Manuver Para Pemimpin Otoriter Dunia di Balik Pandemi Corona

30 April 2020 16:03 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Demo di Azerbaijan pada 2016. Foto: Steffi Loos/AFP
zoom-in-whitePerbesar
Demo di Azerbaijan pada 2016. Foto: Steffi Loos/AFP

Peretasan, manipulasi pidana, kuasa tanpa batas, hingga menggelar pemilu saat karantina, menjadi pilihan rezim-rezim otoriter untuk melanggengkan kuasa di tengah pandemi corona.

Ilkin Rustamzade memendam curiga atas beberapa pesan WhatsApp yang masuk melalui telepon selulernya belakangan ini. Pesan dari nomor seluler berkode Amerika Serikat itu berisi penghinaan dan ancaman. Ujung dari rentetan pesan panjang itu menyebut nama Presiden Azerbaijan, Ilham Aliyev.
Upaya itu tak berhenti melalui pesan. Facebook-nya juga mengirimkan pesan bahwa ada seseorang yang ingin mengakses akunnya beberapa hari kemudian. Ia pun khawatir ada upaya menjebak dirinya ke dalam kasus kriminal tingkat tinggi melawan negara.
“Di akhir semua pesan yang mengancam, nama Presiden (Azerbaijan) disebutkan. Seolah-olah seseorang menginginkan saya untuk masuk dalam barisan itu, dan kemudian (saya) ditangkap dalam kasus kriminal tingkat tinggi,” ucapnya seperti dikutip dalam situs berita Open Caucasus Media, Selasa (28/4).
Ilkin adalah seorang aktivis muda prodemokrasi yang tergabung dalam gerakan sipil Azerbaijan bernama Nida Civic Movement. Ia pernah mengecap dinginnya sel penjara pada 2013 karena tuduhan tindak pidana mengorganisir aksi kerusuhan. Tuduhan ini dinilai kontroversial karena ada motif politik untuk membungkam aktivis.
Serbuan pesan WhatsApp dan upaya peretasan Facebook juga dialami oleh aktivis lain, Bakhtiyar Hajiyev. Caranya sama persis, diserbu pesan WhatsApp berisi kecaman dengan menyebut nama Presiden Azerbaijan dan upaya gagal peretasan akun Facebook.
Bakhtiyar merupakan aktivis prodemokrasi dan bloger. Ia sempat menjadi kandidat parlemen Azerbaijan pada 2010, namun aktivitas politik prodemokrasinya membuat pemerintah tak suka padanya. Ia pun pernah dipenjara pada 2011 dengan tudingan menghindari wajib militer pada 2011.
Demokrasi dan penegakan HAM selalu menjadi isu yang nyaris tak terselesaikan di negara itu sejak pecah dari Uni Soviet pada 1991. Presiden Ilham Aliyev pun sudah berkuasa sejak 2003 hingga kini.
Penangkapan aktivis oposisi di Azerbaijan. Foto: Tofik Babayev/AFP
Iklin dan Bakhtiyar pantas khawatir atas aktivitas di seputar telepon seluler mereka. Pandemi corona berimbas penangkapan aktivis dan politisi oposisi pemerintah di negara itu setelah Presiden Ilham memberikan pidato ancaman bagi oposisi dan para aktivis pada 19 Maret lalu.
Pidato itu menyebutkan oposisi dan aktivis sebagai pengkhianat di tengah masyarakat yang sengaja mengumbar provokasi.
Usai pidato itu, penangkapan tokoh oposisi, jurnalis, dan aktivis merebak. Tokoh oposisi dari Partai Musavat ditangkap dengan tuduhan melakukan kekerasan dalam sebuah kecelakaan mobil pada 22 Maret lalu. Namun penangkapan ini diduga berbagai pihak sebagai rekayasa karena kronologi yang janggal.
Media berita dan analisis, Eurasia Review, melaporkan parlemen telah meloloskan amandemen aturan pelanggaran administratif di masa karantina COVID-19, yakni hukuman denda 100 hingga 200 manat (60 hingga 120 Dolar AS) atau penahanan 30 hari atas pelanggaran karantina.
Kementerian Dalam Negeri Azerbaijan menyebutkan banyak pelanggaran atas kasus ini. Sepanjang bulan Maret terdapat 154 orang dipenjara, dan ribuan orang didenda karena melanggar aturan karantina.
Namun Human Right Watch menyebutkan berbagai persidangan atas peraturan itu dilakukan asal-asalan. Alhasil, justru banyak oposisi dan aktivis menjadi tahanan tanpa alasan jelas.
“Penangkapan ini merupakan pola lama pembalasan politik di Azerbaijan. Pihak berwenang harus berhenti menggunakan darurat kesehatan masyarakat sebagai alasan untuk menghukum pidato yang sah,” Ucap Associate Director Eropa dan Asia Tengah Human Rights Watch (HRW), Giorgi Gogia.
Presiden Hungaria Viktor Orban. Foto: Wojtek Radwanski/AFP
Ancaman kekuasaan otoriter tak hanya mendera Azerbaijan. Hungaria mengalami hal yang sama ketika parlemen mereka menyetujui perundangan darurat penanganan pandemi corona pada 30 Maret lalu.
The Guardian menyebutkan peraturan ini tidak memiliki batas waktu pemberlakuan kondisi darurat. Selain itu, peraturan baru tersebut menyebutkan hukuman penjara lima tahun atas penyebaran informasi yang salah dan menghambat respons pemerintah.
Direktur Amnesty International Hungaria, David Vig, menyebutkan perundangan ini akan memberikan kekuasaan tidak terbatas dan tak terkendali kepada Perdana Menteri Viktor Orban. Kuasa ini pun bakal mengancam HAM.
“Ini bukan cara untuk mengatasi krisis yang sangat nyata yang disebabkan oleh pandemi COVID-19,” ucap Vig.
Partai oposisi berujar, mereka sebenarnya menerima penanganan pandemi yang diajukan oleh pemerintah. Tapi, batas waktu harus ditetapkan.
“Saya pikir, sejak awal mereka tidak menginginkan kesepakatan karena mereka telah menggunakan semuanya untuk komunikasi politik,” ucap anggota parlemen dari kelompok oposisi Koalisi Demokrat, Vgnes Vadai.
Sementara pihak pemerintah menganggap oposisi tak mau bekerja sama. Menteri Senior Fidesz Katalin Novak menuliskan melalui akun Twitter-nya, parlemen memberi wewenang kepada pemerintah untuk terus berjuang secara efektif melawan coronavirus COVID-19.
“ ... Sayangnya, partai-partai oposisi tidak mendukung perjuangan ini,” lanjutnya.
Suasana lockdown di Zimbabwe. Foto: REUTERS/Philimon Bulawayo
Selain Hungaria dan Azerbaijan, The Economist dalam artikelnya berjudul Autocrats See Opportunity in Disaster menyebutkan beberapa pemimpin negara lain memanfaatkan situasi pandemi. Informasi palsu menjadi alasan beberapa negara untuk memaksa semua orang diam. Misal saja di Zimbabwe, penjaja ‘kepalsuan’ diancam dengan 20 tahun penjara.
Kritik pun dilarang demi penanganan pandemi, seperti juga terjadi di Libya. Sementara koran dan majalah cetak dilarang beredar di Yordania, Oman, Yaman, Uni Emirat Arab, dan Iran karena alasan dapat menyebarkan corona.
Di Asia Tenggara, Thailand menegaskan pembatasan total terhadap mobilitas sembari melarang beredarnya berita mengenai COVID-19 yang kemungkinan salah dan memicu kepanikan. Pemerintah lantas menyortir pemberitaan.
“Kita mungkin tidak merasa nyaman, tetapi kita semua perlu beradaptasi untuk bertahan hidup dan memiliki tanggung jawab sosial, sehingga kita dapat melewati krisis ini,” ucap Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-o-cha pada Jumat, 3 April lalu.
Berikutnya di Bolivia, Amerika Latin, pandemi memberi alasan untuk menunda pemilihan umum, atau untuk terus maju dengan pemungutan suara, sementara oposisi tidak dapat berkampanye seperti di Guinea, Afrika Barat.
Warga mengenakan masker di Togo. Foto: AFP
Di belahan dunia lain, kaum minoritas bahkan terancam dalam seleksi pemberian bantuan bagi warga terdampak corona.
Di Togo, misalnya, uang bantuan didistribusikan kepada penduduk yang memberikan suaranya kepada presiden terpilih, Faure Gnassingbe, dalam pemilihan umum Februari lalu. Mereka harus menyerahkan bukti identitas pemilih ketika mengambil bantuan itu.
Masalahnya, kekuasaan kejam semacam itu tidaklah kompeten menghadapi pandemi. Virus corona kebal terhadap propaganda dan polisi rahasia.
***
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona)
Yuk, bantu donasi untuk atasi dampak corona.