Sungai Ciliwung, naturalisasi, normalisasi

Komunitas Ciliwung: Pentingnya Ruang Berbagi antara Manusia dengan Air

28 Januari 2020 10:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Foto udara suasana wilayah bantaran sungai Ciliwung di kawasan Bukit Duri, Jakarta, Minggu (5/1/2020). Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/aww.
zoom-in-whitePerbesar
Foto udara suasana wilayah bantaran sungai Ciliwung di kawasan Bukit Duri, Jakarta, Minggu (5/1/2020). Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/aww.
ADVERTISEMENT
Dilintasi tiga sungai besar--Cisadane, Ciliwung, dan Bekasi--Jakarta rentan mendapat kiriman air dari hulu. Bila debitnya tak lagi tertampung aliran sungai, air akan meluap dan membanjiri daratan.
ADVERTISEMENT
Banjir yang mengepung Jakarta di awal tahun 2020 lalu tak pelak mencuatkan kembali perdebatan: bagaimana idealnya penanganan sungai. Dua kubu terbelah dalam pendekatan normalisasi dan naturalisasi.
Normalisasi merupakan pendekatan yang ingin mempercepat laju air dari hulu ke hilir. Caranya dengan membeton pinggiran sungai.
Naturalisasi, bisa dibilang sebagai lawan normalisasi. Pendekatan ini ingin mengembalikan fungsi sungai ke kondisi semula sebagai daerah penyerapan air. Masalahnya, diskusi yang berkembang antara normalisasi dan naturalisasi lebih sarat muatan sentimen politis ketimbang mencari solusi.
Di tengah hiruk pikuk itu, beberapa komunitas di sekitar aliran Sungai Ciliwung bekerja dalam diam. Mereka mengelola sungai sebagai ruang bersama yang sinergis antara manusia dengan alam.
Berikut petikan perbincangan kumparan dengan Sudirman Asun dari Ciliwung Institute dan Sandyawan Sumardi dari Ciliwung Merdeka:
ADVERTISEMENT
Komunitas anda banyak bergelut diupaya penyelamatan bantaran sungai. Bagaimana idealnya penanganan bantaran sungai?
Sudirman Asun: Kami mengapresiasi ada kebijakan dari Gubernur Anies, Pemprov DKI tentang menyetop proyek betonisasi sungai 19 km dari Simatupang sampai Manggarai. Jadi konsep sekarang yang diwacanakan oleh Pak Anies ini adalah konsep naturalisasi Sungai Ciliwung.
Konsep naturalisasi sungai sendiri yakni bagaimana Jakarta itu bersedia berbagi ruang dengan air. Jadi bagi kami Jakarta itu secara geografi atau pun topografi itu kota delta. Kota yang lahir dari sedimentasi 13 sungai dan membentuk kota jakarta. Dari toponimi tempat-tempat di jakarta banyak nama rawa dan sebagainya itu menandakan bahwa Jakarta memang rumahnya air, jadi ya yang Jakarta lakukan adalah bagaimana dipetakan lagi tempat-tempat yang memang dialokasikan untuk ketika musim hujan/air itu ada tempat mereka untuk menggenang.
Area Bermain di Taman Gintung. Foto: Ratmia Dewi/kumparan
Kemudian saat musim kemarau tiba ketika sungai sedang surut dapat menjadi taman atau ruang sosial. Misalnya Taman Gintung sendiri merupakan salah satu alokasi tempat untuk ketika Sungai Ciliwung meluap dapat berperan sebagai tempat parkir air. Kalau kami ibaratkan itu misalnya ketika di jalan tol itu macet, kan penuh kendaraan, nah ada rest area buat air itu supaya tidak memenuhi. Sehingga bisa berbagi ke kawasan Selatan Jakarta.
ADVERTISEMENT
Sandiawan: Batavia itu kota air, kota air daerahnya rendah. Maka disebut banyak ada Rawa Belong, ada Rawasari, ada rawa ini, rawa itu. Itu menandakan kota air yang ketika zaman dulu belum ada banyak kota dibangun dengan struktur kota superblok, beton-beton. Yang memang berperan sebagai tempat parkir air, maka banyak rawa-rawa dan bersahabatlah manusia dengan alam, yakni air itu. Air bukan musuh manusia tapi berkah bagi manusia.
