Masa Depan Bukit Emas Poboya

23 Maret 2017 15:01 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kawasan pertambangan emas Poboya, Palu (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Tambang emas Poboya yang menggunakan merkuri dalam pengolahannya, bukan hal baru bagi masyarakat Palu, Sulawesi Tengah. Bicara Poboya sama saja dengan bicara masalah pencemaran lingkungan, pengerukan emas secara liar, dan pelanggaran hukum yang telah berlangsung di Palu sejak 2008.
ADVERTISEMENT
Poboya ramai-ramainya menjadi sorotan publik pada 2014. Penelitian dilakukan, data-data pencemaran dan kerusakan lingkungan akibat merkuri di Poboya dibeberkan, dan janji-janji manis diucapkan pemerintah untuk menyelesaikannya.
Sampai saat ini, pencemaran lingkungan akibat tambang Poboya masih terus berlangsung. Ribuan penambang masih nekat turun ke lubang tambang, mesin tromol bermerkuri masih berputar, dan siraman sianida perusahaan masih mengalir di kolam rendaman. (Baca: Ancaman Merkuri Emas Poboya Mengalir Hingga Palu)
Penutupan tambang emas telah diupayakan. Pada 27 Januari 2017, Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah melakukan penertiban di areal penambangan emas.
Nyatanya, emas Poboya tetap dikeruk. PT Citra Palu Mineral sebagai pemegang kontrak karya sejak 1997 akan merealisasikan eksploitasi emas di bukit tersebut tahun ini, 2017.
ADVERTISEMENT
“Sudah masuk feasibility study (studi kelayakan) dan amdal (analisis mengenai dampak lingkungan) lagi proses. Semoga tahun ini bisa konstruksi, tapi harus menyelesaikan FS dan amdal,” kata Amran Amir, staf humas PT Citra Palu Mineral.
Menurut CPM, mereka selama ini terkendala kehadiran penambang ilegal. “Baik yang dikelola masyarakat maupun perusahaan.”
Lingkungan menjadi isu yang menghantui eksplorasi CPM. Solusinya, CPM mengaku akan melakukan eksploitasi di luar kawasan konservasi Taman Hutan Rakyat (Tahura) Poboya.
Penambang berbincang di pertambangan Poboya, Palu (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Ghoffur, warga setempat, tak terima jika masyarakat --yang disebut pemerintah dengan istilah penambang emas tanpa izin (peti) atau penambang liar-- selalu menjadi pihak yang disalahkan dalam kasus Poboya.
“Kami di sini, semua elemen masyarakat lintas suku dan provinsi, bersatu. Kami semata-mata untuk kekenyangan perut. Tidak seperti penambangan milik perusahaan. Itu nepotisme,” kata Ghoffur yang jadi semacam mandor di Poboya.
ADVERTISEMENT
“Saya asli Poboya. Tidak ada sama sekali maksud kami merusak lingkungan. Toh, emas kan digunakan untuk kesejahteraan. Ada di Undang-Undang Dasar kan,” kata dia, duduk dengan tubuh bersimbah peluh dan pakaian kotor penuh batu.
Ariesthal, Ketua Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulawesi Tenggara, menekankan pentingnya penyelesaian masalah sebelum melangkah menuju penambangan yang akan dilakukan CPM sebagai perusahaan pemegang kontrak karya.
“Ada dugaan perusakan lingkungan oleh perusahaan. Semuanya harus diusut terlebih dahulu,” ujar pria yang sering dipanggil Ethal itu.
Ia memandang penegakan hukum atas kasus tambang bermerkuri di Poboya juga belum tajam. “Penertiban oleh kepolisian masih belum menunjukkan kekuatan. Buktinya masih ada praktik penambangan sampai sekarang.” (Baca: Siapa di Balik Tambang Emas Merkuri Poboya?)
ADVERTISEMENT
Ethal khawatir, perusahaan yang beroperasi di Poboya kelak akan kembali melakukan pencemaran. (Baca Merkuri: Bom Waktu Tambang Emas Nusantara)
“Jika tidak ada efek jera terhadap para pelaku perusakan lingkungan, bisa saja semua terulang kembali,” kata Ethal.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Palu, Musliman menuturkan hal senada. Penghijauan harus diselesaikan terlebih dahulu untuk meminimalisasi dampak, sebelum perusahaan melakukan eksploitasi.
Penambang di lokasi tambang emas Poboya, Palu (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Memindahkan para penambang berjumlah ribuan bukan perkara mudah. Banyak orang terlanjur menggantungkan hidup mereka sebagai penambang emas di Poboya.
Salah satu skema yang dipakai adalah hutan sosial. Masyarakat akan dipindahkan ke area hutan produktif agar bisa melanjutkan penghidupan mereka yang layak.
Dinas Kehutanan Palu mendorong adanya perhutanan sosial sebagai imbal balik kepada masyarakat yang diharuskan berhenti menjalankan kegiatan penambangan.
ADVERTISEMENT
“Harus dipikirkan juga masalah skema perhutanan sosial. Jadi mereka diberi juga alternatif pilihan pekerjaan untuk bisa menghidupi keluarga ketika ada penertiban,” ujar Kepala Dinas Kehutana Kota Palu, Nahardi.
Pengamat kebijakan publik Agus Pambagyo sepakat perhutanan rakyat bisa menjadi solusi.
“Hutan sosial tidak boleh dijual, tapi bisa digunakan untuk ekonomi. Itu jalan paling bijak untuk segera dilakukan,” ujar Agus Pambagyo kepada kumparan, Minggu (19/3).
Menurut Agus, kerusakan di Poboya sudah terlanjur menyeramkan. Pembiaran akan membawa masyarakat ke jurang nestapa. Hal berat lainnya adalah mengembalikan kualitas tanah. “Banyak biaya yang harus dikeluarkan untuk tanah yang terlanjur rusak,” ujarnya. (Baca: Kota Palu dalam Cengkeraman Merkuri)
Imbauan Presiden untuk menghentikan penggunaan merkuri dalam pertambangan saja tak cukup. Imbauan itu perlu ditindaklanjuti dengan kebijakan konkrit dan implementasi tegas di lapangan.
ADVERTISEMENT
Aktivitas penambang di pertambangan Poboya, Palu (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)