Kartu Prakerja dan Seabrek Masalahnya yang Tak Kunjung Usai

2 Juli 2020 14:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Warga mencari informasi tentang pendaftaran program Kartu Prakerja gelombang kedua di Jakarta. Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
zoom-in-whitePerbesar
Warga mencari informasi tentang pendaftaran program Kartu Prakerja gelombang kedua di Jakarta. Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
ADVERTISEMENT
Kartu Prakerja selalu menuai kontroversi dari awal kemunculannya. Yang terbaru, Manajemen Pelaksana Kartu Prakerja menghentikan penjualan paket pelatihan bundling (gabungan beberapa produk) dalam program mereka.
ADVERTISEMENT
Program yang lahir dari janji kampanye Presiden Jokowi untuk mempekerjakan dua juta pengangguran itu memang tak pernah surut dari sorotan. Pada pengujung 2019, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menganggarkan Rp 10 triliun untuk program tersebut; menyasar lulusan SMA/SMK dan pekerja yang terkena PHK.
Tapi, sebelum benar-benar kuat berdiri, Kartu Prakerja seperti dipaksa berlari karena pandemi corona membuat banyak orang terkena pemutusan hubungan kerja. Pertengahan April saja, Kementerian Ketenagakerjaan menyatakan 2,8 juta warga Indonesia terkena PHK akibat imbas corona.
Maka, Kartu Prakerja yang semula sama sekali tak dirancang untuk menghadapi pandemi, dipaksa beradaptasi. Program itu bertransformasi jadi semi-bantuan sosial.
Konsekuensinya, penambahan anggaran dilakukan per Maret 2020. Anggaran yang semula hanya Rp 10 triliun digandakan oleh Jokowi. Target penerimanya pun bertambah dari 2 juta menjadi 5,6 juta orang.
ADVERTISEMENT
Namun dalam perjalannnya, sengkarut permasalahan muncul. Mulai dari proses perekrutan rekanan perusahaan hingga dugaan konflik kepentingan. Berikut seabrek permasalahan yang melingkupi Kartu Prakerja yang meluncur mulai 16 April itu.
Ilustrasi daftar kartu Prakerja. Foto: Dicky Adam Sidiq/kumparan
Tanpa tender
Salah satu platform digital di Kartu Prakerja, Ruangguru, diketahui menjadi mitra pemerintah tanpa proses tender. Beruntun muncul fakta bahwa tujuh mitra lainnya, yaitu Tokopedia, Mau Belajar Apa, Bukalapak, Pintaria, Sekolahmu, Pijar Mahir, dan Sisnaker milik Kementerian Ketenagakerjaan, juga tak melalui proses tender.
Alasan pemerintah tak melakukan tender adalah karena program itu bersifat semi-bantuan sosial. Menurut Direktur Komunikasi Manajemen Pelaksana Prakerja, Panji Winanteya Ruky, pemerintah melakukan kerja sama dengan platform setelah Permenko mengenai Kartu Prakerja terbit.
“Jadi tidak ada penunjukan terhadap delapan platform, tapi kerja sama. Kapan kerja sama dimulai? Setelah Permenko diterbitkan,” kata Panji, Kamis (23/4).
ADVERTISEMENT
Pemerintah juga menyebut tak melakukan tender karena tak ada pengadaan barang dan jasa yang dibayar pemerintah pada platform tersebut. Hal ini lantas memancing kritik sejumlah pihak, salah satunya KPK.
Pelatihan Prakerja yang dijajakan Bukalapak. Foto: Dok. Bukalapak
Konflik kepentingan
KPK dalam kajiannya menemukan potensi konflik kepentingan dalam Kartu Prakerja. Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan, lima dari delapan platform digital lembaga penyedia latihan di Kartu Prakerja memiliki konflik kepentingan.
“Sebanyak 250 dari 1.895 pelatihan yang tersedia adalah milik Lembaga Penyedia Pelatihan yang memiliki konflik kepentingan dengan platform digital,” ucap Alex.
Jadi, konflik kepentingan terjadi karena beberapa platform terafiliasi dengan LPP. Padahal, mekanismenya adalah LPP mengajukan program ke platform untuk kemudian dikurasi oleh platform bersama Manajemen Pelaksana Kartu Prakerja. Namun, terdapat LPP dan platform yang masih memiliki afiliasi karena satu perusahaan.
ADVERTISEMENT
Sebanyak 250 pelatihan yang terafiliasi yaitu Ruangguru (117 pelatihan oleh Skill Academy milik Ruangguru), Pintaria (60 pelatihan oleh HarukaEDU milik Pintaria), Sekolahmu (25 pelatihan oleh Sekolahmu), Mau Belajar Apa (28 pelatihan oleh Mau Belajar Apa dari PT Avodah Royal Mulia), dan Pijar Mahir (11 pelatihan oleh Pijar Mahir).
