PTR, LIPSUS Banjir Jabodetabek, Taman Gintung

Wadah Air di Selatan Ciliwung Bernama Taman Gintung

27 Januari 2020 17:21 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Normalisasi sungai Ciliwung Foto: ANTARA FOTO/ Aprillio Akbar
zoom-in-whitePerbesar
Normalisasi sungai Ciliwung Foto: ANTARA FOTO/ Aprillio Akbar

Di tengah keributan antara normalisasi dan naturalisasi, warga Tanjung Barat bersama beberapa komunitas bertahan menjaga area parkir air di lingkungannya. Taman Gintung atau Taman Pasang Surut menjadi contoh ‘naturalisasi’ dengan menanam pohon, bukan beton.

Ada yang tampak janggal di mata ketika mengunjungi area selatan Sungai Ciliwung di kawasan Condet, Jakarta Timur, sore itu. Di antara rindang pepohonan, semak belukar, lekukan sungai berwarna coklat, dan sisa-sisa sampah yang tersangkut di dahan, terentang bangunan yang diniatkan menjadi jalan inspeksi setinggi dua setengah meter.
Alih-alih menjadi jalan, konstruksi selebar lima meter dengan panjang sekitar satu kilometer itu lebih menyerupai pagar pembatas yang memisahkan tanah dan manusianya dengan air. Sementara di sebelahnya, puluhan lembar beton menumpuk begitu saja dirambati belukar—tanda bahwa proyek bernama normalisasi sungai di area itu belum rampung dan telah tertunda bertahun-tahun. Alasannya karena terkendala pembebasan lahan.
Keganjilan lainnya, beton hanya dipasang di satu sisi yang menghampar di lahan hijau. Bukan di sisi seberang yang justru dipenuhi rumah.
“Bagian ini kan gak perlu digusur, tapi harusnya dilindungi sebagai kawasan parkir air. Kalau udah begini, mereka di seberang terkena imbas (arus air) yang lebih kencang,” ucap Sudirman Asun dari Komunitas Ciliwung Institute di atas beton normalisasi Sungai Ciliwung pada Jumat (24/1).
Batas beton di Sungai Ciliwung, Condet, Jakarta Selatan. Foto: Rina Nurjanah/kumparan
Bagi Asun (yang juga jadi akronim dari Anak Sungai) dan kawan komunitas Ciliwung, pemasangan beton di sisi selatan sungai ini justru salah kaprah.
“Area ini masih kawasan hijau, cukup signifikan untuk menampung air. Kalau begini, sama aja dia (beton) mengambil ruang sungai juga,” ujarnya kesal. Ia dan kawan-kawannya berniat menolak dengan keras jika pemasangan beton di selatan Ciliwung dilanjutkan.
“Betonisasi ini bukan solusi,” katanya. Lagi pula, lanjut Asun, yang dibutuhkan bukanlah jalan inspeksi, melainkan jalan akses yang bisa menghubungkan antar-wilayah yang dilalui sungai.
Ia juga mengusulkan area tersebut menjadi tempat parkir air untuk menahan dan menyerapkannya ke dalam tanah sehingga tidak menambah beban di hilir. Terlebih rumah-rumah yang perlu dibebaskan di sisi seberang sungai tidak terlampau banyak.
“Itu kan (yang perlu dibebaskan) hanya beberapa. Sementara kemarin kan penggusuran dengan stigma, bahwa mereka penyebab banjir, mereka kriminal, mereka pengguna narkoba. Harusnya ada diskusi dan partisipasi,” imbuhnya.
Taman Gintung, contoh naturalisasi Sungai Ciliwung. Foto: Rina Nurjanah/kumparan
Mengapa diskusi dan partisipasi itu penting? Sebab keterlibatan warga menjadi salah satu ramuan mujarab yang mewujudkan Taman Gintung di Tanjung Barat, Jakarta Selatan, sebagai salah satu tempat parkir air Sungai Ciliwung.
“Kalau kita lihat sendiri, Taman Gintung ini seperti halnya sungai-sungai di kawasan selatan Jakarta—seperti Tanjung Barat, Cijantung, Condet, Pasar Minggu sampai ke Kalibata—merupakan kawasan yg masih didominasi oleh kawasan hijau dan kebun-kebun,” papar Asun.
Nama ‘gintung’ sendiri diberikan karena dua alasan. Pertama, diambil dari kata gentong yang artinya wadah air berupa tempayan besar. Kedua, diambil dari nama pohon gintung atau kerinjing atau gadog yang memang sering tumbuh di sekitar sungai, di lembah yang teduh, di atas tanah yang gembur dan berliat bahkan tergenang.
Semula taman ini akan dibangun seperti pada umumnya taman di kota, dipenuhi lantai bersemen dilengkapi area bermain skateboard. Namun usulan tersebut dicoret warga yang justru lebih menginginkan daerah mereka alami saja tanpa banyak intervensi bangunan.
“Kami lebih berharap di bawah itu (Taman Gintung) menjadi tempat warga ataupun pelajar bisa belajar tentang pasang surut air Ciliwung,” kata Asun.
Ia menjelaskan, di area taman dipasang alat ukur tinggi debit air setiap kali luapan terjadi termasuk tinggi sedimentasinya. “Jadi nanti dari hasil pencatatan sekian tahun itu kita akan tahu kondisi kesehatan Sungai Ciliwung sendiri,” kata dia.
Taman tersebut hanya memiliki fasilitas jalan setapak, tempat berteduh dan lapangan bulu tangkis di bagian atas. Bantaran sungai dibiarkan tetap alami dipenuhi pepohonan, sementara wilayah tengah yang semula ditanami pohon tabebuya—tapi mati karena terlalu banyak air—akan diganti dengan jenis pohon lain seperti gandaria.
Di musim hujan, taman ini memang dialokasikan sebagai ruang air sementara di musim kemarau dia berganti jadi ruang sosial tempat anak-anak bermain. “Jadi fungsi penting dari Taman Gintung ini bahwa warga Ciliwung di kawasan selatan, di hulu ini—Tanjung Barat sampai ke Condet, ini berbagi beban luapan sungai,” ucap Asun.
Tepian Sungai Ciliwung di Taman Gintung Foto: Ratmia Dewi/kumparan
Pada saat banjir awal tahun 2020, area tengah taman dibanjiri air hingga dua meter tingginya. Berbagai sampah plastik yang tersangkut di dahan pohon taman menjadi salah satu bukti. Menurut Tyo, warga Tanjung Barat yang aktif menjaga Ciliwung, taman yang punya lain Taman Pasang Surut itu mampu menahan luapan sungai hingga setengah hari sebelum akhirnya mulai kembali surut.
Pemuda satu ini tak ingin mempersoalkan apakah Taman Gintung menjadi contoh naturalisasi atau apa pun namanya. “Konsepnya sih udah dari dulu, dari nenek moyang kita. Gimana kita bersinergi dengan sungai dan pohon apa yang mesti ditanem,” ucapnya bercerita.
Sejak 2017, ia bersama teman-temannya mulai menyusuri aliran Sungai Ciliwung, bertanya kepada para sesepuh terkait pelestarian sungai, lalu mengecek sendiri seperti apa rupa ekosistem Sungai Ciliwung di wilayahnya.
“Berdasarkan cerita-cerita tetua atau nenek moyang kita di sini, bahkan juru-juru kuncinya juga bilang, lalu kita coba berusaha meneliti selama 3 tahun itu kita temui memang pohon-pohon ini nahan tanah. Nah bagian tanah yang gak ada pohon-pohon ini ya habis. Pasti kegerus,” papar Tyo.
Pohon tersebut yakni Loa, Kopo, Dadap, dan Rengas yang memang merupakan jenis-jenis pohon yang membutuhkan banyak air untuk hidup. Jarak tumbuh antar pohon pun, sesuai dengan cerita tetua, sekitar enam meter jauhnya. “Persoalannya, keempat pohon ini semuanya langka.. tapi kita berusaha untuk menggerakkan setiap pos pangkalan air itu mulai membibitkan pohon-pohon ini.”
Pos pangkalan yang dimaksud ada 13 titik tersisa dari total 23 lokasi yang sempat dipantau dan bisa menjadi area kantong air. Setiap titik tersebut biasanya memiliki komunitas warga yang bertugas menjaga kelestariannya di sana.
Menurut Tyo, pohon-pohon itu bukannya lebih kuat dari beton tapi lebih fleksibel. “Dia gak ngelawan air. Air yang bawa sedimen, sedimennya ketahan di bantaran sungai, sehingga dia ngebentuk kekuatan di setiap pinggiran sungai,” ucapnya sembari menggambarkan bagaimana akar-akar setiap pohon kemudian menahan dan mengikat sedimen yang terbawa arus. “Menanam pohon, bukan beton.”
