Kopi Darat Trump dan Jong-un: Momen Menuju Sejarah

28 Maret 2018 19:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Khrushchev dan Kennedy di Wina (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Khrushchev dan Kennedy di Wina (Foto: Wikimedia Commons)
ADVERTISEMENT
Lebih dari 45 tahun lalu, Nixon mengakhiri beku hubungan Amerika Serikat-China yang berhenti pasca-Perang Dunia II. Hampir 30 tahun setelahnya, giliran Menlu Albright jadi pejabat aktif pemerintah AS pertama yang bertemu dengan penguasa Korea Utara. Keduanya mendapatkan hasil bervariasi, tapi tak ada yang seburuk JFK saat menemui pimpinan Uni Soviet, Nikita Khrushchev.
ADVERTISEMENT
Misi-misi diplomasi tersebut coba diulangi Donald Trump yang dijadwalkan bertemu Kim Jong-un akhir Mei nanti.
Cerita berikut adalah yang terakhir dari tiga seri tulisan Menyambut Kopi Darat Donald Trump & Kim Jong-un. Cerita pertama berjudul “Kopi Darat Trump dan Jong-un: Lawatan untuk Perdamaian” dan cerita kedua berjudul “Kopi Darat Trump dan Jong-un: Berdamai dengan Ingatan”.
***
Juni 1961 “So What?”
Kalau jadi, pertemuan antar-Trump dan Kim Jong-un Mei nanti kemungkinan menjadi pertemuan paling penting di 2018. Konsesi memang sangat mungkin diraih. Namun, sedikit saja melenceng tak sesuai rencana, kemaslahatan dunialah yang jadi taruhan.
Apalagi, Amerika Serikat punya sejarah kelam soal pertemuan presidennya dengan presiden negara yang tengah jadi musuh politiknya. John Fitzgerald Kennedy, Presiden AS ke-35 yang jadi tolok ukur berhasil-tidaknya seorang presiden AS, malah memperkeruh permusuhan kedua negara usai pertemuannya dengan orang nomor satu Uni Soviet, Nikita Sergeyevich Khrushchev pada Juni 1961.
ADVERTISEMENT
JFK saat itu baru enam bulan menjabat sebagai presiden AS. Umurnya baru 46 tahun, hanya empat tahun lebih tua ketimbang Theodore Roosevelt yang sampai kini masih jadi presiden termuda AS. JFK, meski lincah dan disegani di dalam negeri, relatif kurang berpengalaman untuk urusan konferensi tingkat tinggi dengan pemimpin negara lain.
Buktinya: saat debat pencalonan presiden pada 1960 melawan Richard Nixon, JFK menolak mentah-mentah ide bertemu Khrushchev tanpa persiapan terlebih dahulu.
“[Aku] tak akan bertemu Mr. Khrushchev tanpa adanya kesepakatan di level bawah --baik di menteri luar negeri atau para duta besar-- yang menjanjikan bahwa pertemuan itu memiliki kemungkinan keberhasilan atau bisa menjadi sarana pertukaran ide yang berguna,” kata JFK.
ADVERTISEMENT
Sederhananya, JFK baru mau bertemu lawannya dari Soviet itu setelah diplomat kedua negara bertemu lebih dulu untuk membahas kerangka pertemuan.
Keengganan JFK bertemu Khrushchev tanpa persiapan ia tekankan lagi di debat ketiga melawan Nixon. Ia bilang, AS akan memperkuat armada tempur konvensional maupun nuklirnya terlebih dahulu sebelum bertemu Uni Soviet. Bahasa diplomatik yang kacau, bukan?
Masalahnya, hanya dua bulan setelah JFK menjabat, seluruh ide itu tampaknya menghilang di udara. Akhir Februari 1961, ia menulis surat untuk Khrushchev dan mengutarakan kemauannya bertemu untuk sekadar “bertukar pendapat-pendapat informal”. Pada 4 Mei 1961, Khrushchev menerima ajakan tersebut. Keduanya lalu sepakat bertemu di Wina, Austria, dalam agenda dua hari pada 3 dan 4 Juni.
Pesta pelantikan Kennedy sebagai presiden USA. (Foto: Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Pesta pelantikan Kennedy sebagai presiden USA. (Foto: Reuters)
Pada upacara pelantikan kepresidenannya, selain ucapan klise ‘Jangan tanyakan apa yang negara berikan padamu bla bla bla…’, ada satu kalimat lain yang kencang digemakan oleh JFK. Bahkan, kalimat yang jadi poros pola pikir luar negeri AS di awal masa pemerintahannya itu menjadi salah satu kebijakan dia yang paling berpengaruh:
ADVERTISEMENT
“Let us never negotiate out of fear. But let us never fear to negotiate.” Jangan sampai kita berunding karena takut. Tapi jangan sampai juga kita takut untuk berunding.
Kalimat itu jadi panduan JFK menghadapi musuh luar negeri, termasuk saat menemui Khrushchev di Wina. Keberanian jelas penting, dan AS --dengan hard dan soft power-nya yang tanpa tanding-- jelas tak punya alasan untuk takut melakukan negosiasi.
Namun demikian, seperti yang dibilang profesor manajemen konflik internasional di Fletcher School of Law and Diplomacy di Tufts University, Eileen F. Babbitt; dan juga profesor politik internasional di Columbia University bernama Robert Jervis, siapapun negosiator yang mewakili AS menghadapi musuh geopolitiknya harus benar-benar bersiap diri menguasai bahan pembicaraan, atau negosiasi yang tengah berlangsung itu terancam berakhir remuk redam.
ADVERTISEMENT
Masalahnya, seperti diakui JFK sendiri, ia menemui Khrushchev tanpa persiapan memadai. Malahan ada pula isu yang menyebut JFK berada dalam keadaan mabuk usai injeksi amfetamina dari dr. Feelgood. Elemen terakhir ini dikabarkan membuatnya over-confidence dan merasa paling berkuasa. Akibatnya jelas.
Dalam pertemuan tersebut, JFK kalah pengalaman. Namun, yang lebih penting, JFK maju perang tanpa tahu cara untuk menang.
Tak ada tujuan strategis yang jelas. “Bertukar pendapat-pendapat informal” malah berganti jadi debat kusir soal gacoan mana yang lebih baik, apakah itu kapitalisme atau komunisme. Keduanya juga saling tuduh siapa lebih banyak curang dalam pemilihan pemimpin negara masing-masing.
ADVERTISEMENT
JFK dipukul telak. Khrushchev --yang pernah bekerja untuk Stalin dan di sepanjang hidupnya terlibat propaganda Soviet yang anti-Amerika-- menguasai betul medan perangnya.
Akibatnya, ketika JFK menuduh Soviet melakukan ekspansi komunismenya ke dunia, Khrushchev menguliahinya tiga SKS penuh soal kemunafikan kebijakan luar negeri AS. Khrushchev mengingatkan “sangatlah tidak bijak” AS mengepung Soviet dengan markas militer di sekeliling Eropa.
Selain itu, ia juga menyindir AS agar tak hanya mendukung “rezim tua, sekarat, dan kolot” hanya untuk melawan Soviet macam di Kuba dan Laos.
“Dia menghajarku habis-habisan,” aku Kennedy kepada James Reston dari The New York Times usai pertemuan pertamanya dengan Khrushchev. “Aku jelas dalam masalah kalau dia berpikir aku tak punya pengalaman dan tak punya keberanian.”
ADVERTISEMENT
“Aku tidak pernah bertemu seseorang seperti ini,” kata JFK ke Hugh Sidey dari Majalah TIME. “Aku bicara bagaimana perang nuklir akan membunuh 70 juta orang dalam waktu 10 menit, dan dia cuma memandangiku seperti hendak berkata, ‘Memangnya kenapa?’”
Tahu bahwa kamerad dari Soviet menghargai lawan bicara yang keras dan ulet, maka JFK terpaksa melebih-lebihkannya.
Usai keduanya berbicara panjang lebar soal berbagai isu pertumbukan AS-Soviet seperti isu Dua Jerman, Invasi Teluk Babi, dan perebutan pengaruh di Laos, Khrushchev memancing JFK dengan mengatakan bahwa Soviet ingin damai dan menyindir AS-lah yang selalu menyulut permusuhan.
ADVERTISEMENT
“Aku ingin perdamaian,” kata Khrushchev kepada Kennedy, “Tapi kalau kau ingin perang, itu masalahmu.”
“Kalau begitu, Pak Ketua, akan ada perang. Ini akan menjadi musim dingin yang panjang,” jawab JFK.
Sejak saat itu, hubungan kedua negara makin memanas. Tembok Berlin didirikan lewat persetujuan Khrushchev beberapa bulan setelahnya. Dan meski JFK sendiri bilang, “Tembok jauh lebih baik ketimbang perang,” kemungkinan perang nuklir meningkat drastis saat terjadi Krisis Misil Kuba.
Tak hanya itu, keadaan juga memburuk lewat Perang Vietnam yang berlarut-larut, mencoreng muka sejarah militer AS bahkan hingga kini.
Dan begitu saja, pertemuan pertama JFK dan Khrushchev itu juga menjadi pertemuan terakhir mereka.
Nikita Khrushchev dan John F. Kennedy (Foto: Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Nikita Khrushchev dan John F. Kennedy (Foto: Reuters)
Kini “History in the Making”
Banyak hal yang bisa membuat dunia khawatir akan prospek pertemuan Trump dan Kim Jong-un Mei nanti.
ADVERTISEMENT
Belajar dari pertemuan JFK-Khrushchev, kita tahu bagaimana pertemuan tingkat tinggi tanpa pengalaman negosiasi hanya akan berbuah malapetaka. Selain berpotensi dipermalukan seperti JFK, keadaan aktual di sekeliling kuasa dua orang tersebut juga kemungkinan besar memburuk.
Belum lagi persiapan yang kurang matang. Nixon butuh tujuh bulan untuk bertemu Mao Zedong. Persiapan dua bulan yang dilakukan JFK jelas tak membantu --sama seperti yang diutarakan banyak ahli soal rencana pertemuan kali ini.
Bahkan, pelaku sejarah diplomasi AS pun menentang pertemuan ini. Madeleine Albright, Menteri Luar Negeri AS yang menemui Kim Jong-il pada akhir 2000, mengatakan tak seharusnya Presiden AS bertemu Kim Jong-un tanpa modal khusus.
“Seorang presiden tidak boleh pergi ke sebuah negara tanpa persiapan apapun. ‘Merasa terhormat’ bukanlah alasan tepat untuk mengobrol dengan seseorang yang membuat rakyatnya hidup dalam kemiskinan dan kelaparan,” kata Albright pada CNN.
ADVERTISEMENT
Albright mengucapkan itu Mei 2017, ketika Trump sempat bilang bahwa ia mau-mau saja dan ‘merasa terhormat’ untuk bisa bertemu Jong-un apabila keadaan memungkinkan. Sekarang, apa yang dikatakan Albright kembali menemui konteks yang tepat ketika Trump secara resmi akan bertemu dengan Jong-un.
“Aku pikir masalahnya adalah Presiden Trump percaya bahwa dia bisa membangun hubungan satu orang ke orang lain (dengan Kim Jong-un). Mungkin itu bisa terjadi di bisnis, tapi tidak mungkin untuk Presiden Amerika Serikat,” tambahnya.
Presiden China Xi Jinping bersama Kim Jong Un. (Foto: Reuters/CCTV)
zoom-in-whitePerbesar
Presiden China Xi Jinping bersama Kim Jong Un. (Foto: Reuters/CCTV)
Meski begitu, rencana pertemuan tersebut telah diumumkan secara resmi. Bahkan, pertengahan Maret kemarin, Menteri Luar Negeri Korut Ri Yong-ho beranjak ke Swedia untuk membahas denuklirisasi dan kemungkinan mempersiapkan palagan pertemuan Jong-un dan Trump.
Terakhir, Selasa (27/3), Jong-un juga berada di China. Desas-desus menyebut perjalanan luar negeri pertama saat ia menjadi supreme leader itu dilakukannya untuk menjajaki kemungkinan China sebagai tuan rumah pertemuannya dengan Donald Trump.
ADVERTISEMENT
Que sera sera. Yang akan terjadi, terjadilah. Begitulah kata Isaac Stone Fish, jurnalis senior dan ahli hubungan AS-China dalam artikelnya di The Atlantic. Baginya, pertemuan pimpinan AS-Korut itu adalah “cara terburuk paling baik” dalam menyelesaikan (meredakan sementara, lebih tepatnya) krisis nuklir abad-21 ini.
Pertemuan Jong-un dan Trump, menurut Fish, lebih baik ketimbang beberapa skenario lainnya. AS bisa saja menyerang rezim Kim menggunakan kekuatan militer mereka. Lebih spesifik, AS juga memiliki kemampuan untuk menyerang target khusus, yaitu instalasi nuklir Korut --seperti pernah dilakukan Israel yang mengebom instalasi nuklir Suriah pada 2007.
Namun, mekanisme tersebut gugur mengingat kemampuan Korut tak sebatas nuklirnya. Pyongyang masih punya senjata kimia, biologi, dan ribuan artileri yang dalam sekejap bisa memporak-porandakan Seoul. Menurut estimasi Pentagon, Korut punya 11 ribu senjata artileri yang ditanam di daerah pegunungan di sebelah utara zona demiliterisasi.
ADVERTISEMENT
Pertemuan Jong-un dan Trump juga berfungsi untuk mengulur waktu. Menolak ajakan bertemu dan membiarkan rezim Kim merana hanya akan membuat Jong-un merasa lebih terdesak dan melakukan tindakan-tindakan yang lebih berbahaya, macam penculikan puluhan masyarakat Jepang di dekade 80-an.
Misalnya pun dalam proses mengulur waktu ini Korut mampu menyelesaikan hulu ledak nuklir yang cukup kecil untuk dipasang di moncong rudal balistik antarbenua, kemungkinan mereka benar-benar menggunakannya saat Trump sudah berjanji untuk bertemu, menjadi lebih kecil --nyaris nol.
Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un. (Foto: CCTV via Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un. (Foto: CCTV via Reuters)
Mark Bowden, penulis dan pengamat militer AS, pernah mengungkapkan, “Sebagai pemimpin paling muda dari keluarga yang telah memimpin selama tiga generasi, yang tujuan sebenarnya hanya untuk bertahan hidup, apakah mungkin seorang bocah yang selalu hidup dalam kemewahan bangun tidur di pagi hari dan mengorbankan itu semua?”
ADVERTISEMENT
Atau, AS bisa mendorong terjadinya pergantian rezim lewat kudeta di tanah Korut. Masalahnya, pilihan ketiga ini jauh lebih lama dan tak pasti.
Kudeta memang bisa menggantikan Jong-un dengan benevolent dictator yang mau menyiapkan negaranya pada reunifikasi dengan Korsel. Namun, di sisi lain, kudeta bisa mengganti Jong-un dengan seorang jenderal militer yang menganggap meluncurkan rudal nuklir ke AS atau menjualnya ke kelompok seperti ISIS adalah ide baik.
AS tak seharusnya berjudi dengan taruhan sedemikian besar.
Lagi pula, apa sih yang dicari dunia saat ini?
Membuat Jong-un bergidik lewat ancaman dan kemampuan militer adidaya AS, namun mengorbankan kematian jutaan orang dan membiarkan Seoul hancur oleh artileri Korut? Ataukah menyingkirkan sementara ego dan kepentingan jangka pendek rezim masing-masing demi mengejar perdamaian?
Kim Jong-un dan Donald Trump (Foto: Faisal Nu'man/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Kim Jong-un dan Donald Trump (Foto: Faisal Nu'man/kumparan)
====================
ADVERTISEMENT
Ini adalah cerita terakhir dari seri Menyambut Kopi Darat Donald Trump & Kim Jong-un. Cerita pertama berjudul “Kopi Darat Trump dan Jong-un: Lawatan untuk Perdamaian” dan cerita kedua berjudul “Kopi Darat Trump dan Jong-un: Berdamai dengan Ingatan”.