Saat ini dari daerah hulu maupun hilir itu semua rusak, sistem tata air dihancurkan belum lagi dengan dampak global warming yang semakin jadi, maka terjadilah banjir yang enggak karu-karuan. Dan masyarakat menyikapi bukan hanya dari kepentingan riil dari masyarakat, bahkan problem teknis itu ditinggalkan.
ADVERTISEMENT
Yang gila adalah problem banjir menjadi isu politik. Politik ekonomi katakanlah. Misalnya sederhana, orang tidak banyak berpikir bahwa proyek normalisasi itu proyek uang besar sekali, berbedanya saya tidak suka penggunaan kata ini, karena ini diklaim hanya milik Pak Anies, padahal kami jauh sebelum Anies mengatakan soal naturalisasi sudah dipahami dari dulu,
Dalam naturalisasi memang kelemahannya lebih lambat. Apalagi sistem naturalisasi yang basisnya adalah partisipasi masyarakat. Artinya masyarakat yang menyelenggarakan sendiri. Sedapat mungkin pembangunan itu dilakukan sebanyak-banyaknya dengan partisipasi masyarakat, dan seluruh peraturan perundang-undangan untuk hal ini, untuk tata ruang maupun pertanahan, harus dipusatkan untuk mendukung proyek keterlibatan pemanfaatan bagi hidup manusia dan lingkungan hidup.
Apa yang sudah diupayakan komunitas Anda?
ADVERTISEMENT
Sudirman Asun: Kalau kita lihat sendiri Taman Gintung ini seperti halnya sungai-sungai di kawasan Selatan Jakarta, Tanjung Barat, Cijantung, Condet, Pasar Minggu sampai ke Kalibata merupakan kawasan yang masih didominasi oleh kawasan hijau kebun-kebun warga kalau kita lihat di sini Taman Gintung. Nanti kita ke bawah itu ada kebun Jambu Biji, ada pohon bambu, ada pohon-pohon buah lokal kecapi dan sebagainya.
Seperti bantaran sungai pada umumnya, jadi setiap musim hujan Sungai Ciliwung itu meluap dan biasanya air akan menggenangi area bantaran sungai. Kalau di bawah itu setiap banjir, tinggi di luapan air sungai itu hampir sekitar dua meteran. Jadi tinggi airnya bisa dilihat dari sampah-sampah plastik yang ada di pohon-pohon jambu itu kelihatan tinggi airnya.
ADVERTISEMENT
Nah sebenarnya kalau Taman Gintung ini baru dikerjain 2019, tanahnya dibebaskan oleh dinas kehutanan pemprov DKI. Penamaan Taman Gintung kalau kami lebih suka menyebutnya Taman Pasang Surut Ciliwung. Kami juga berharap di bawah itu menjadi tempat warga ataupun pelajar bisa belajar tentang pasang surut air Ciliwung jadi kami minta di bawah itu ada fasilitas penggaris air, yang setiap Sungai Ciliwung meluap warga atau pelajar bisa melakukan pencatatan tinggi debit air luapan setiap tahun. Kemudian tinggi sedimen bantaran sungainya. Jadi nanti dari hasil pencatatan sekian tahun itu kita akan tahu kondisi kesehatan Sungai Ciliwung sendiri.
Jadi fungsi penting dari Taman Gintung ini adalah warga Ciliwung di kawasan selatan di hulu ini, Tanjung Barat sampai ke Condet dapat berbagi beban luapan sungai. Jadi kita membantu kampung-kampung di hilir misalnya kampung Pulo Bukit Duri atau pun Kebon Pala atau daerah makin ke utara ke muara itu tidak menerima banjir lebih besar. Jadi ditahan dulu airnya di sini, kami sediain, temen-temen nyediain ruangnya di pinggir sungai ini untuk tempat air parkir sementara.
ADVERTISEMENT
Sandiawan: Kami mengusulkan pembangunan kampung susun manusiawi di Kampung Pulo seluas 8,5 hektar itu. Pernah kami mengumpulkan para ahli termasuk juga para hidrolog, ada teman-teman banyak sekali, ada ahli kualitas air dan politik air.
Kami undang lalu mengusulkan solusinya dalam bentuk mengusul di Kampung Pulo itu yang daerah paling rendah untuk banjir itu dibangun kampung susun manusiawi, kampung pula sebagai situs budaya keanekaragaman di Kampung Pulo. Itu 4000 unit rencananya. Konsep kampung susun pulo sendiri telah kami presentasikan tanggal 18 September 2015, ada videonya di Youtube.
Nama desainnya pasang surut, artinya kita bukan mau melawan air. Di Kampung Pulo itu bedanya dengan rusunawa, Kampung Pulo selain menjadi milik warga sendiri, di situ ada ruang, bukan hanya tempat tinggal seperti apartemen, tapi ada ruang ekonomi, bisa usaha, artinya kalau warga yang tadinya miskin, setelah tinggal di situ 5-10 tahun dia akan naik kelas ekonominya, tentu diberi akses ekonomi.
ADVERTISEMENT
Selain ekonomi, ada ruang sosial, banyak sekali tempat bersama seperti ruang pertemuan untuk sarasehan, ruang warga tapi juga ada ruang publik bahkan kamar mandi tidak harus pribadi, bisa satu sumur dan WC bisa untuk 3-4 keluarga, dapur bersama, tapi ada juga ruang ekologi untuk penanaman hidroponik untuk pertanian urban itu, itu juga ada, jadi kalau sedang musim banjir kampung itu sudah ada daerah tapak untuk berjalan.
Contohnya seperti ini, kalau ini desain untuk Bukit Duri, tetapi sama prinsipnya, bahwa ada ruang ekonomi, ada ruang sosial, ekologi bahkan kultural, keagamaan sekaligus ada masjidnya. Bedanya prinsipnya di sini bersifat partisipasi, maka yang didengungkan harus ada kolaborasi dan partisipasi itu dilindungi undang-undang, dan memang bagus karena gubernur yang sekarang sudah mewujudkan kerja sama itu dalam yang namanya CEP (community action plan).
Infografik Banjir Jakarta. Foto: Dimas Prahara/kumparan
Apa kendala gagasan Kampung Susun Pulo?
ADVERTISEMENT
Sandiawan: Tentu saja susah payah. Dan beberapa kali kami protes karena prosesnya lambat. Tapi kami masih percaya bahwa ini akan diwujudkan.
Untuk kampung susun di Kampung Pulo yang begitu besar. Saya tanya pada ahli struktur, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membangunnya, ada namanya Pak Franky yang dia punya proyek besar sekali di Abu Dhabi sebesar itu juga. Pak Franky, sebagai ahli struktur, itu mengatakan, 'Kami membutuhkan 4,5 tahun untuk membangun ini.'
Tapi apa kata Gubernur waktu itu, 'Wah tidak mungkin. Saya akan membangun hanya dua tahun.' Loh bagaimana caranya? Dan dananya bukan dari APBD. Dananya dari kelebihan tanggung jawab pengembang reklamasi. Yang membangun pengembang. Nah, kami keberatan, 'bagaimana dengan partisipasi masyarakatnya?' 'Wah, akan lama, ribet. Tidak usah dengan partisipasi masyarkaat.'
ADVERTISEMENT
Nah prinsip itu sendiri udah susah, tapi kenapa mesti dua tahun? Ternyata dua tahun itu tahun anggaran pemerintahan. Karena dia memerintah sampai tahun 2017. Tapi waktu itu menjanjikan, kami diterima, dan sampai dikirim ke dinas perumahan untuk bertemu dan mewujudkan itu. Dan dijanjikan groundbreakingnya untuk pembangunan Kampung Susun Kampung Pulo, itu tanggal 1 Januari 2016.
Tahap pengkajian dengan para ahli pun sudah dilakukan jauh jauh. Jadi karena kami tinggal di bukit Duri sudah lama, tapi intensif sekali itu dari tahun 2012, 2013, sampai 2015. Itu sangat intensif dengan pemetaan tadi, geografi, demografi, pemetaan ekonomi, pemetaan sejarah kampung, antropologi sejarah kampung atau etnografinya, tapi juga pemetaan hukum kepemilikan dan peruntukan tanah.
Ketua Komunitas Ciliwung Merdeka, Sandyawan. Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
Bagaimana kondisi Kampung Pulo dengan keadaan pinggir sungai yang sudah dinormaslisasi dengan cara dibeton?
ADVERTISEMENT
Sandiawan: Jadi begini, secara logika saja begini. Pada zaman dulu tidak ada sungai yang dibeton. Jadi air hujan itu air yang paling bersih, itu kan meresap ke tanah, tapi sekarang semua kan seperti ini nih, jadi air juga jatuh, lari ke got, got lari ke sungai, sungai masuk laut, terbuang air yang bersih. Nah justru air yang kotor yang kita konsumsi, kita minum, kita saring kita minum.
Nah, beton-beton untuk sungai itu jadi seperti itu. Maka efek dari betonisasi itu karena mengejar proyek, yang penting terhenti, nah itu kelemahan. Cepat memang itu normalisasi. Mau lihat langsung hasilnya cepat. Sementara entah namanya naturalisasi atau bersekutu dengan alam, itu memang butuh proses karena menunggu biota air, menunggu tumbuhnya tanaman-tanaman seperti bako air tawar atau bambu ada di pinggir-pinggir sungai.
ADVERTISEMENT
Itu lebih lama memang, dan tidak kelihatan rapi bersih mentereng. Kan sekarang orang tanpa sadar di kepalanya itu anti alam. Dia tidak mau gerakan itu sebenernya modern gerakan back to the nature itu tidak mau ikut, tapi dikonsepnya kota modern ya mall itu. Jadi ingin seperti itu.
Ada risiko betonisasi?
Sandiawan: Pembangunan beton normalisasi di sungai ciliwung seperti itu uniknya sungainya lebih tinggi daripada kampungnya. Sehingga kalau banjir itu juga bocor, ada retakan. Itu penuh, kemudian dipompa secara manual, dikembalikan ke sungai. Lah kalo sungainya banjir, lebih tinggi, malah tumpah. Nah itu yang terjadi kemarin ada gambaran yang ironis sekali.
Seperti banjir itu seperti ditumpahkan dari sungai masuk ke kampung yang lebih rendah daripada sungainya. Ini ironi sebetulnya dalam pembangunan sistem betonisasi dalam normalisasi. Yang paling parah itu di situ bukit duri Kampung Pulo itu.
ADVERTISEMENT
Kalau pengalaman Taman Gintung, seberapa efektif keberadaannya untuk menahan air?
Sudirman Asun: Ya bahwa dari peta sendiri taman ini atau Sungai Ciliwung ini secara alamiah berkelok-kelok. Kalau di sungai itu disebut dengan meander, tikungan air. Dan itu merupakan belokan-belokan alamiah yang fungsinya untuk memperlambat laju air. Jadi air dari selatan itu turun dari ketinggian 3000 mdpl kemudian ketika ada kelokan-kelokan itu dia akan mengurangi kecepatan airnya sehingga tidak langsung tumpah ke daerah di bawahnya di daerah hilir.
Tepian Sungai Ciliwung di Taman Gintung Foto: Ratmia Dewi/kumparan
Apakah ada tempat lain di Jakarta yang masih bisa dinaturalisasi seperti Taman Gintung?
Sudirman Asun: Oh banyak sekali, mulai dari teman-teman di Lenteng Agung, teman-teman di komunitas yang sudah mendirikan pangkalan-pangkalan sampai ke daerah Condet, Pasar Minggu. Ada teman-teman dari Komunitas Ciliwung Condet, ada Komunitas Ciliwung Rawa Jati, ada KPC Gema Bersuci di Pasar Minggu. Itu semua dalam 10 tahun terakhir. Alhamdulillah makin timbul kepedulian masyarakat untuk menghidupi Sungai Ciliwung itu peduli untuk menggalakkan supaya Sungai Ciliwung itu tidak dijadikan lagi tempat pembuangan sampah.
ADVERTISEMENT
Lantas apakah wacana normalisasi sungai dengan betonisasi pinggir sungai masih mengancam?
Sudirman Asun: Kalau batas terakhir di sini di bawah sedikit itu TB Simatupang sudah dibeton. Daerah Rindam sudah dibeton, kemudian Rawa Jati, Kalibata sudah dibeton. Kemudian di daerah Condet itu sebagian, itu di Kober sudah dibeton padahal itu masih kawasan yang hijau.
Misalnya saja di daerah Condet sendiri yang memang ada cagar budaya untuk budidaya buah-buah lokal seperti salak condet, dukuh condet itu semua terletak di pinggir sungai. Dan sekarang ini terancam keberadaannya daerah tutupan hijau pinggir sungai tersebut terancam digusur digantikan dengan tembok beton, tembok tinggi. Bagi kami sangat tidak masuk akal di kawasan yang masih hijau kemudian ada beberapa rumah warga yang berada dekat sungai itu digusur. Kemudian pemerintah sendiri malah mendirikan bangunan baru berupa betonisasi sungai itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten