Lipsus- Predator Seksual Santri Bandung

Kisah Mereka yang Pernah Melakukan Aborsi

22 Mei 2023 14:49 WIB
·
waktu baca 11 menit
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Jantung Mega berdebar. Sebuah keputusan besar ia buat bersama pacarnya, Gunawan, pada akhir 2018. Mereka akan menggugurkan buah hati mereka di sebuah klinik di kawasan Paseban, Jakarta Pusat.
Klinik itu Mega temukan usai Gunawan menolak bertanggung jawab atas janin yang ia kandung. Gunawan takut pada orang tua mereka karena mereka hamil di luar nikah.
“Awalnya, dia gak mau tanggung jawab. Malah bilang, bukan sama aku kali [hamilnya],” ucap Mega. Ia meminta namanya dan nama Gunawan disamarkan.
Mendengar respons Gunawan, terang Mega kesal. Ia lantas mengancam sang pacar agar ikut mencari solusi.
“Saya kan tahu rumahnya. Saya bilang, aku bakal datangin rumah kamu,” kata Mega.
Gunawan ketakutan. Tapi, ia juga tak tahu harus bagaimana. Sementara Mega berupaya menggugurkan kandungannya dengan ragam cara, mulai mengonsumsi nanas, minum soda, sampai minum alkohol. Ia juga dengan sengaja melakukan aktivitas berat.
“Saya pernah baca, lompat-lompat bisa bikin keguguran. Terus saya kalau turun dari kereta ke peron, enggak pakai tangga. Biasanya langsung loncat, supaya [janin] gugur,” kata Mega.
Begitu pula saat naik turun tangga di kantornya, Mega akan berlari melompati beberapa anak tangga sekaligus. Namun, sang jabang bayi bertahan di rahimnya.
Ilustrasi: Getty Images
Mega yang kalut lantas berselancar di jagat maya. Ia mencari klinik aborsi yang menurutnya paling “legal”, lalu memilih beberapa klinik yang muncul teratas.
Keputusan Mega untuk aborsi langsung diiyakan Gunawan. Sang pacar berjanji untuk menanggung semua biayanya. Mereka kemudian bertemu di depan sebuah rumah sakit di Jalan Raden Saleh, Jakarta Pusat.
“Sampai di sana, kontak yang saya hubungi mengatakan, saya harus ketemu dengan seorang sopir bajaj untuk diantar ke lokasi (aborsi),” ucap Mega.
Benar saja, begitu tiba, Mega dijemput oleh sopir bajaj yang membawanya ke lokasi klinik.
“Dari depan sih rumah, kaya rumah lawyer gitu,” ucapnya.
Sampai di klinik rahasia tersebut, Gunawan mengurus beberapa administrasi yang diperlukan. Terutama biaya.
Di ruangan lain, Mega diperiksa oleh seorang dokter yang melakukan USG. Dokter berujar bahwa usia kandungan Mega sudah memasuki minggu ke-10. Dokter itu pula yang menentukan tarif aborsi.
“Biayanya naik jadi Rp 10 juta. Kemarin pas saya tanya kalau [usia kandungan] 8 minggu [biaya] Rp 6 juta,” ucapnya.
Si jabang bayi, yang coba digugurkan Mega beberapa pekan sebelumnya, ternyata masih kuat saat diperiksa oleh dokter. Detak jantungnya terasa. Namun itu tak menghalangi niat Mega dan Gunawah untuk mengenyahkannya.
Klinik aborsi ilegal di Raden Saleh, Jakarta, digerebek polisi. Foto: M. Risyal Hidayat/ANTARA
Mega diajak masuk ke ruangan yang menyerupai ruang persalinan. Ia agak khawatir melihat beberapa alat di situ.
“Kami nggak tahu ya itu higenis apa nggak ,” ucapnya.
Ia kemudian ditangani seorang bidan. Induksi dilakukan. Bidan memasukkan alat berupa capitan ke dalam organ reproduksinya.
“Prosesnya cepat, 15 menit. Selesai hari itu juga. Habis itu disuruh istirahat di ruangan,” ucap Mega.
Setelah istirahat dan pengecekan lanjutan, Mega dibolehkan pulang. Ia diberi obat oleh dokter, pereda nyeri dan untuk menghentikan pendarahan.
Perasaan Mega campur aduk. Bagaimanapun, ia kehilangan anaknya, dan itu ia lakukan dengan sengaja.
Setahun berselang, 11 Februari 2020, klinik aborsi yang didatangi Mega digrebek polisi. Klinik yang berada di Paseban, Jakarta Pusat itu beroperasi di rumah sewaan seharga Rp 175 juta per tahun.
Sejak beroperasi pada 2018, sudah 903 janin yang diaborsi di sana. Keuntungan klinik mencapai Rp 5,5 miliar. Polisi menetapkan 3 orang tersangka dalam kasus itu, yakni dokter A, bidan RM, dan karyawan SI.
Klinik tersebut bukan satu-satunya tempat aborsi di Jakarta. Klinik lebih besar dibongkar pada September 2020. Klinik tersebut berlokasi di kawasan Percetakan Negara.
Sejak beroperasi pada 2017, sudah 32 ribu janin digugurkan di klinik itu. Polisi lalu menetapkan 10 orang tersangka.
Polda Metro Jaya melakukan reka ulang adegan kasus aborsi ilegal di kawasan Percetakan Negara, Jakarta. Foto: Muhammad Adimaja/Antara
Kisah lain datang dari Sara di Yogya. Ia melakukan aborsi secara mandiri, tanpa menghubungi dokter manapun atau mendatangi klinik apapun.
Namun, Sarah sempat berkomunikasi dengan salah satu komunitas yang menaruh perhatian pada kesehatan reproduksi perempuan.
Sarah ketika itu masih berkuliah saat hamil. Pacarnya tak mau bertanggung jawab, sementara ia pun belum siap punya bayi.
“Kalau punya anak, takut masa depan terganggu,” ucap Nike, sahabat Sarah yang mendampingi selama proses aborsi.
Komunitas yang memberikan konseling untuk Sarah mensyaratkan agar orang tua Sarah dan pasangannya harus tahu soal kehamilan tersebut, termasuk semua konsekuensi yang harus Sarah tanggung jika aborsi tetap dilakukan.
“Kakak dan ibunya [Sarah] yang akhirnya mendampingi, soalnya bapaknya tidak tinggal di satu kota,” kata Nike.
Setelah proses konsultasi selesai, Sarah tetap memilih menggugurkan kandungannya. Ia pun diberi obat untuk menggugurkan kandungan.
“[Diminum] di kosan, biar kalau ada apa-apa bisa cepat bertindak,” ucap Nike.
Ia melihat saat Sarah menenggak beberapa butir misoprostol. Tak berapa lama, Sarah sakit perut dan janinnya luruh.
Ilustrasi: Shutter Stock

Aturan Aborsi di Indonesia

Mega dan Sarah adalah dua di antara banyak perempuan yang mengaborsi janinnya secara secara sembunyi-sembunyi. Alhasil, mereka tidak mendapatkan perawatan medis yang memadai.
Menurut UU Kesehatan dan Peraturan Pemerintah tentang Kesehatan Reproduksi, aborsi merupakan tindakan ilegal, namun diperbolehkan hanya apabila ada indikasi kedaruratan medis atau kasus kehamilan akibat perkosaan dengan usia kehamilan maksimal 6 minggu.
Indikasi kedaruratan medis yang dimaksud adalah bila kehamilan itu mengancam nyawa ibu dan atau janin yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan.
Diagnosa hanya bisa dibuat oleh tim kelayakan aborsi, yang terdiri dari minimal 2 tenaga kesehatan dan diketuai oleh dokter yang memiliki kompetensi dan kewenangan. Kemudian, tim akan membuat surat keterangan kelayakan aborsi.
Di luar alasan diatas, mereka bisa dikenai Pasal 194 UU Kesehatan yang berbunyi, bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan, akan dikenakan pidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak 1 miliar.
Ilustrasi: Shutter Stock
Ari Kusuma Januarto, Ketua Dewan Pembina Perkumpulan Obsterti dan Ginekologi Indonesia (POGI), berpendapat bahwa aborsi tidak melulu negatif. Tindakan aborsi harus dilihat penyebabnya.
"Aborsi belum tentu negatif kalau itu untuk keselamatan ibu. Semisal pendarahan, kehamilan tidak bisa dipertahankan, atau kasus pemerkosaan. Jadi harus tahu penyebabnya," ucap Ari.
Ia banyak menemukan kasus saat perempuan muda, bahkan seorang ibu yang telah menikah, memutuskan untuk melakukan aborsi. Contohnya, mereka yang berprofesi sebagai pramugari, atau terikat kontrak kerja yang tidak memperbolehkan mereka hamil pada rentang waktu tertentu.
“Kalau itu [janinnya] digugurkan kan tidak boleh menurut hukum, tapi kalau didiamkan dia harus keluar dari pekerjaannya. Terus siapa yang harus carikan dia pekerjaan lagi?” ujar Ari.
Ada juga perempuan yang hamil akibat program KB yang tidak berjalan efektif alias kebobolan, dan seorang ibu 40 tahun yang hamil padahal telah memasuki usia berbahaya untuk mengandung.
Jadi, aborsi tidak cuma dilakukan oleh mereka yang hamil di luar nikah. Ada ragam persoalan lain yang melatarbelakangi.
Ilustrasi: Shutter Stock
Setahu Ari, prosedur aborsi legal pun belum pernah ditempuh oleh siapapun, sebab Kemenkes belum pernah menetapkan fasilitas kesehatan mana yang jadi rujukan aborsi legal. Padahal penetapan tersebut merupakan syarat agar faskes yang ditunjuk bisa membentuk Tim Kelayakan Aborsi.
Menurut Ari, celah-celah yang tidak diregulasi pemerintah inilah yang dimanfaatkan oleh beberapa oknum. Seperti yang terjadi di Bali, oleh Ketut Arik Wiantara, seorang dokter gigi yang membuka praktek aborsi.
“Mungkin juga dokternya menggunakan kesempatan. artinya mencari materi, terus sifatnya untuk bantu. Seperti di Bali alasannya kasihan, kok sampe ribuan,” ucap Ari.

Tingginya Angka Aborsi

Berdasarkan survei Guttmacher Institute pada 2008, angka aborsi di Indonesia cukup tinggi, sekitar 2 juta aborsi per tahun. Dari jumlah itu, estimasi angka tahunan aborsi di Indonesia mencapai 37 aborsi untuk setiap 1.000 perempuan usia reproduksi (15-49 tahun).
Angka itu lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat aborsi di ASEAN pada periode yang sama, yakni 29 aborsi untuk setiap 1.000 perempuan usia reproduksi.
Sementara pada 2018, hasil survei Guttmacher Institute dan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia memotret kejadian aborsi di Pulau Jawa mencapai 1,7 juta.
Ada 43 aborsi per 1.000 perempuan usia reproduksi di Pulau Jawa. Angka ini lagi-lagi lebih tinggi dari tingkat aborsi di ASEAN yang mencapai 34 aborsi per 1.000 perempuan.
Tingkat aborsi di Jawa paling rendah ada di Jawa Timur (30 aborsi per 1.000 perempuan), sedangkan paling tinggi di DKI Jakarta (68 aborsi per 1.000 perempuan).
Walau demikian, angka tersebut belum mencerminkan jumlah sebenarnya lantaran diduga banyak perempuan yang melakukan aborsi secara mandiri. Salah satunya dengan mengonsumsi misoprostol yang sebetulnya adalah obat maag dosis tinggi dengan efek samping bisa membuat kontraksi pada rahim.
Penjualan misoprostol, masih berdasarkan survei tersebut, meningkat 116% pada periode 2002 hingga 2007.
Kepala BKKBN Hasto Wardoyo. Foto: Thomas Bosco/kumparan
Badan Koordinasi Keluarga Berencana (BKKBN) tak menampik angka aborsi mencapai jutaan per tahun. Sebab tingkat kehamilan tidak berlanjut sekitar 5%.
“Jadi kalau misalkan saat ini angka kehamilan di Indonesia 4,8-4,9 juta, maka mestinya fenomena secara natural yang akan abortus atau kehamilannya tidak berlanjut, logikanya sekitar kalau 5% berarti sekitar 250 ribu. Ya kalau yang hamil 100 orang, yang 5 orang enggak berlanjut” kata Kepala BKKBN Hasto Wardoyo.
Hasto menyebut mayoritas penyebab aborsi karena kehamilan tidak diinginkan (unwanted pregnancy). Dari pemetaan BKKBN, tingkat unwanted pregnancy di kisaran 8-22%.
“Untuk kota-kota besar, seperti DKI Jakarta sampai Daerah Istimewa Yogyakarta, angka kehamilan yang tidak diinginkannya lebih tinggi, rata-rata di atas 16 persen,” ucap Hasto.
Pernyataan BKKBN tersebut sejalan dengan hasil survei Guttmacher Institute dan FKM UI pada 2018. Tercatat 76% kehamilan tidak diinginkan berakhir dengan aborsi.
Hasto sadar, banyak yang memilih jalan aborsi karena ketidaksiapan secara finansial atau bahkan KB yang tidak efktif. Namun, bagaimanapun juga, UU di negara ini menitikberatkan pada pro life. Sehingga, apapun alasanya kecuali mengancam nyawa atau korban perkosaan, aborsi adalah salah.
Arik, dokter gigi pelaku aborsi di Bali. Foto: Denita br Matondang/kumparan

Aborsi Bukan Tanpa Risiko

Mega yang pernah melakukan aborsi, sempat mengalami sakit perut yang luar biasa beberapa bulan usai aborsi. Mega lalu mengunjungi rumah sakit, dan dokter menemukan sisa-sisa gumpalan darah pada rahimnya.
Dokter rumah sakit itu menyarankannya agar dikuret. Namun Mega enggan.
“Saya gak jadi kuret karena ditanyain sudah menikah belum dan segala macam. Saya jawab saja habis keguguran,” kata Mega.
Mega kembali mencari cara sendiri via internet. Ia membaca informasi bahwa air kelapa muda bisa membersihkan gumpalan darah itu.
“Saya akhirnya minum air kelapa muda tiap hari, dan keluar sih gumpalannya, cukup besar,” ucap Mega.
Ilustrasi: Shutter Stock
Ari Kusuma menjelaskan, aborsi yang dilakukan dokter yang berkompetensi, serta melalui proses yang baik dan benar, diyakini tidak akan menimbulkan komplikasi atau risiko. Hal itu disampaikan Ari Kusuma menanggapi hasil survei Guttmacher Institute dan FKM UI pada 2018 bahwa 80% perempuan di Pulau Jawa yang aborsi tidak mengalami komplikasi selama 3 tahun terakhir.
Walau demikian, kata Ari, aborsi yang dilakukan dengan benar pun tetap memiliki risiko, apalagi dilakukan seseorang yang tak punya kompetensi seperti kasus yang menjerat I Ketut Arik Wiantara, dokter gigi di Bali yang membuka praktik aborsi.
Umumnya, aborsi memiliki risiko pendarahan, risiko pembiusan, dan risiko infeksi. Ia menyebutkan, angka kematian ibu hamil di Indonesia banyak diakibatkan oleh preeklamsia, yakni peningkatan tekanan darah yang kemudian diikuti dengan pendarahan.
“Abortus (Aborsi) juga menyumbang sekitar 5%. Jadi kalau dilihat mengapa masalah aborsi sangat penting harus diperhatikan,” ucap Ari.
Risiko juga semakin tinggi seiring usia janin yang akan digugurkan. Sesuai aturan saat ini, maksimal usia janin yang bisa digugurkan dengan syarat tertentu yakni 6 minggu. Namun dalam KUHP terbaru dan RUU Omnibus Law Kesehatan, usia janin yang bisa digugurkan maksimal menjadi 14 minggu.
Janin. Foto: Shutter Stock
Ari memandang aturan kenaikan usia janin yang bisa digugurkan tersebut justru semakin berisiko bagi sang ibu.
"Kalau 14 minggu di mana bayi sudah terbentuk organ-organ, jelas risiko akan besar, risiko perdarahan, risiko tindakan, rosiko pembiusan, risiko infeksi semua pasti ada. POGI mendorong untuk tidak mengubah jadi 14 minggu, kami tetap minta maksimal 6 minggu, karena kami melihat dari risiko ibu yang mengalami pengguguran atau digugurkan dengan usia 14 minggu itu besar," jelas Ari.
Sementara BKKBN menyatakan aborsi bisa menimbulkan risiko infeksi dan perdarahan dalam jangka pendek, apalagi jika melakukannya sendiri.
"Beberapa kasus terjadi pemaksaan, jadi ada yang nekat mengeluarkan kehamilannya dengan berbagai macam benda-benda keras dan tajam, kemudian robek dan perdarahan, akhirnya meninggal karena perdarahan," ucap Hasto.
Dalam jangka panjang aborsi bisa menurunkan kesempatan hamil secara sehat dan aman. Khususnya jika perempuan sudah aborsi 2 kali.
"Komplikasi jangka panjangnya sering terjadi infertilitas. Orang yang melakukan abortus dengan cara paksa dan tidak bersih akhirnya infeksi, saluran telurnya tersumbat, kemudian rahimnya ada yang lengket karena bekas infeksi. Sehingga perempuan ini sehat tetapi tidak bisa hamil, ini komplikasi yang terjadi dalam jangka panjang karena rahimnya rusak," jelas Hasto.
Untuk itu, Hasto berpesan agar para generasi muda menghindari seks bebas, apalagi pada usia dini. Sebab dari data BKKBN, mayoritas perempuan di Indonesia melakukan hubungan seks pada usia 15-18 tahun. Padahal hubungan seks terlalu dini selain berpotensi unwanted pregnancy yang kemudian aborsi, juga berisiko kanker mulut rahim.
Di sisi lain, kata Hasto, tren usia perempuan yang menikah justru semakin tua di usia 35 tahun ke atas.
"Tren hubungan seksnya tambah muda, nikahnya tambah tua, berarti perzinaan makin banyak. Ini yang harus diantisipasi, kalau tidak tingkat aborsi meningkat karena unwanted pregnancy. Apalagi perempuan yang hamil usia 35 tahun ke atas berisiko tinggi. Ibarat pohon sudah tidak layak berbuah lebat," tutup Hasto.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten