Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Media Pemerintah China, Global Times, menegaskan bahwa tragedi penumpasan Tiananmen pada 1989 tidak akan terulang kembali, apalagi untuk menghentikan aksi demonstrasi di Hong Kong.
ADVERTISEMENT
"Insiden di Hong Kong tidak akan menjadi pengulangan insiden politik 4 Juni pada 1989," tulis media tersebut, dilansir AFP, Jumat (16/8).
Surat kabar itu menepis ketakutan bahwa China akan meredam demonstran di Hong Kong dengan cara yang sama seperti apa yang mereka lakukan ketika meredam demonstran di Lapangan Tiananmen.
Ketakutan ini bermula ketika Pemerintah China mengerahkan pasukan militer lengkap dengan kendaraan berlapis baja ke sebuah stadion di kota Shenzen, yang berbatasan langsung dengan Hong Kong.
Meski China berdalih bahwa pasukan ini hanya sekedar berlatih, kecurigaan akan intervensi dari Negeri Tirai Bambu serta ketakutan akan pengulangan tragedi Tiananmen pun tak dapat dihindari.
Pertanyaannya: Apa sih yang sebetulnya terjadi di Tiananmen pada 1989?
ADVERTISEMENT
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, maka penting untuk mengetahui soal unjuk rasa Tiananmen 1989 terlebih dahulu.
Unjuk Rasa Tiananmen 1989
Unjuk Rasa Tiananmen adalah sebuah rangkaian demonstrasi yang diadakan di Lapangan Tiananmen, Beijing sejak 14 April hingga 4 Juni 1989.
Unjuk rasa yang dipimpin oleh mahasiswa ini, pada awalnya ditujukan sebagai aksi protes terhadap ketidakstabilan ekonomi serta korupsi besar-besaran.
Korupsi yang menjamur di Pemerintahan China bermula dari kegagalan kebijakan ekonomi terbuka ala pemimpin China saat itu, Deng Xiaoping.
Pada 1980-an, Deng mulai mengizinkan masuknya beberapa perusahaan swasta dan investasi asing dengan harapan bisa membangkitkan perekonomian dan peningkatan standar hidup.
Upaya Deng itu bisa dibilang efektif untuk memangkas angka kemiskinan, namun korupsi di kalangan pejabat negara yang kian menjamur menyebabkan kesenjangan ekonomi semakin melebar.
ADVERTISEMENT
Rakyat kecil yang jadi korbannya pun memulai aksi protesnya.
Pada 1989, aksi protes semakin meningkat ketika seorang politikus terkemuka Hu Yaobang meninggal dunia. Hu terkenal sebagai kader Partai Komunis China (PKC) yang gencar mendorong perubahan ekonomi dan politik di China ke arah yang lebih liberal dan plural.
Sekitar 100 ribu orang berkumpul di hari pemakamannya pada 22 April. Mereka meratapi kematian Hu sekaligus menyuarakan aspirasi terkait reformasi demokrasi.
Tuntutan mereka di antaranya mengakui demokrasi, mempublikasikan gaji para pejabat pemerintah dan anggota keluarganya, mengizinkan berdirinya koran swasta dan menghentikan sensor media, menghentikan pelarangan demokrasi di Beijing, serta meminta pemerintah untuk berhenti memata-matai gerakan mahasiswa.
Aksi yang berawal dari ketidakpuasan akan kondisi ekonomi pun merembet menjadi demonstrasi pro demokrasi, sesuatu yang tidak lazim terjadi di negara otoriter seperti China.
ADVERTISEMENT
Pada pekan-pekan berikutnya, aksi protes berpindah tempat dari pemakaman Hu ke Lapangan Tiananmen. Sekitar satu juta orang diperkirakan ikut berpartisipasi dalam aksi ini.
Bagaimana Tanggapan dari Pemerintah?
Pada awalnya, pemerintah tidak mengambil tindakan langsung terhadap para pengunjuk rasa. Tindakan represif dimulai saat status darurat militer berlaku pada Mei ketika para pimpinan PKC --satu-satunya partai yang berkuasa di China--menginginkan tindakan lebih keras kepada para demonstran.
Pada 3 hingga 4 Juni, sekitar 300 ribu pasukan militer bergerak menuju Lapangan Tiananmen. Mereka mulai memukul, menangkap, hingga bahkan melepaskan tembakan untuk mengendalikan demonstran di area tersebut.
The Famous Tank Man
Berbagai upaya pertahanan diri pun dilakukan oleh para demonstran, mulai dari membalas tembakan dengan bom batu, kayu, hingga bom molotov.
ADVERTISEMENT
Seorang pria bahkan nekat berdiri menghadang barisan tank tipe 59 yang bisa dengan mudah melumat badannya. Pria yang mengenakan kemeja putih, celana panjang hitam, dan tas belanja itu cukup yakin bisa menghentikan pasukan militer China.
Pria itu kemudian memanjat ke tank paling depan, mengetuk pintu masuk, dan berbicara dengan prajurit di dalamnya. Saat sudah turun, pria itu langsung ditarik pergi oleh dua pria.
Aksi pria itu diabadikan oleh Associated Press, kemudian media massa menjuluki pria tersebut sebagai 'Tank Man'. Hingga kini tidak ada yang mengetahui identitas Tank Man, atau nasib setelahnya.
Upaya pertahanan yang dilakukan demonstran pun sia-sia belaka ketika lawan mereka adalah kendaraan tempur berlapis baja. Korban tewas pun berjatuhan.
ADVERTISEMENT
Berapa banyak yang tewas?
Tidak ada yang tahu pasti berapa banyak orang yang terbunuh.
Pemerintah China pada Juni 1989 menyatakan ada 200 warga sipil dan mahasiswa, serta puluhan anggota keamanan yang tewas. Namun, sumber lainnya memperkirakan jumlah korban tewas lebih banyak dari itu.
Dilansir dari Independent yang mengutip dari Data pemerintah AS pada 2014, penumpasan demonstran di Tiananmen menyebabkan 10.454 orang tewas dan 40.000 korban lainnya luka-luka. Sementara New York Times melaporkan setidaknya ada puluhan tentara dan polisi yang tewas, dengan korban warga sipil sekitar 400-800 orang.
Penumpasan di Tiananmen menyebabkan Deng dikecam oleh komunitas internasional.
Reformasi ekonomi dan politik di China pun kembali sia-sia karena Deng memilih untuk menutup mata dan mengabaikan tuntutan para demonstran. Kontrol media justru makin diperketat dan partisipasi politik tetap dibelenggu.
ADVERTISEMENT