LIPSUS Sampah Kondangan, Novrizal Tahar, Square

KLHK: Kita Harus Ubah Perilaku, Bereskan Urusan Sampah Sendiri

17 Januari 2020 15:31 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pemandangan dari atas tumpukan sampah. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Pemandangan dari atas tumpukan sampah. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Pernahkah kamu berada di sebuah kondangan lalu kalap menghadapi makanan berjejer dengan aroma yang menggugah selera? Kamu mengambil semangkuk empal gentong. Kemudian sate kambing. Kemudian macaroni schotel. Belum habis, kamu sudah mengantre pada barisan menu utama di barisan prasmanan: segunung nasi goreng, kambing guling, lengkap dengan sapi lada hitam.
Sayangnya, perutmu tak mampu menampung sepiring makanan lezat terakhir. Sambil membatin, ‘Aduh, sayang nih nggak habis, tapi gue udah kenyang,’ kamu pelan-pelan meletakkannya di meja piring kotor dan bergegas berbasa-basi dengan kawan lama. Yang kemudian tersisa adalah sampah.
Yang mungkin kamu tidak tahu adalah, menurut data Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, komposisi sampah di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang paling banyak disumbang oleh sampah makanan, yaitu 39 persen. Angkanya bahkan lebih tinggi daripada sampah plastik yang menyumbang 33 persen sampah. Di sinilah nasi goreng dan kambing gulingmu itu akhirnya bermuara.
TPST Bantargebang, menurut data yang dikeluarkan oleh Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, rata-rata menampung 7.702 ton sampah per hari pada 2019. Tren angka ini selalu meningkat setiap tahunnya dari tahun 2011. Sementara di tingkat nasional, sampah yang dihasilkan masyarakat Indonesia mencapai 66-67 juta ton. Menurut data Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL) 2019, 60 persen sampah nasional ini adalah sampah organik seperti makanan.
Direktur Pengelolaan Sampah KLHK Novrizal Tahar menganjurkan masyarakat untuk membereskan urusan sampah sendiri. Menurutnya, ada baiknya sampah yang dihasilkan dari rumah tangga sendiri dipilah terlebih dahulu antara yang organik dengan yang non-organik.
Sampah-sampah yang masih memiliki nilai dalam arti bisa didaur ulang bisa diberikan kepada bank sampah agar bisa diproduksi ulang menjadi produk lain. Sehingga, ucap Novrizal, “Tinggal yang kita serahkan ke Dinas Kebersihan yang benar-benar residu, artinya yang sudah nggak bisa diapa-apain lagi,” ucap Novrizal, menekankan antisipasi di tingkat hulu yang seharusnya lebih kencang diupayakan.
Yang kemudian jadi pertanyaan, seberapa besarnya dampak perilaku masyarakat terhadap ancaman sampah yang ada di Indonesia saat ini? Seberapa besar pengaruh yang akan dihasilkan apabila masyarakat cermat memilah sampah dari rumah tangga sendiri? Apa yang dilakukan KLHK? Berikut kutipan wawancara kumparan dengan Novrizal di kantor KLHK, Jakarta, Kamis (9/1).
Direktur Pengelolaan Sampah KLHK Novrizal Tahar. Foto: Prabarini Kartika/kumparan
September lalu KLHK meluncurkan program Pilah Sampah dari Rumah. Itu program apa?
Persoalan sampah kita itu nggak ringan ya. Berat persoalannya karena complicated dan berbagai dimensi. Bukan hanya dimensi teknis atau dimensi struktural kelembagaan aja, tapi ada dimensi sosial kultural dan sebagainya. Sehingga memang kalau kita lihat, secara nasional rata-rata kapasitas pengelolaan sampah kita tuh baru (di) angka 32 persen. Jadi, pengurangan 3 persen, penanganan 29 persen. Artinya, yang ditangani pemerintah daerah tuh sekitar 29 persen. Tiga persennya itu mungkin dari masyarakat yang menyelesaikan.
Oleh sebab itu pemerintah sih sebenarnya dalam pengelolaan sampah tuh ada tiga pendekatan besar dan kita melakukan semua itu secara simultan.
Pertama, pendekatan yang kita dorong itu kita sebut dengan minim sampah atau less waste. Prinsipnya adalah bahwa persoalan sampah itu bisa diselesaikan dengan perilaku semaksimal mungkin membatasi mencegah atau mengurangi sampah. Jadi, upaya-upaya seperti dilakukan kebijakan DKI Jakarta baru ini membatasi penggunaan single use plastic bag itu termasuk bagian dari pendekatan itu. Atau gerakan-gerakan bawa tumbler, bawa kantong belanja, tidak menggunakan cutlery, sedotan plastik, styrofoam itu adalah pendekatan minim sampah tadi atau less waste.
Jadi, filosofinya adalah setiap orang itu semaksimal mungkin dia membatasi mencegah timbulnya sampah. Jadi kalau mau ke pasar pun bawa tempat ikan, bawa tempat udang. Sudah banyak itu kalangan-kalangan anak-anak milenial yang melakukan itu. Jadi memang udah pake hati itu mereka menjalani.
Warga membawa kantung berisi belanjaanya di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta, Rabu (15/1). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Kebijakan di Jakarta Itu baru plastik saja ya?
Ya, dia baru plastic bag. Kalau Bali kan sudah tiga tuh, plastik, (sedotan) plastik, dan styrofoam. Itu kita dorong (di) daerah. Daerah itu juga nggak bisa juga kita paksa karena juga tergantung kondisi masyarakat di sana bisa menerima (atau) beradaptasi nggak.
Pendekatan ini juga kita dorong dari sisi masyarakatnya. Jadi, kalau bisa semua orang itu ya sudah jadi wardrobe nih, bawa tumbler kayak saya tuh, nggak usah minta sedotan, lunch box sendiri kalo mau makan.
Dan juga dari sisi stakeholdernya, pendekatan ini kita dorong juga. Sekarang McD nggak ada lagi sedotan, malah udah mulai berkurang kan juga plastiknya, Bakerzin, grup-grupnya Boga itu udah pake sedotan bambu, Bakoel Koffie sedotan stainless. Artinya, dari sisi produsen juga sudah kita dorong juga melakukan pendekatan minim sampah.
Pendekatan yang kedua yang kita dorong adalah circular economy. Apa itu? Kalo tetap menghasilkan sampah, semaksimal mungkin sampah itu harus didorong menjadi sumber daya. Jadi, mau digunakan kembali atau didaur ulang menjadi produk yang sama atau menjadi produk lain misalnya, kayak saya punya botol bisa jadi botol jadi, bisa jadi jersey, bisa jadi tas. Itu kuncinya adalah memilah sampah. Makanya ada gerakan pilah sampah itu.
Jadi, kalau kita lihat sekarang rate-nya kita, rate orang memilah sampah itu angkanya baru 11 persen. Rate recycling itu baru sekitar 11-13 persen. Kita mencontoh misalnya industri kertas kita. Industri kertas kita kekurangan bahan baku dari scrap kertas, dari sampah-sampah kertas yang sudah disortir hampir 5,5-6 juta ton setahun. Karena kita mungkin di dalam negeri nggak maksimal, kita nggak memilah sehingga sampah itu terbuang aja, kita buang di tong sampah. Kalau ini kan kita pilah nih tong sampah saya, kertas misalnya, kalo semua sampah kertas di ini jadi kebutuhan industri kertas bisa kita pasok dari dalam negeri. Akhirnya kita impor. Begitu impor dicampur sama sampah lain, impurities lebih banyak.
Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa (kedua kanan) mengamati tumpukan sampah kertas yang diimpor oleh sebuah perusahaan pabrik kertas sebagai bahan baku kertas di Mojokerto, Jawa Timur, Rabu (19/6). Foto: ANTARA FOTO/Zabur Karuru
Gerakan Pilah Sampah dari Rumah bukannya malah menambah kewajiban ke rumah tangga, seperti untuk punya tong sampah organik dan non-organik?
Kan nggak harus punya tong sampah. Yang penting dipilah. Jadi, kalo pemdanya ngangkutnya belum terpilah, ya sudah, dibawa ke bank sampah. Tunggu sebulan dikumpulkan. Kalau saya di rumah yang plastik (dengan) plastik, kertas (dengan) kertas, kaleng (dengan) kaleng, dan single use flexible packaging itu. Sebulan setengah baru penuh itu. Baru saya bawa ke bank sampah. Nanti dari bank sampah baru dia bawa ke yang kertas dijual ke industri kertas, yang plastik botol ke industri daur ulang plastik.
Sampah organik bercampur dengan yang menumpuk di tempat pembuangan akhir (TPA). Sejauh mana bahayanya?
Kalo sampah organik dibiarkan pasti akan menyebarkan vektor penyakit. Makanya harus diolah juga sampah organiknya. Makanya saya bilang pendekatan yang kedua tadi, kalau sudah dipilah, yang organiknya mau dibikin pupuk, mau diolah pake teknologi maggot, maupun dimasukin lobang biopori.
Kalau setiap rumah sebenernya bisa menyelesaikan, sudah 50 persen itu sampah organik. Komposisi sampah kita itu 50-57 persen angkanya itu adalah organik, yaitu sisa makanan, sisa sayur, kulit pisang, kulit udang, sisa makanan yang nggak habis. Baru sisanya yang anorganik yang saya ceritakan, kertas, kaleng, botol plastik.
Padahal, gas metana oleh sampah organik kan lebih berbahaya untuk pemanasan global.
Ya harus ditangkap. Makanya kalo dia dimasukin ke landfill, landfill-nya itu menghasilkan gas metana, gas metananya ditangkap, dijadiin energi, bisa masak di kompor, bisa bikin listrik.
Di kita sudah banyak teknologi seperti itu?
Sudah banyak. Di Bantargebang ada 3 megawatt dari gas metana yang dari landfill-nya. Potensinya 16 megawatt malah, (tapi) baru ketangkap 3 megawatt.
Ilustrasi Makanan Sisa di tempat pebuangan makanan. Foto: Shutter Stock
Kalau dari rumah sendiri sudah banyak yang milah sampah? Sebenarnya praktik yang benar seperti apa?
Praktik yang benar itu sebenarnya, pertama, mengurangi, mencegah. Jadi setiap orang itu itu dulu (tugas) yang pertama. Kalau dia sudah maksimal membatasi-mengurangi-mencegah tetap menghasilkan sampah, dia memilah di rumah. Itu yang harus dilakukan. Jadi kalo yang organik dia harus pilah organik sehingga nanti dia bisa selesaikan sendiri, mau dia gali tanah, masukin ke dalam tanah, selesai persoalan. Mau dia bikin kompos dengan ember takakura, nanti dipisah. Mau dia buat lobang biopori juga bisa sehingga nanti jadi pupuk dan bikin tanahnya juga bagus.
Kemudian yang anorganiknya dipilah. Plastik plastik, kertas kertas, botol botol, kaleng kaleng. (Sampah anorganik) Ini kan punya nilai ekonomi. Dia nggak punya nilai ekonomi karena tercampur selama ini dengan sampah-sampah yang makanan sehingga udah jijik, akhirnya terbuang. Tapi kalau sejak awal habis minum, dicuci sedikit kan masih bersih kalengnya, kumpulin aja. Kalau dibawa ke bank sampah nggak ada, ya kasihin aja ke pemulung. Dia pasti juga akan punya nilai.
Tinggal yang kita serahkan ke Pemda itu Dinas Kebersihan yang benar-benar residu, artinya yang sudah nggak bisa diapa-apain lagi. Misalnya abis makan padang, kertasnya mau dimasukin ke kertas bekas sambel, mau dimasukin ke organik nggak bisa, ya udah ini masukin ke tong sampah depan rumah. Ini yang harusnya diangkat. Mungkin tinggal 10 persen yang dibawa ke TPA.
Kalo kita kan sekarang nggak. Semua yang di dapur, dibungkus dengan plastik, kantong kresek, taruh depan rumah. Kaleng taruh depan rumah semua. Akhirnya kecampur semua. Dibawanya akhirnya ke TPA semua. Jadi penuh.
Pendekatan ketiga baru urusan pemerintah daerah. Kalau dulu kan nggak, semua diserahkan pemerintah daerah, yang penting kita buang sampah pada tempatnya, taruh depan rumah.
Bahaya sampah makanan. Foto: Kiagoos Aulianshah/kumparan
Apakah ada lagi program yang sedang dilaksanakan KLHK soal sampah?
Prinsipnya sih tiga besar pendekatan tadi yang kita lakukan. Terakhir kan pendekatan terkait dengan peningkatan kapasitas daerah karena kewenangan sampah ada di kabupaten/kota pengelolaannya. Jadi, kita harus tingkatkan kapasitasnya. Kalau tadi masih 29%, harus kita tingkatkan. Truk pengangkut sampah kita tingkatkan, anggarannya kita tingkatkan, kalau perlu teknologinya kita bantu kayak waste to energy itu kan bagian dari itu semua.
Bayangin aja kota model Jakarta (memproduksi sampah) 8.000 ton sehari. Terus TPA Bantar Gebang sudah penuh. Kan perlu pendekatan teknologi waste to energy gitu. Itu juga yang kita dorong. Jadi pendekatan yang ketiga sebenarnya meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dengan pendekatan pelayanan bisa 100 persen dan pendekatan penggunaan-penggunaan teknologi tinggi.
Untuk sampah organik, bagaimana cara efektif untuk mengolahnya?
Sudah banyak. Bahkan sekarang berkembang dengan industri maggot itu. Jadi, sampah organiknya dikasih makan black soldier fly. Kemudian dia makan sampahnya jadi habis, kemudian menghasilkan telur terus jadi belatung. Belatungnya itu jadi pakan ternak dan dia dapat pupuk cair dan padat.
Di Lombok malah teman-teman yang mengelola dari Pemda itu kekurangan bahan sampah karena rebutan sama peternakan sapi atau babi. Di Indonesia kalau sampah organik relatif lebih mudah, apalagi kalau di kampung-kampung. Sisa-sisa makanan itu dikasih ayam dan sebagainya.
Yang repot itu yang di kota karena dia dibungkusnya sama sampah plastik. Kita harus mulai mengubah perilaku, beresin urusan kita sendiri. Coba pilah deh yang organiknya. Kalau nggak mau ngolahnya, gali aja tanah, kan beres urusan.
Ilustrasi sampah sisa makanan kondangan. Foto: Prabarini Kartika/kumparan
Termasuk dengan sisa makanan di acara-acara di Jakarta juga terhitung banyak?
Kalau yang begitu-begitu relatif lebih udah ada yang ambil, social entrepreneur-nya. Dia pakai pengelolaan maggot atau juga dijadiin kompos. Yang repot itu kan dari rumah tangga, satu per satu tapi banyak. Itu yang menjadi persoalan.
UU Sampah kita itu persoalan sampah menjadi tanggung jawab individu. Setiap orang bertanggung jawab. Beda kalau zaman dulu, tanggung jawab itu ada di pemerintah daerah semua, tapi mereka nggak mampu. Bayangin aja dari tahun 1974 diserahin. Jadi sekarang itu UU kita menjadikan sampah tanggung jawab individu, untuk mengurangi dan memilah sampah. Atau untuk membuang pada tempat yang benar aja masih susah. Jadi, mengerikan loh sampah ini.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten