Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Toko Buku Nagareboshi mendadak terasa sesak bagi Yessy Loren. Belasan tentara dan Satuan Polisi Pamong Praja memenuhi muka ruko berukuran 5 x 3 meter itu. Dua tentara dengan tanda pengenal Koramil 01 Padang dan tiga pegawai kejaksaan berdiri di depan meja kasir, mengelilingi Yessy.
ADVERTISEMENT
“Mencari buku berbau PKI,” ujar aparat sore itu, Selasa (8/1). Yessy langsung lemas. Ia meraih telepon genggam menghubungi suaminya yang sedang berada di luar toko.
Tak lama, Yanto Tjahaja sang suami datang. Kala itu, beberapa orang berbaju loreng tengah menyisir tiap-tiap rak. Mata mereka berhenti pada beberapa bagian rak, lalu memilih dan menaruh beberapa buku di depan Yanto.
Mata Yessy masih terus mengawasi para tentara itu memilih buku. Beberapa judul buku semula turut dicurigai berbau PKI, yakni Anak-Anak Revolusi karya Budiman Sudjatmiko, buku motivasi karya konglomerat Tionghoa Jack Ma, dan buku Wiji Thukul: Teka-Teki Orang Hilang yang ditulis Tim Tempo.
Selain itu, enam buku dengan tiga judul mereka sodorkan kepada Yanto. “Mana fakturnya?” pinta salah satu dari mereka.
ADVERTISEMENT
Tak ada surat perintah yang ditunjukkan, tapi Yanto tentu tak bernyali menolak permintaan itu. Ia hanya menjelaskan masing-masing isi buku, hingga akhirnya aparat membawa enam eksemplar berisi tiga judul buku tersebut.
Tiga judul buku itu adalah Kronik 65 karya Kuncoro Hadi, Mengincar Bung Besar: Tujuh Upaya Pembunuhan Presiden Sukarno karya Tim Historia , dan buku kumpulan pidato Sukarno berjudul Jas Merah.
Yanto pun menyodorkan tanda terima sebagai penjelasan kepada penerbit.
Penyisiran buku di toko itu berjalan sekitar satu jam. Yanto heran, sebab aparat datang tanpa berbekal surat apa pun. Ia yakin buku yang mereka bawa tak terkait dengan ajaran komunisme, sebab seluruhnya merupakan penelitian sejarah.
Penggeledahan itu sudah tentu menyisakan trauma. Suami istri yang tinggal di lantai dua toko buku itu khawatir dengan efek samping razia buku di toko mereka. Yessy tak tidur semalaman, cemas bakal dilabeli “penjual buku komunis”.
ADVERTISEMENT
“Dia (Yessy) takut dengan reaksi masyarakat terhadap kami,” kata Yanto kepada kumparan di Padang, Sumatera Barat, Kamis (10/1).
Yanto dan Yessy pun memutuskan menutup toko yang mereka rintis pada 2016. Beberapa pengunjung tetap hilir mudik di toko tersebut. Namun, rak-rak buku mulai kosong, tak diisi lagi oleh buku-buku baru.
“Buku-buku saya obral,” ucap Yessy.
Keduanya juga berencana meninggalkan ruko itu, dan menanggalkan bisnis berjualan buku. Soal bagaimana nanti mencari rezeki untuk memenuhi kebutuhan, mereka belum punya bayangan dan akan dipikir belakangan.
Aksi razia buku oleh tentara mengusik anak-anak muda dan LSM di Padang yang kemudian menyebut diri sebagai “Masyarakat Peduli Pengetahuan”. Mereka mengecam sweeping buku tersebut, dan menganggapnya sebagai pembunuhan intelektual.
ADVERTISEMENT
Jas Merah itu isinya pidato-pidatonya Bung Karno. Buku itu sudah lama beredar. Apalagi buku Wiji Thukul sudah berkali-kali cetak ulang. Kenapa baru sekarang baru bermasalah?