Maka ia bersama teman-teman komunitas Ciliwung di wilayah Tanjung Barat berniat untuk membudidayakan sendiri pohon Loa dan Rengas untuk kemudian ditanam di sepanjang pinggir kali. “Masih bener-bener swadaya. Andaikan ada 1500 pohon Loa, mungkin akan bisa sebagai penggantinya beton. Cuma gak tau ya, kembali lagi kadang-kadang kan selalu bentrok antara kearifan lokal sama akademisi.”
Baik Tyo maupun Asun menolak konsep beton yang mempercepat arus air hingga ke hilir. Bagi mereka air justru seharusnya ditahan di beberapa wilayah, diserap sebisa mungkin, sehingga tak membebani daerah utara Jakarta. Namun mereka sadar, yang dihadapi dari upaya menjaga ruang sungai bukan cuma birokrasi tapi juga para pengembang dengan kepemilikan modalnya.
“Di sepanjang daerah ini aja ada yang tanah milik individu, ada yang pengembang perumahan gitu. Kalau individu sih enak, orangnya kalau ada tinggal dibawa ke Kantor Walikota (Jakarta Selatan) biar dibayar,” seloroh Tyo.
Persoalan kepemilikan dan alih fungsi lahan memang menjadi tantangan tersendiri yang harus dicari jawabnya. Baik pemerintah pusat maupun daerah sepakat bahwa pembangunan sulit untuk disetop. Pertumbuhan penduduk, kebutuhan akan hunian, perkembangan ekonomi, hingga pemasukan daerah menjadi pertimbangan di dalamnya.
Pelaksana Tugas Direktorat Jenderal Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung Kementerian Lingkungan Hidup, Hudoyo, berkata bahwa yang bisa dilakukan jajarannya hanya mengampanyekan tanaman multifungsi seperti buah-buahan atau vetiver.
“Dengan ruang yang sama, lahan di Ciliwung atau Citarum ya segitu-gitu aja, pertambahan penduduk sangat besar, pemukiman pasti akan berkembang luas. Sementara masyarakat Indonesia itu belum terbiasa hidup secara vertikal, rumah susun atau apartemen gitu gak laku,” ucapnya setengah bercanda ketika ditemui di Gedung Manggala Wanabakti pekan lalu.
Pernyataan serupa disampaikan Dudi Gardesi, Sekretaris Dinas Sumber Daya Air Jakarta, yang menyebut bahwa pembangunan itu tak bisa direm. “Tapi harus kita atur sedemikian rupa rekayasa sedemikian rupa sehingga pembangunan itu memang tidak mengganggu keseimbangan yang ada. Di sini, keseimbangan itu yang masih coba kita cari,” katanya kepada kumparan.
Keterbatasan lahan memang menjadi persoalan. Di atas lahan DKI Jakarta seluas 661,5 kilometer persegi itu hanya 9,47 persen yang menjadi ruang terbuka hijau dan 2,5 persen ruang terbuka biru. Padahal, idealnya RTH sebuah kota itu minimal 30 persen dan RTB seluas 5 persen dari total luas wilayah. Minimnya area serapan membuat air yang mengalir di atas permukaan semakin besar. Sialnya, kondisi itu diperparah dengan penyedotan air tanah yang membuat tanah di Jakarta kempes dan mengalami penurunan.
Infografik Banjir Jakarta. Foto: Dimas Prahara/kumparan
Di luar persoalan masifnya alih fungsi lahan di wilayah sungai, upaya berbagi ruang dengan air yang mengedepankan ekosistem sungai—naturalisasi atau apapun namanya, diragukan efektivitasnya.
“Persoalan di Jakarta adalah ketersedian ruang. Belum lagi soal beban limpasan karena konversi ruang di hulu semakin besar, belum lagi kita bicara perubahan iklim,” ucap Staf Khusus Kementerian PUPR Firdaus Ali di kantornya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (23/1).
Meski begitu ia mendukung jika konsep tersebut bisa diterapkan di beberapa area Sungai Ciliwung. Konsep tersebut bisa diimplementasikan tapi bukan ditujukan sebagai pengendali banjir. “Kita butuh oasis di tengah kota,” katanya.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten