Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Proses persidangan gugatan UU KPK hasil revisi di Mahkamah Konstitusi (MK) yang berlangsung sejak akhir 2019 mencapai titik akhir pada Selasa (4/5) ini.
ADVERTISEMENT
MK menggelar sidang putusan untuk menentukan nasib gugatan UU KPK mulai pukul 10.00 WIB. Berdasarkan jadwal sidang, terdapat 7 gugatan UU KPK yang akan diputus MK.
Mereka menggugat secara formil maupun materiil. Gugatan secara formil menyasar proses revisi UU KPK yang tak sesuai prosedur sehingga harus dibatalkan. Sedangkan gugatan materiil mempersoalkan substansi pasal-pasal di UU KPK hasil revisi.
Salah satu pemohon yang mengajukan uji formil yakni eks pimpinan KPK, Agus Rahardjo dan Laode Syarif, dengan nomor perkara 79/PUU-XVII/2019.
Melalui gugatan formil, Agus Rahardjo dkk meminta MK membatalkan UU KPK hasil revisi (UU 19/2019), sehingga otomatis kembali ke UU yang lama (UU 30/2002).
Menurut Agus, proses pembahasan revisi UU KPK berlangsung kilat dan terburu-buru. Terlebih, tidak terpenuhinya kuorum saat rapat paripurna DPR untuk mengesahkan revisi UU KPK pada 17 September 2019. Sehingga Agus cs menilai banyak cacat formil dan ketidakjelasan dalam UU KPK hasil revisi itu.
ADVERTISEMENT
Sedangkan 25 advokat dalam perkara nomor 59/PUU-XVII/2019 yang menggugat secara formil, menilai revisi UU KPK tidak sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sebab dalam rapat paripurna, jumlah anggota DPR yang hadir berjumlah 80 orang atau kurang dari setengah dari jumlah anggota DPR secara keseluruhan. Revisi UU KPK juga dilakukan secara tersembunyi dan dibahas dalam rapat-rapat di DPR dalam kurun waktu yang relatif singkat.
Adapun para pemohon Perkara 77/PUU-XVII/2019, Jovi Andrea Bachtiar dkk, menguji secara materiil mengenai Pasal yang mengatur keberadaan Dewan Pengawas KPK.
Para pemohon menilai keberadaan Dewas berpotensi melanggar prinsip-prinsip negara hukum (rechtstaats) dan prinsip independensi (independent judiciary) pada proses peradilan.
Lalu permohonan perkara nomor 71/PUU-XVII/2019 yang diajukan Zico Leonard dkk menguji antara lain Pasal 6 huruf e dan Pasal 12 ayat (1) UU KPK. Menurut para Pemohon, eksistensi Dewas merupakan suatu paradoks yang justru melemahkan pemberantasan korupsi.
ADVERTISEMENT
Sementara pemohon lain di perkara 73/PUU-XVII/2019, Ricki Martin Sidauruk dan Gregorianus Agung, menguji Pasal 43 ayat (1) UU KPK. Pasal yang mengatur persyaratan menjadi penyelidik KPK menurut keduanya sangat diskriminatif.
Adapun jelang putusan Koalisi Guru Besar Antikorupsi mengirim surat ke MK. Koalisi tersebut terdiri dari 51 Guru Besar dari lintas Universitas.
Beberapa nama di antaranya yakni Prof Emil Salim (Guru Besar FEB UI), Prof. em. Dr. Franz Magnis-Suseno (Guru Besar STF Driyarkara), Prof Azyumardi Azra (Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah), Prof Dr Hibnu Nugroho (Guru Besar FH UNSOED Purwokerto), dan Prof Ramlan Surbakti (Guru Besar FISIP UNAIR).
Dalam suratnya, Koalisi Guru Besar meminta MK mengabulkan gugatan yang diajukan dan membatalkan UU KPK hasil revisi.
ADVERTISEMENT
"Kami menaruh harapan besar pada Mahkamah Konstitusi untuk mengembalikan kondisi pemberantasan korupsi seperti sedia kala. Harapan itu hanya akan terealisasi jika Bapak dan Ibu Yang Mulia Hakim Konstitusi mengabulkan permohonan uji materi UU KPK hasil revisi. Jika itu dilakukan, kami yakin penegakan hukum, khususnya pemberantasan korupsi, akan kembali pada ke khittahnya," isi surat Koalisi Guru Besar Antikorupsi.
Koalisi Guru Besar menilai UU KPK hasil revisi telah melemahkan lembaga antirasuah tersebut serta membuat nasib pemberantasan korupsi berada di ujung tanduk.
Pelemahan yang terjadi seperti mulai hilangnya independensi, pembentukan dan fungsi berlebih Dewan Pengawas, kewenangan penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), sampai alih status pegawai KPK menjadi ASN.
"Sehingga, akibat perubahan politik hukum pemerintah dan DPR itu, terdapat persoalan serius yang berimplikasi langsung pada penanganan perkara tindak pidana korupsi. Dua di antaranya, kegagalan KPK dalam memperoleh barang bukti saat melakukan penggeledahan di Kalimantan Selatan dan penerbitan SP3 untuk perkara mega korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia," tulis Koalisi Guru Besar.
ADVERTISEMENT
"KPK juga mengalami degradasi etika yang cukup serius. Pelanggaran kode etik, pencurian barang bukti, dan praktik penerimaan gratifikasi serta suap untuk menghentikan perkara korupsi yang ditangani pelan tapi pasti telah merusak reputasi KPK yang sejak lama justru jadi barometer badan antikorupsi yang cukup ideal," lanjut isi surat Koalisi.
Lantas apakah MK akan mengabulkan atau justru menolak gugatan UU KPK?