Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menilai pro-kontra yang bising di masyarakat terkait bimbingan pranikah oleh KUA terjadi karena istilah ‘wajib’ yang “...menimbulkan mispersepsi atau misleading.” Meski begitu, menurutnya, bimbingan model baru yang sudah dimulainya sejak 2017 itu amat penting untuk meminimalisasi masalah rumah tangga, utamanya angka perceraian yang terus tinggi.
Belum sebulan menjabat Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy sudah membuat pernyataan yang bikin polemik di masyarakat. Pertengahan bulan kemarin, Muhadjir mengatakan akan mewajibkan sertifikasi pranikah untuk calon pasangan suami istri dan membuatnya sebagai syarat pernikahan.
“Kalau bisa tahun depan 2020 sudah dimulai. (Tujuannya) untuk memastikan bahwa dia memang sudah cukup menguasai bidang-bidang pengetahuan yang harus dimiliki (sebelum menikah), itu harus diberikan sertifikat,” kata Muhadjir di Gedung SICC, Sentul, Jawa Barat, Rabu (13/11). Muhadjir juga mengatakan bahwa program ini akan diselenggarakan selama tiga bulan.
Tak pelak, keriuhan timbul di masyarakat terkait pernyataan Muhadjir tersebut. Wacana dilempar tanpa elaborasi yang cukup. Padahal, apabila dicerna lebih jauh, idealisasi program tersebut mempunyai berbagai sisi positif dan praktik yang sebenarnya tak seribet yang diungkapkan Muhadjir.
Lukman Saifuddin, penggagas bimbingan pranikah itu, mengatakan bahwa program tersebut tidak sepayah yang selama ini dihebohkan publik. Ia berkata bahwa bimbingan perkawinan model baru yang sebetulnya kini telah dimulai di beberapa daerah di Indonesia itu merupakan hasil evaluasi dan penyempurnaan dari yang sebelumnya sudah ada.
“Di KUA-KUA kita sebenarnya sudah ada pendidikan pranikah itu, tapi sangat terbatas karena waktunya hanya dua jam. Bisa kita bayangkan, dua jam ya lebih pada normatif, metodenya pun ceramah,” kata Lukman kepada kumparan, Kamis (21/11). Menurutnya, metode seperti itu kurang memadai untuk merespons masalah pernikahan seperti perceraian, KDRT, konflik relasi pasangan, dan child abuse.
“Akhirnya muncul gagasan untuk melakukan bimbingan perkawinan yang lebih terencana dan sistematis. Perlu ada pelatihan, kita buatkan modul kurikulum pelatihan bimbingan perkawinan. Ketahanan keluarga tidak semata persoalan komunikasi, relasi suami istri. Tidak semata terkait hal-hal yang menyangkut keagamaan. Tapi juga persoalan ekonomi, kesehatan reproduksi, dan hal yang lebih teknis lainnya,” ujar Lukman.
Untuk menjelaskan perkara bimbingan pranikah secara lebih komprehensif, Liputan Khusus kumparan mewawancarai Lukman, Alissa Wahid (tim pakar program ini), dan Muhammad Adib Machrus (Kasubdit Bina Keluarga Sakinah Ditjen Bimas Islam Kemenag). Kami membicarakan latar belakang program, materi yang ada di dalamnya, kritik bimbingan yang selama ini patriarkis, dan masalah teknis seperti apakah program ini wajib diikuti selama tiga bulan. Berikut tanya jawab kumparan dan Lukman yang dilengkapi dengan beberapa penjelasan Alissa dan Adib.
Alissa Wahid bilang Anda penggagas program Bimbingan Perkawinan Calon Pengantin versi baru. Betul?
Iya.
Apakah ini program yang sama dengan yang disebut Muhadjir Effendy? Ada perbedaan istilah di sini.
Iya. Jadi yang sekarang tentu kelanjutan, idenya tentu sama ya. Jadi kami di Kementerian Agama, dulu ketika saya menjadi Menteri Agama, itu kita punya studi khusus tentang pernikahan di kalangan umat Islam yang dilakukan para penghulu-penghulu kita, baik yang diadakan di KUA maupun di rumah masing-masing pengantin. Intinya kita sangat prihatin, sangat khawatir, karena tinggi sekali angka perceraian itu. Itu pertama.
Lalu kemudian KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) itu juga angkanya tidak kunjung turun tapi terus meningkat. Belum lagi kasus-kasus abuse, pelecehan terhadap anak, juga konflik-konflik terkait relasi pasangan suami istri.
Nah, jadi memang kita dapati ada problem yang cukup kompleks pada pasangan-pasangan muda kita. Ini yang lalu kemudian kita sampai kepada (kesimpulan), kebutuhan perlunya ada pembekalan. Jadi semacam pendidikan pranikah, atau kita menyebutnya bimbingan perkawinan.
Di KUA-KUA kita sebenarnya sudah ada pendidikan pranikah itu, tapi sangat terbatas karena waktunya hanya dua jam. Bisa kita bayangkan, dua jam ya lebih pada normatif, metodenya pun ceramah, yang kita nilai ini kurang memadai untuk merespons kenyataan yang saya sebut tadi: perceraian tinggi, KDRT tinggi, child abuse, konflik relasi pasangan suami istri, dan seterusnya.
Sehingga muncullah gagasan untuk melakukan bimbingan perkawinan yang lebih terencana dengan baik, lebih sistematis, terstruktur. Sehingga kemudian perlu ada pelatihan, lalu kemudian kita buatkan modul kurikulum pelatihan bimbingan perkawinan yang diikuti oleh setiap pasangan pengantin.
Jadi gagasannya sudah sejak lama ya?
Iya, itu sejak akhir 2016 mulainya. Kita mulai 2016, tapi semakin dimatangkan itu di 2018.
Lalu yang sekarang, yang kemudian disebut Muhadjir…
Nah yang sekarang tentu saya tidak tahu persis ya, yang dilansir oleh Pak Menko PMK. Tapi intinya menurut saya sama, bahwa kita merasa keluarga itu adalah unit terkecil yang ada di masyarakat. Sehingga ketahanan keluarga ini menjadi sesuatu yang amat sangat strategis dalam menyikapi dalam menghadapi berbagai masalah sosial kemasyarakatan.
Dan kalau unit terkecil itu memiliki ketahanan yang baik, maka tentu sebagian besar persoalan-persoalan atau problem sosial masyarakat bisa diatasi kalau di unit terkecilnya itu sudah mampu diredam.
Alias, ini bukan barang baru.
Menurut saya bukan barang baru. Hanya memang saya menangkapnya ada istilah-istilah yang mungkin menimbulkan mispersepsi atau misleading. Misalnya kata-kata wajib, bahwa ini wajib diikuti jadi yang tidak punya sertifikat itu tidak bisa nikah.
Kata wajib ini kan punya konotasi, baik perspektif teologis maupun sosial. Nah ini yang perlu diklarifikasi. Wajib itu tentu konteksnya ketika suatu saat ketika kita sudah mencapai kesiapan terkait dengan penyelenggaraan bimbingan perkawinan secara penuh begitu.
Jadi ini tidak wajib dan tidak ada bentuk sertifikasi begitu ya? Itu yang selama ini diributkan khalayak.
Harus diklarifikasi itu kesalahpahaman, seakan-akan wajib. Lalu ada istilah lulus-tidak lulus. Seperti kursus pendidikan, ‘Nanti kalau ada enggak lulus gimana sementara kedua calon mempelai sudah betul-betul cocok, kedua keluarga besan sudah cocok? Nanti gimana ditunda?’ Padahal ini enggak ada urusannya sama lulus enggak lulus.
Jadi itu kesalahpahaman karena ada kata-kata wajib itu. Wajibnya itu nanti ketika segala sesuatunya itu sudah siap. Nantinya itu memang perlu ada sertifikat, sebagai bukti ketika pasangan seorang laki-laki atau perempuan ingin menikah, syaratnya memiliki sertifikat pendidikan pranikah itu.
Tapi sekarang kita sedang dalam tataran promosi. Mempromosikan, mengedukasi, dan menghimbau.
Kalau soal waktu yang katanya butuh tiga bulan itu?
Enggak. Jadi yang sekarang yang kita punya problem anggaran, punya problem ketersediaan infrastruktur tempat, waktu dan seterusnya.
Program yang kita sudah lakukan ini sebenarnya dua hari intensif, dua hari karena ini harus masif dilaksanakan di seluruh indonesia. Jadi kita memang bikin modul sesederhana mungkin.
Yang selama ini sudah berlangsung kan di KUA, untuk umat Islam saja. Nantinya, apakah ini juga diperuntukkan bagi penganut semua agama atau bagaimana?
Harapannya ke depan, idealnya, itu tentu kepada setiap warga negara tanpa membeda-bedakan apa agama yang dianutnya. Kan kita bukan negara agama tertentu. Jadi setiap warga negara harus mendapatkan hak dan memiliki kewajiban yang sama.
Tapi untuk tahap sekarang, jangka pendek ini, kita mulai dari KUA-KUA yang ada. Mulai dari umat Islam, karena memang tidak hanya karena dia sebagian besar dari masyarakat kita, tapi juga yang sudah ada infrastrukturnya yaitu KUA yang ada di kecamatan-kecamatan. Kita manfaatkan itu.
Sementara itu, dihubungi secara terpisah, Alissa menjelaskan bagaimana rencana bimbingan perkawinan ini nantinya juga akan dilaksanakan bagi pemeluk agama lain. Menurutnya, misalnya bagi umat Nasrani, pelatihan akan tetap diberikan oleh gereja seperti yang selama ini sudah dilakukan.
“Nanti pencatatan pernikahannya ada di Dukcapil, tapi sertifikatnya datang dari gereja. Karena yang penting itu bukan layak atau tidak layak, tapi apakah sudah dapat pembekalan atau belum,” ujarnya via telepon, Kamis (21/11).
Terkait materi bimbingan, akan seperti apa?
Kurikulumnya berlaku kepada semua yang terkait dengan inti persoalan. Jadi, materi-materi itu adalah dalam rangka pembekalan kepada pasangan muda kita agar mereka bisa memahami dengan baik apa itu hakikat berkeluarga itu.
Misalnya, materi yang terkait dengan komitmen. Membangun fondasi dan pilar keluarga itu seperti apa, hakikat keluarga itu seperti apa, psikologi keluarga, relasi pasangan suami istri—jangan sampai ada dominasi satu kepada yang lain. Kesetaraan, kesalingan, itu perlu sekali ditekankan.
Juga komunikasi dan pengelolaan konflik. Sampai kepada hal-hal yang lebih teknis, kesehatan reproduksi misalnya. Juga perencanaan keuangan keluarga, itu kita bekali karena kita mendapatkan angka bahwa perceraian-perceraian yang ada itu sebagian besar itu faktor penyebabnya itu masalah-masalah ekonomi.
Jadi ketahanan keluarga itu tidak hanya semata persoalan komunikasi, relasi suami istri, tidak hanya semata terkait dengan hal-hal yang menyangkut keagamaan, tapi juga persoalan ekonomi. Sehingga perencanaan keuangan keluarga itu juga perlu dibekali, setidaknya prinsip-prinsip dasar yang ada.
Jadi materinya lebih bersifat universal ya?
Betul. Kita tekankan betul, ibarat keluarga adalah bangunan, maka keluarga bahagia itu kita analogikan sebagai sebuah bangunan di mana atapnya itu adalah kemaslahatan. Jadi kemaslahatan dalam artian dia bisa mengayomi semua, tidak hanya seisi keluarga itu tapi juga masyarakat sekitarnya.
Fondasinya adalah kesalingan. Tidak ada dominasi satu terhadap yang lain. Masing-masing memiliki keterkaitannya yang kesalingan itu terkait juga dengan keadilan dan keseimbangan.
Nah, pilar-pilar yang kita ingin bangun adalah komitmen. Jadi ini kan dua anak manusia yang berbeda jenis kelaminnya akan membangun rumah tangga selamanya, maka pilar komitmen yang dalam Islam itu disebut akad itu harus kokoh betul.
Lalu kesetaraan, memperlakukan pasangan dengan baik. Itu adalah bahwa setiap pihak baik suami terhadap istri maupun sebaliknya, istri terhadap suami, dia harus memberlakukan pasangannnya itu dengan baik.
Sepertinya itu memang penting. Yang kami temukan juga banyak kritik bahwa bimbingan pranikah sangat terfokus soal ‘bagaimana istri melayani suami dengan baik’. Anjuran patriarkis macam ‘Saat suami pulang, istri jangan pakai daster dong,’ masih tetap ada meski kadang disampaikan seperti bercanda. Itu masuk dalam evaluasi yang sudah dilakukan atau tidak?
Iya, itulah kenapa kita tekankan betul pada hakikatnya rumah tangga, relasi suami istri itu relasi yang kesalingan saja, kesetaraan, masing-masing tidak bisa menuntut kepada yang lain, masing-masing punya tanggung jawab dan haknya masing-masing.
Itu seluruhnya dilakukan secara dialogis, musyawarah, dibicarakan bersama. Jadi tidak ada anggapan bahwa perempuan itu subordinasi, istri itu subordinasi dari suami. Itu tidak lagi boleh diberlakukan, karena agama tidak mengajarkan hal seperti itu.
Anda masih terlibat dalam program ini?
Kalau pelatihan-pelatihan, kadang saya diminta sebagai narasumber. Kita sudah melatih mereka-mereka yang nantinya akan menjadi fasilitator, instruktur pelatih pada kegiatan-kegiatan seperti ini.
Terkait hal ini, menurut Adib, jumlah fasilitator yang ada memang belum memadai untuk memastikan program ini dilakukan di seluruh Indonesia.
“Fasilitator kita belum menyentuh 2000, sementara KUA yang ada itu 6.000 an. Jadi masih jauh. Kita dua tahun ini baru berhasil bikin...ya anggap saja 2000 fasilitator,” kata Adib. Menurutnya, anggaran menjadi salah satu persoalan. “Melatih fasilitator butuh anggaran juga kan.”
Itu kan bimbingan pranikah ya. Dari hasil wawancara kami, dari teman-teman kami yang beragama Katolik dan Protestan, tersedia pula supporting system yang ada untuk keluarga setelah mereka menikah. Apakah ini akan diimplementasikan juga?
Jadi dalam gagasan ini ada dua program besar. Pertama yang pranikah , penyiapan kepada pasangan muda yang ingin membangun rumah tangga.
Yang kedua pasca nikah, ketika mereka menjadi suami istri. Itu kan tidak lalu kemudian semua masalah akan hilang, bisa jadi masalah baru muncul ketika mereka sudah berkeluarga.
Kita punya program itu tentang bina keluarga sakinah, itu konsepnya sekarang sedang kita jaga, tentu pada saatnya nanti itu akan kita implementasikan juga. Ada konseling. Ketika ada persoalan-persoalan keluarga, untuk suami atau istri yang memerlukan bimbingan terkait persoalan keluarga.
Ketika era saya, saya sudah kehabisan waktu belum sempat bagian kedua ini diimplementasikan, mudah-mudahan yang sekarang bisa melanjutkan itu.
Soal supporting system pascanikah, Alissa menjelaskan bahwa saat ini program tersebut sudah diuji coba pada 15 provinsi.
“Pak Lukman waktu itu begini idenya: Setelah melihat penerimaan dari masyarakat soal bimbingan perkawinan itu, beliau kemudian minta di-expand ke bimbingan untuk keluarga muda. Jadi dua penyebab perceraian terbesar dibuatkan workshop khusus. Diberi nama oleh beliau namanya Berkah, Belajar Rahasia Nikah,” ujar Alissa.
“Itu satu hari belajar khusus tentang relasi harmonis, memperdalam soal pengelolaan konflik. Ini terutama untuk pasangan-pasangan yang nggak sempet ikut bimbingan perkawinan,” katanya.
“Lalu workshop yang kedua itu adalah mengelola keuangan keluarga. Nah, selain itu disediakan juga di KUA-KUA percontohan ini itu konseling dan pendampingan. Bahkan kalau untuk pendampingan secara spesifik itu untuk yang perkawinan anak itu, yang sudah kadung perkawinan anak itu. KUA perlu memonitor, memastikan bahwa anak-anak ini didampingi sampai usia mereka 19 tahun,” tambah Alissa.