Kelas online gratis Ruangguru. Foto: Instragram / @ruangguru
Tak layak disebut pelatihan
Direktur Litbang KPK Wawan Wardiana, merujuk pada sejumlah pakar, menyatakan bahwa hanya 24 persen dari 1.800 pelatihan online dalam Kartu Prakerja yang dianggap layak untuk diikuti masyarakat.
“Sehingga sisanya dianggap tidak layak sebagai pelatihan,” kata Wawan dalam diskusi virtual, Sabtu (27/6).
Bahkan dari konten yang dianggap layak, hanya 50 persen pelatihan yang dapat dilakukan secara online, sedangkan lainnya perlu dilakukan tatap muka atau kombinasi.
ADVERTISEMENT
“Dari 24 persen itu juga kalau kita pilah lagi, hanya 50 persen yang pelatihannya bisa dilakukan lewat online. Jadi sisanya harus ada offline atau kombinasi dari kedua hal tersebut,” tutur Wawan.
Sejumlah pelatihan yang bisa diakses gratis di internet itu kemudian direkomendasikan KPK untuk ditarik keluar dari Kartu prakerja.
Pelatihan Prakerja Menulis Cerita Perjalanan. Foto: Dok. Tokopedia
Besaran komisi dipertanyakan
Indonesia Corruption Watch (ICW) menyoroti besaran komisi yang didapat delapan platform digital di program Kartu Prakerja. ICW menyebut pemerintah tak mau membeberkan berapa detail komisi yang diperoleh platform-platform tersebut.
Dalam Permenko Nomor 3 Tahun 2020 dijelaskan bahwa platform digital diperbolehkan mengambil komisi jasa yang wajar dari lembaga pelatihan yang melakukan kerja sama. Sementara besaran komisi jasa diatur dalam perjanjian kerja sama dan mendapat persetujuan manajemen pelaksana.
ADVERTISEMENT
Persoalannya, perjanjian kerja sama itu tidak terbuka. Dari kondisi itu, ICW menilai pemerintah dan Pelaksana Kartu Prakerja menutup-nutupi komisi yang didapatkan platform.
Platform digital itu sendiri disebut ICW tak mau membuka data. Hanya platform Mau Belajar Apa yang menyebutkan komisinya 20 persen. Pun begitu, menurut ICW, angka 20 persen itu belum bisa dijadikan sebagai dasar komisi yang wajar.
Pelatihan online dalam alokasi dana kartu prakerja. Foto: Indikator
Banjir sentimen negatif
Kartu Prakerja mendapat banyak sentimen negatif dari masyarakat. Hasil riset Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menyebut terdapat 70,3 persen sentimen negatif di media sosial terkait program ini.
Riset INDEF tersebut dilakukan pada 13 April–3 Mei melalui media sosial, dan melibatkan 130.500 topik perbincangan di laman Twitter. Hanya 29,7 persen yang sentimennya positif.
ADVERTISEMENT
Rset tersebut juga menampilkan topik yang paling banyak diperbincangkan terkait Kartu Prakerja. Topik-topik itu ialah Kartu Prakerja: skandal pencurian uang negara, stop pelatihan kartu prakerja, dan polemik pelatihan kartu prakerja: tidak relevan di masa pandemi.
Ilustrasi sembako. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Dianggap Tak Efektif
Proses pelatihan di Kartu Prakerja dianggap tak efektif oleh sejumlah pihak. Salah satunya oleh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI).
Ketua Departemen Komunikasi dan Media KSPI, Kahar S. Cahyono, berpendapat bahwa saat ini masyarakat lebih butuh lapangan pekerjaan ketimbang pelatihan online. Terlebih, PHK akibat corona sangat massif.
Menurutnya, akan lebih baik pelatihan diganti dalam betuk uang tunai. Uang itu lantas bisa dimanfaatkan oleh para peserta untuk modal usaha atau mencukupi kebutuhan sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Sementara Direktur Eksekutif INDEF, Tauhid Ahmad, tak mempermasalahkan Kartu Prakerja. Ia hanya menyayangkan pelatihan yang dinilai tak efektif dalam situasi pandemi.
“Seharusnya bisa dimanfaatkan untuk bantuan yang sifatnya tunai untuk kebutuhan pokok,” ujarnya, Selasa (21/4).
Tauhid menganggap pelatihan kerja memang penting. Namun, pelatihan harus diikuti lowongan kerja yang tersedia. Padahal, saat ini tak banyak perusahaan yang membuka kesempatan bekerja untuk karyawan baru.
Bagaimana menurut anda? Layakkah Kartu Prakerja berlanjut?
***
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona)
***
Saksikan video menarik di bawah ini.