Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Belasan juta ton sampah makanan yang dibuang sia-sia turut berkontribusi terhadap krisis iklim saat ini.
Sepasang pengantin baru saja menaiki panggung ketika Tridiyah Parma (43) bersama keluarganya memasuki sebuah gedung yang biasa digunakan untuk resepsi pernikahan di kawasan Salemba, Jakarta Pusat. Ia menggendong Zizi, si bungsu yang baru berusia dua setengah tahun, dan membiarkan dua anaknya yang lain, Sakti (9) serta Tiara (17), berjalan lebih dulu. Sementara sang suami, Dika Handoyo, setia di sampingnya mendampingi.
Ia segera mengarahkan langkahnya menuju bangku di area khusus keluarga yang telah disediakan. Keringat yang mulai membasahi dahi dan pegal di tangan membuat Diyah ingin segera duduk mengistirahatkan lelah yang terasa lebih mudah hinggap di tubuhnya.
Sementara si bujang, Sakti, segera menggandeng lengan kakaknya untuk berkeliling mencari makanan di antara kerumunan tamu undangan lain. Selang beberapa saat, Sakti dan Tiara datang membawa dua mangkuk Zuppa Soup di tangan. Sup bertopi pastri khas Italia itu menarik perhatian Sakti yang penasaran untuk mencicipi. Tapi di suapan pertama, ia memutuskan untuk tak lanjut menghabiskan makanannya itu. Seporsi Zuppa Soup yang dicampakkan oleh Sakti itu diletakkan Diyah di kolong kursi yang diduduki.
Tumpukan piring di kolong kursi Diyah kian bertambah: sepotong kue keju dan kue coklat yang tak habis, sisa siomay, hingga separuh nasi lengkap dengan lauk-pauknya. Piring-piring bekas dan sisa makanan itu tak hanya mengisi kolong bangku Diyah saja, tapi juga bercecer di kolong bangku tamu lain, di atas atau bawah meja, dan di pinggiran tembok.
Di setiap acara pernikahan, salah satu yang paling penting adalah persoalan hidangan. Apa menu utamanya, berapa banyak jenis hidangan, berapa jumlah menu jajanan dan cemilan, dan berapa ratus porsi yang disajikan. Anggaran untuk memanjakan lidah para tamu undangan ini bahkan bisa mencapai 50 persen dari total biaya pernikahan.
Menyediakan porsi makanan lebih banyak dibanding jumlah undangan yang disebar menjadi hal yang lumrah. Sebab bagi para tuan rumah lebih baik memiliki makanan berlebih ketimbang ada undangan yang tak kebagian makan. Toh jika ada makanan berlebih yang kondisinya masih bagus bisa dibungkus lalu dibagikan kepada tetangga dan keluarga.
Maka banyaknya pilihan makanan di acara pesta kerap membuat banyak orang lapar mata. Seloroh untuk mencicipi semua menu hingga makan gratis sepuasnya di kondangan pun kerap terlontar. Perihal sendokan nasi dan lauk pauk yang menyisa atau cemilan yang tak sanggup dihabiskan adalah persoalan lain yang kerap disepelekan.
Dimas Tegus Prasetyo dalam artikel berjudul Ada Apa dengan Pesta Pernikahan dan Food Waste: Sebuah Studi Pendahuluan yang tayang dalam Jurnal Kesehatan Keluarga dan Pendidikan mencoba menerangkan beberapa alasan mengapa banyak orang cenderung tak menghabiskan makanannya di acara kondangan.
Salah satu pertanyaan yang diajukan dalam wawancara penelitiannya adalah, Apa saja yang dilihat sebagai sebuah keuntungan dalam berperilaku food waste? Lima dari sembilan partisipan mengaku merasa perlu mencicipi beberapa makanan untuk memuaskan hasrat dan untuk mencapai rasa kenyang.
Sementara tiga lainnya merasa malas antri dan pergi berkali-kali untuk mengambil makanan. Oleh karena itulah mereka memilih mengambil makanan lebih banyak dari biasanya. Satu partisipan menyatakan bahwa ia tak menghabiskan makanan demi menghindari stigma bahwa orang yang menghabiskan makanan di pesta pernikahan adalah orang yang kelaparan.
Ketika ditanya terkait perilaku membuang-buang makanan, sebagian besar mengaitkan hal itu dengan mubazir, istilah dalam Islam yang berarti menyia-nyiakan sesuatu karena terlalu berlebihan. Meski memiliki pandangan negatif terhadap perilaku tersebut, namun tak semua menyadari konsekuensi negatif dari tindakan tersebut.
Tingginya perilaku menyia-nyiakan makanan dengan berbagai alasan dan di berbagai kondisi membawa Indonesia juara 2 sebagai penyumbang sampah makanan terbesar di dunia. Catatan tersebut dilaporkan dalam Food Sustainability Index (FSI) yang diterbitkan oleh the Economist Intelligence Unit (EIU) bersama Barilla Center for Food and Nutrition Foundation (BCFN).
Nilai indeks ketahanan pangan itu diambil dari 37 indikator yang dikelompokan menjadi empat kategori, yakni skor keseluruhan (overall), lalu makanan mubazir dan limbah makanan (food loss and waste), pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture), dan tantangan gizi (nutritional challenges).
Khusus terkait sampah makanan, Food and Agriculture Organization membagi dua kategori, yakni food loss dan food waste. Food loss diartikan sebagai makanan yang terbuang di tengah rantai produksi. Sedangkan food waste merupakan makanan yang menjadi sampah setelah berada di tangan konsumen.
Contoh sederhana dari food loss adalah tomat yang dibuang oleh petani karena bentuknya tak sempurna atau sudah hampir busuk. Sedangkan, food waste ialah irisan tomat yang tidak kita makan ketika mengunyah sepiring nasi goreng.
Di negeri berpenduduk sekitar 250 juta orang ini, rata-rata setiap orangnya tercatat menghasilkan 300 kilogram sampah makanan setiap tahunnya. Indonesia hanya kalah dari Arab Saudi yang membuang 427 kilogram sampah makanan per orang per tahun dan sedikit lebih unggul dari Amerika Serikat yang tiap orang per tahunnya menghasilkan 277 kilogram sampah makanan. Sementara dalam Indeks Kelaparan Global, dengan menempati peringkat ke 70 dari 117 negara, ada sekitar 22 juta warga Indonesia justru menderita kelaparan.
“Ada mindset bahwa kita itu kadang take it for granted ya, merasa makanan itu murah, mudah didapat. Kita nggak mikir sebenarnya usaha untuk menghasilkan satu piring nasi itu sangat besar,” ujar Eva Bachtiar, penggagas Garda Pangan Surabaya, saat dihubungi oleh kumparan.
Maka Eva, bersama Dedhy Trunoyudho dan Audivtia, merintis sebuah organisasi yang fokus terhadap keadilan pangan dan foodwaste. Selain memberi edukasi perihal makanan sisa, organisasi ini juga membantu menyalurkan makanan-makanan berlebih yang masih layak makan kepada berbagai kelompok masyarakat. Salah satu sumbernya tentu saja makanan sisa kawinan yang tak tersentuh dan dalam kondisi utuh.
Selain bermitra dengan produsen makanan seperti bakery dan susu, Garda Pangan juga bekerja sama dengan hotel atau pihak event organizer untuk menyalurkan makanan sisa layak makan kepada yang membutuhkan.
“Gimana caranya me-reduce food waste. Kita kerja sama, lalu sumber food waste-nya tadi kita ada 2, yang pertama dari mitra, industri bisnis makanan kayak resto, hotel, bakery, cafe, dan lain-lain yang punya potensi makanan berlebih. Yang kedua insidentil kayak acara pernikahan, pesta ulang tahun, seminar-seminar, dan sebagainya,” papar Eva via sambungan telepon.
Makanan-makanan yang tentu saja masih layak kunyah itu dibungkus, dikumpulkan, untuk kemudian dibagikan oleh tim Garda Pangan ke beberapa lokasi yang telah mereka survei terlebih dulu. “Kita penginnya tepat sasaran dan gak mau asal ngasih.”
Tak cuma di Surabaya, banyak organisasi serupa baik itu digerakkan oleh rasa keadilan pangan ataupun lingkungan bergerak di bidang yang sama di Jakarta dan sekitarnya. Misalnya saja Foodbank of Indonesia (FOI) yang terbentuk sejak Mei 2015 dan Food Cycle yang muncul pada 2017. Baik FOI, Garda Pangan, maupun Food Cycle berupaya hadir untuk meminimalisir lahirnya limbah makanan.
Upaya paling umum yang dilakukan adalah dengan membantu mendistribusikan produk-produk dari toko kue, roti, susu, kafe, dan sebagainya kepada pihak lain, termasuk makanan sisa acara pernikahan. Food Cycle misalnya, organisasi yang dinahkodai oleh pasangan suami istri Herman Andryanto dan Astrid Paramita itu menggandeng vendor pernikahan, Bridestory dalam salah satu program kolaborasi bernama A Blessing to Share.
Konsepnya, para pengantin yang ingin berbagi makanan berlebih di acaranya bisa mendaftarkan diri dengan mengisi formulir yang tersedia di website A Blessing to Share . Dengan mendaftarkan diri, para pengantin tak perlu pusing memikirkan apa yang harus diperbuat apabila ada kelebihan hidangan. Makanan berlebih tersebut akan dikirim ke salah satu dari 36 lokasi yang sudah bekerja sama dengan Food Cycle.
“Minimal 25 porsi makanan,” ujar Astrid saat ditemui kumparan di Tokopedia Tower di Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (14/1). Hal tersebut tentu berdasar pertimbangan energi dan biaya yang mesti dikeluarkan untuk menyalurkan makanan berlebih itu.
Berdasarkan data Food Cycle, 6 dari 10 pernikahan memiliki rata-rata 40 kilogram makanan berlebih. A Blessing To Share mengklaim telah mampu menyelamatkan 10,5 ton makanan berlebih dari 455 pesta pernikahan di Jabodetabek. Selain itu, kini Food Cycle juga memiliki program untuk menyelamatkan makanan berlebih dari perusahaan roti dan makanan dari hidangan makan siang kantor.
Sementara FOI lebih banyak bekerja sama dengan pihak hotel seperti Bidakata dan Aston untuk mendistribusikan kelebihan stok makanan yang mereka miliki. Melalui kerja sama seperti itu, FOI bisa mendapatkan informasi adanya makanan berlebih dari sebuah acara.
“Bahwa masih banyak orang yang nggak punya akses terhadap makanan. Dalam bahasa umumnya masih banyak orang kelaparan. Sehingga gak boleh ada makanan yang mubazir,” ujar Hendro Utomo, Dewan Pembina FOI kepada kumparan.
Konsepnya juga serupa, makanan itu disalurkan kepada mereka yang membutuhkan. FOI menyebut mereka para penerima penyaluran makana itu dengan istilah nasabah. Hingga saat ini, FOI telah berdiri di 31 titik di Indonesia dengan jumlah relawan mencapai 370-an orang.
Meski sedari kecil kita sering diajari soal nasi yang akan menangis jika tak habis atau istilah mubazir sebagai salah satu perbuatan kurang baik, namun makanan di atas piring tak selalu mampu habis ditelan. Anggapan bahwa sampah organik seperti makanan aman dibuang begitu saja karena akan terurai dengan sendirinya membuat kita tak begitu menyadari persoalan iklim sebenarnya yang bisa ditimbulkan.
Ah, sampah makanan mah bisa dengan mudah terurai di tanah atau kasih makan ayam aja. Tapi persoalannya ternyata tak sesederhana itu apalagi di wilayah perkotaan yang telah dipenuhi aspal dan beton, alih-alih tanah atau pepohonan rindang dengan ayam-ayam yang berkeliaran.
Ditambah bencana yang mungkin ditimbulkan dari timbunan aneka sampah yang bercampur dan menumpuk. Ingat peristiwa meledaknya tempat pembuangan akhir (TPA) sampah Leuwigajah di Cimahi, Jawa Barat?
Masyarakat di dua desa di bawah gunung sampah Leuwigajah mendadak gaduh pada 21 Februari 2005 dini hari. Gunung sampah yang terus meninggi sejak 1970-an itu berubah menjadi petaka bagi warga. Ledakan akibat dorongan gas metana yang terkandung di dalamnya melahirkan longsor gunungan sampah yang menenggelamkan dua desa di bawahnya. Peristiwa itu menyebabkan 157 nyawa melayang.
“Gas metana ini juga mudah terbakar. Biasanya di TPA, gas metana ini tercipta karena sampah di dalam gunungan tidak mendapat paparan oksigen, sehingga muncul banyak metanogen,” ujar Adhitya Prayoga, Project Executive Waste4Change kepada kumparan, Kamis (16/1).
Metanogen merupakan mikroorganisme yang menghasilkan metana. Mikroorganisme itu tumbuh di antara sisa-sisa makanan. Selain gas metana, limbah organik yang membusuk itu juga akan mengeluarkan karbon dioksida.
“Gas metana ini 21 kali lebih berdampak sebagai gas rumah kaca daripada karbon dioksida. Artinya dia lebih menyerap panas lebih banyak daripada CO2 sehingga menjadi salah satu gas yang mempengaruhi perubahan iklim,” paparnya kemudian.
Lebih dari 50 persen dari total 64 juta ton sampah di Indonesia per tahun bersumber dari sampah organik. Menurut data Food and Agriculture Organization, ada sekitar 13 juta ton sampah makanan yang dihasilkan warga Indonesia per tahunnya.
“Emisi metana dari TPA-TPA di dunia diperkirakan mencapai 14 persen. Jadi secara total mencapai hampir lebih dari 50 persen emisi yang dihasilkan dari makanan dan sampah makanan,” imbuhnya.
Bagi Adhitya, sebenarnya gas metana ini bisa menjadi sesuatu yang bermanfaat. Namun, selama ini yang terjadi sebaliknya, gas tersebut tak terkontrol dan banyak terbuang sia-sia. Malahan, gas ini menguap begitu saja dan menjadi faktor pendorong terjadinya pemanasan global.
Senada dengan Adhitya, Satya Hangga Yudha, co-founder Indonesian Energy and Environmental Institute (IE2I), menilai limbah makanan turut serta mendorong peningkatan kadar emisi gas rumah kaca. Menurut Satya makanan yang telah terfermentasi di tumpukan sampah itulah yang melahirkan gas metana dan turut serta berkontribusi terhadap perubahan iklim.
“Kita harus ingat bahwa kenaikan emisi gas rumah kaca itu yang menyebabkan pemanasan global dan konsekuensi negatif dari pemanasan global itu perubahan iklim. Ini isu yang sering diabaikan dan diremehkan oleh banyak sekali pemangku kepentingan,” ujar Satya kepada kumparan, Senin (13/1).
Menanggapi hal tersebut, Novrizal Tahar, Direktur Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengatakan telah banyak upaya yang dilakukan untuk memanfaatkan sampah sisa makanan tersebut.
“Komposisi sampah kita itu 50-57 persen sih angkanya itu adalah organik, yaitu sampah makanan , sisa sayur, kulit pisang, kulit udang, sisa makanan yang gak habis. Sampah itu bisa menghasilkan energi. Di TPST Bantargebang misal, ada 3 megawatt listrik dari gas metan yang berasal dari landfill-nya. Potensinya 16 megawatt malah,” ucapnya kepada kumparan pekan lalu.
Ia meminta kepada seluruh masyarakat untuk mengurangi dan memilah sampah dari rumah sebelum diangkut ke tempat pembuangan akhir. “Menurut UU Pengelolaan Sampah, persoalan sampah itu menjadi tanggung jawab individu,” pungkasnya.