiap satu kilometer ada seribu pieces APK.
ADVERTISEMENT
"Saya pikir bisa jutaan pieces (di seluruh Jakarta)," tambah Quin.
Quin menyebut bahwa APK yang dipasang oleh para kontestan seringkali tidak sesuai penempatan. Oleh sebab itu, kata dia, pihaknya akan merekomendasikan ke KPU dan dinas terkait untuk perapihan.
Baliho pemilu di Jalan Mampang Prapatan Raya, Jakarta Selatan, Rabu (6/12/2023). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
"Ya, sanksinya biasanya dipindahkan, bisa juga disita, bisa juga kalau untuk yang paling katakanlah paling berat adalah dia itu tidak boleh ada mulai dari tanggal 11 [Februari] nanti pada masa tenang, sampai tanggal 13 itu sudah mulai tidak ada harusnya," jelas Quin Pegagan.

Sulit Diurai

Berdasarkan penelusuran kumparan di beberapa kios percetakan di Pasar Jaya, Senen, Jakarta Pusat, pada Senin (9/1), mayoritas bahan yang digunakan pada APK itu rata-rata berasar dari flexi berbahan dasar polyvinyl chlorida (PVC). Ini adalah turunan dari material plastik yang sulit diurai.
ADVERTISEMENT
Harganya yang murah, serbaguna, dan tahan lama, menyebabkan flexi dipilih oleh para peserta pemilu. Bahan tersebut dapat diolah menjadi berbagai macam produk dengan daya guna singkat.
Suasana percetakan alat peraga kampanye di Pasar Senen, Jakarta Pusat, Kamis (18/1/2024). Foto: Priscilla Andrearini/kumparan
Selain menjadi tumpukan sampah, flexi berbahaya bagi kesehatan dan dapat menimbulkan kanker. Menurut jurnal IJRST berjudul “Kimia Flexi Tidak Terlalu Fantastis” menyatakan materi ini sulit didaur ulang sehingga biasanya dimusnahkan dengan cara dibakar.
Nyatanya, saat dibakar, mereka mengeluarkan asap beracun yang berdampak serius pada kesehatan. Hal ini dapat menyebabkan kanker dan kemandulan. Racun yang dilepaskan ketika spanduk flexi dibakar, tulis jurnal tersebut, akan bersifat karsinogenik (zat apa pun atau radiasi yang terlibat langsung dalam penyebab kanker).

Tanggung Jawab Siapa?

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menilai sampah APK merupakan tanggung jawab para kontestan pemilu. Menurut WALHI, hal itu diatur berdasarkan pasal 15 UU No 18 tahun 2008 tentang pengelolaan sampah.
ADVERTISEMENT
“Produsen wajib mengelola kemasan dan/atau barang yang diproduksinya yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam,” ungkap Tubagus Soleh Ahmadi, Aktivis WALHI saat dihubungi kumparan Jumat (12/01)
Pengendara roda dua melintas di samping baliho alat peraga kampanye (APK) di Pandeglang, Banten, Senin (17/7/2023). Foto: Muhammad Bagus Khoirunas/ANTARA FOTO
Menurut Bagus, dalam praktiknya kontestan pemilu tidak mempertanggungjawabkan sampah mereka. Para kontestan tersebut, kata dia, justru melemparkan sampah mereka kepada pemerintah dalam proses bersih-bersih.
“Intinya mereka membebankan orang lain membebankan pemerintah untuk melakukan pengolahan sampah yang seharusnya tidak pemerintah lakukan. Uang yang digunakan itu kan uang kita,” kata dia.
Bagus menyebut bahwa setiap kampanye selesai, pihak pemerintah akan yang turun membersihkan baliho. Serta tak jarang masyarakat secara mandiri melakukan penurunan baliho.
“Itu akan menambah beban pemerintah menambah beban persoalan rakyat,” tegas Bagus.
Tubagus Soleh Ahmadi, Direktur Eksekutif Walhi Foto: Jafrianto/kumparan
Bagus juga menilai bahwa baliho bukanlah medium yang tepat bagi kontestan untuk kenal dengan masyarakat.
ADVERTISEMENT
“Cara yang paling betul menjaring suara rakyat seharusnya mereka datang, mengenal masyarakat, menyampaikan visi-misinya, mendengar keluhan-keluhan, mendengar tuntutan apa yang diinginkan oleh rakyat. Kalau mereka hanya memasang baliho saja, artinya mereka tidak sedang pada posisi berusaha mengkonsultasikan suara rakyat di dalam pemilu ini,” tambah Bagus.
Sementara itu, caleg DPR RI dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Grace Natalie, menilai baliho masih efektif untuk mempromosikan dirinya sebagai caleg. Meski begitu, kata dia, dirinya juga aktif menggunakan media sosial untuk mempromosikan diri.
"Sebelum pasang baliho, warga tidak tahu bahwa saya maju sebagai caleg, meskipun mereka sudah kenal dengan saya," kata Grace saat dihubungi secara terpisah, Kamis (18/01).
Wakil Ketua Dewan Pembina DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Grace Natalie hadir di kumparan Info A1 di Jakarta, Kamis (28/9/2023). Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Menurut Grace, baliho dirinya yang terpasang di jalan-jalan itu pun banyak didirikan oleh relawan. Oleh sebab itu, kata dia, dirinya pun tak tahu ada di mana saja balihonya tersebar.
ADVERTISEMENT
"Ada relawan yang bantu pasang karena melihat 'kok di daerah mereka tidak ada baliho saya'. Untuk jenis ini saya tidak tahu ada berapa banyak," tambah Grace.