“Kami memandang tindakan itu melanggar hukum itu, karena enggak ada landasan hukum yang kuat untuk melakukan penyitaan,” kata salah satu perwakilan koalisi, Fauzi Fadlurahman, kepada kumparan di Nanggalo, Padang.
Razia buku bukan cuma di Padang, tapi juga di Pare, Kediri, Jawa Timur. Pada 26 Desember 2018 atau dua pekan sebelum tentara membawa buku dari Toko Nagareboshi Padang, anggota Koramil 0809/11 Pare menyisir dua toko buku dan membawa 149 buku dari sana.
Dua toko buku yang jadi sasaran itu ialah Toko Buku Q Ageng dan Toko Buku Abadi. Toko-toko itu berada di Jalan Brawijaya, Kediri.
ADVERTISEMENT
Buku-buku yang dibawa dari kedua toko buku tersebut antara lain Manifesto Komunis, Benturan NU PKI 1948-1965, Gerakan 30 September, Di Bawah Lentera Merah, dan Islam Sontoloyo karya Sukarno yang tak terkait komunisme.
Buku-buku itu diangkut tentara setelah mereka mendapat laporan dari masyarakat tertentu. Pokoknya, karena ada laporan masuk, buku-buku itu lantas dibawa, meski isinya soal penelitian sejarah dan kumpulan pidato Sukarno yang tak menyoal komunisme.
Selain Padang dan Kediri, Tarakan juga menjadi tempat tentara masuk toko buku. Pada hari yang sama dengan razia buku di Padang, tentara menyita buku-buku di Gramedia Tarakan. Toko kecil atau besar bukan soal, selama ada buku beraroma kiri semua bisa diserbu.
ADVERTISEMENT
Penyitaan buku di Tarakan punya alasan sama dengan di Kediri, yaitu karena ada laporan warga—entah siapa—yang masuk.
Intelijen Kesbangpol Tarakan, Kodim 0907 Tarakan, Koramil Tarakan Barat, Badan Intelijen Strategis, dan instansi-instansi terkait mengatakan, mereka hanya melakukan pengecekan. Penyisiran lalu berakhir dengan pengambilan sejumlah buku tanpa surat sita atau bukti pemeriksaan apa pun.
Bagaimana mekanisme untuk menentukan buku mana yang akan disita?
Koramil 01 Padang Utara yang menyisir buku di Padang dan Kodim 0312 Padang tak mau menjawab. Komandan Distrik Militer Padang Letnan Kolonel Czi Rielman Yudha yang semula bersedia menemui kumparan pada Jumat (11/1), ternyata tak muncul di kantornya.
Wartawan kumparan yang bertandang ke markas Koramil 01 Padang Barat/Utara justru disambut rentetan pertanyaan interogasi halus oleh petugas intelijen Kodim. Upaya kumparan untuk mencoba menghubungi kembali telepon seluler Letkol Rielman pun tak berbalas.
Secara terpisah, Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Padang Yuni Hariaman menjelaskan, tindakan pengambilan buku dilakukan setelah Kodim mendapat kabar soal penjualan buku berbau komunisme dari warga. Namun Yuri mengaku tak tahu siapa pihak yang melapor soal buku-buku tersebut kepada Kodim.
ADVERTISEMENT
Setelah menerima laporan, TNI lantas mengundang Pemerintah Kota Padang, Kepolisian, Kejaksaan Negeri Padang, dan sejumlah instansi terkait lain, untuk ikut dalam aksi razia.
“Undangan (disampaikan) lisan by phone,” kata Yuni di kantor Kajari Padang kepada kumparan.
Menurut Yuni, penyitaan di Toko Buku Nagareboshi sudah sah. Razia itu, ujarnya, merupakan bentuk pengawasan terhadap barang cetakan, yang merupakan tugas pokok Kejaksaan.
Oleh sebab itu, Kejari mengistilahkan kegiatan aparat di Toko Nagareboshi sebagai “peminjaman” untuk penelitian, bukan “penyitaan”. Ia tidak menjelaskan kenapa untuk meneliti buku, harus “mengambil” buku itu dari toko alih-alih “membeli” sendiri.
“Itu sebenarnya lebih condong ke peminjaman untuk diamankan dan diteliti. Dan yang melakukan (peminjaman) di toko buku itu Kodim, baru diserahkan satu set sampel buku (ke Kejari,” kata Yuni.
Komandan Koramil 0809/11 Pare, Letnan Satu Sutejo, mengatakan buku-buku yang diambil di Pare diduga berisi ajaran komunisme dan bertentangan dengan Tap MPRS Nomor XXV Tahun 1996 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia.
ADVERTISEMENT
“Buku kami amankan di Markas Koramil Pare dan sebagian dibawa oleh Kesatuan Bangsa, Politik, dan Perlindungan Masyarakat (Kesbangpolinmas) Kabupaten Kediri untuk dikaji,” kata Sutejo, 27 Desember 2018.
Ia tak merespons permintaan wawancara lebih lanjut dari kumparan soal kapan kajian aparat atas buku-buku itu akan rampung.
Serupa, Komandan Kodim 0907 Tarakan Letkol Hipni Maulana F juga tak merespons pertanyaan kumparan soal razia buku di daerahnya.
Sementara Kepala Kesbangpol Kota Tarakan, Agus Sutanto, menyatakan buku-buku yang diambil sudah “diamankan” lebih dulu oleh kepala toko sebelum aparat datang. Menurutnya, buku-buku tersebut ditarik dari pasaran antara lain karena memuat sejarah berhaluan kiri.
Senada dengan aparat-aparat daerah, Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Darat Kolonel Chandra Wijaya tak bicara panjang soal penyisiran toko buku di sejumlah wilayah.
ADVERTISEMENT
“Itu pertimbangan dari semua unsur aparat,” kata Chandra kepada kumparan. Tentara di daerah, ujarnya, hanya menindaklanjuti laporan dan melakukan pemeriksaan.
Kejaksaan Agung mengatakan, aksi aparat di daerah merupakan kewenangannya, dan itu sesuai prosedur. Direktur Sosial Budaya Kemasyarakatan pada Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen, Muhammad Yusuf, kepada kumparan menjelaskan, lembaganya merupakan institusi koordinator dalam Badan Koordinasi Pengawasan Barang Cetakan (Bakor Pacet).
Badan koordinasi tersebut diisi oleh Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Badan Intelijen Strategis TNI, Badan Intelijen Negara, Polri, serta Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Kejaksaan memperoleh kewenangan mengawasi barang cetak melalui Pasal 30 ayat 3 UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan dan Pasal 69 UU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan.
ADVERTISEMENT
Namun pengawasan tersebut kemudian dibatasi oleh terbitnya putusan MK Nomor 6-13-20/PUU-VIII/ 2010 yang menyebutkan bahwa prosedur pengawasan barang cetak melalui Undang-Undang Penetapan Presiden (PNPS) Nomor 4 Tahun 1963 merupakan inkonstitusional.
PNPS Nomor 4 Tahun 1963 ini merupakan prosedur yang biasa digunakan untuk membatasi barang cetakan, termasuk buku.
Wakil Direktur LBH Padang Indira Suryani menyebut perilaku tentara dan aparat yang membawa buku tanpa surat sebagai perampasan. Sementara pemilik penerbitan Komunitas Bambu JJ Rizal menyatakan tindakan aparat sangat merugikan publik dan industri penerbitan.
Aparat, kata dia, memakai kacamata kuda dalam mengambil buku-buku. Asal judul buku terlihat kekiri-kirian, maka langsung dibawa. Padahal buku-buku tersebut memiliki nilai keilmuan dan disusun lewat riset panjang.
ADVERTISEMENT
“Itu otomatis mengkhianati tujuan kita menjadi Indonesia yang ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’. Lu membunuh publisher dan membuat buku tidak bisa diakses oleh masyarakat,” ujar Rizal.
Adagium don’t judge a book by it's cover tampaknya tak berlaku di Indonesia. Padahal, kalau buku hanya dinilai dari sampul dan judul tanpa membaca isi dan mencerna esensi, mau jadi apa negara ini?