Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Eks Menteri Kesehatan, Siti Fadilah Supari, menjadi sorotan usai wawancaranya dengan Deddy Corbuzier. Sebab, wawancara dilakukan ketika Siti Fadilah sedang dirawat di RSPAD. Siti Fadilah tercatat berstatus terpidana kasus korupsi.
ADVERTISEMENT
Kementerian Hukum dan HAM menegaskan wawancara yang dilakukan Deddy Corbuzier tak berizin. Menurut Kemenkumham, ada aturan yang harus dipatuhi untuk bisa mewawancarai narapidana.
Terkait Siti Fadilah, ia sudah kembali ditahan di Rutan Pondok Bambu setelah dokter menyatakan kondisinya sudah sehat kembali. Ia harus menjalani sisa hukuman dari 4 tahun penjara yang dijatuhkan hakim.
Munculnya sosok Siti Fadilah sekaligus membuat kasusnya menjadi pembahasan kembali di ranah publik. Lantas seperti apa korupsi yang dilakukan Siti Fadilah? Berikut ringkasannya.
Siti Fadilah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 2014 dan disidang pada awal Februari 2017. Ia dijerat dua dakwaan berbeda oleh KPK yang kemudian dinyatakan terbukti oleh hakim.
Mengutip situs Mahkamah Agung, Pengadilan Tipikor Jakarta menyatakan Siti Fadilah terbukti sebagaimana dakwaan pertama alternatif keempat serta dakwaan kedua alternatif ketiga.
ADVERTISEMENT
Dakwaan Pertama
Dalam dakwaan pertama, Siti Fadilah didakwa mengarahkan Penunjukan Langsung terhadap PT Indofarma sebagai penyedia barang dan jasa dalam Pengadaan Alat Kesehatan (Alkes) guna mengantisipasi Kejadian Luar Biasa (KLB) Tahun 2005 pada Pusat Penanggulangan Masalah Kesehatan (PPMK) Depkes RI.
Ia disebut menerbitkan surat rekomendasi untuk dilakukan Penunjukan Langsung dan meminta Mulya A. Hasjmy melakukan Penunjukan Langsung terhadap PT Indofarma.
"Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yaitu Terdakwa dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatannya selaku Menkes RI dan selaku Pengguna Anggaran dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di lingkungan Depkes RI," bunyi dakwaan pertama alternatif keempat.
Berawal pada sekira bulan September 2005, Siti Fadilah beberapa kali bertemu dengan Ary Gunawan selaku Direktur Utama PT Indofarma Global Medika dan Nuki Syahrun selaku Ketua Soetrisno Bachir Foundation (SBF). Nuki merupakan adik ipar Ketua Umum PAN saat itu, Soetrisno Bachir.
Pertemuan diduga membahas keikutsertaan PT Indofarma dalam pengadaan Alkes dalam rangka penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana atau istilahnya 'buffer stock'. Sebab setelah pertemuan-pertemuan dengan Siti Fadilah, Ary dan Nuki menemui Mulya A. Hasjmy. Mereka menyampaikan kepada Mulya bahwa PT Indofarma yang akan melakukan pengadaan alkes itu berdasarkan hasil pertemuan dengan Siti Fadilah.
ADVERTISEMENT
Mulya sempat mengonfirmasinya kepada Siti Fadilah. Siti Fadilah pun membenarkannya dengan mengatakan, 'Ya Mul, PT Indofarma tolong dibantu, apalagi kamu lihat sendiri Nuki adalah adik petinggi PAN, sama juga kita bantu PAN kamu ajukan permohonan PL-nya kepada saya'.
Mulya kemudian menyiapkan surat permohonan Penunjukan Langsung (PL). Sempat ada catatan dari Syafei Umar selaku Inspektur I Itjen Departemen Kesehatan (sekarang Kementerian Kesehatan). Catatan itu berisi pendapat Syafei Umar yang menyebut pengadaan untuk buffer stock bukan merupakan keadaan darurat. Sehingga apabila pengadaannya tidak melalui lelang, akan menjadi masalah di kemudian hari.
Namun surat permohonan Penunjukan Langsung itu tetap diteken Siti Fadilah. PT Indofarma kemudian ditunjuk sebagai rekanan dengan harga penawaran Rp 15.548.280.000 dengan jangka waktu 30 November 2005 hingga 27 Maret 2006. Pengadaan tersebut sempat molor hingga adendum dilakukan.
ADVERTISEMENT
PT Indofarma mendapat pembayaran lunas Rp 15.548.280.000 dengan dipotong pajak penghasilan dan PPN sebesar 1.625.502.000. Sehingga yang didapat Rp 13.922.778.
PT Indofarma kemudian menyerahkan pembayaran kepada PT Mitra Medidua sebesar Rp 13.558.099 selaku penyedia 21 jenis alkes. Padahal, PT Mitra Medidua membeli alkes itu hanya seharga Rp 7.774.140.000 dari PT Bhineka Usada Raya.
Uang yang diterima PT Mitra Medidua pun kemudian dikirim lagi ke rekening Yurida Adlani selaku Sekretaris Soetrisno Bachir Foundation. Nuki selaku Ketua Soetrisno Bachir Foundation memerintahkan Yurida memindahbukukan sebagian dana kepada beberapa rekening. Yakni rekening pengurus DPP PAN, Nuki Syahrun, dan Tia Nastiti (anak Siti Fadilah).
Dalam bagian pertimbangan hakim, dijelaskan mengenai aliran uang itu, yakni:
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Tindakan Siti Fadilah bersama sejumlah pihak lain itu disebut sudah menguntungkan PT Biofarma sebesar Rp 364.678.940 serta PT Mitra Medidua sebesar Rp 5.783.959.060. Sehingga, total kerugian yang dialami negara ialah Rp 6.148.638.000.
Terkait kasus ini, Mulya A.Hasjmy juga sudah dijerat. Ia dihukum penjara selama 2 tahun 8 bulan.
Sementara terkait aliran uang, Amien mengakuinya. Kendati demikian, Amien mengaku pada saat menerima uang, ia sudah tidak lagi menjabat sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat. Amien menyebut saat itu Soetrisno mengatakan uang tersebut sebagai bantuan untuk biaya operasional sehari-hari.
Sementara Soetrisno menjelaskan bahwa SBF bukan merupakan yayasan, dan hanya wadah yang digunakannya bila melakukan kegiatan sosial. Ia menyebut sejumlah uang kepada Amien dari rekening Yurida merupakan uangnya. Soetrisno mengaku sudah lama membantu Amien.
ADVERTISEMENT
Ia membantah uang-uang tersebut terkait dengan proyek alkes di Departemen Kesehatan. Menurut Soetrisno, hubungan antara SBF dengan PT Mitra Medidua hanya sebatas adanya pinjam-meminjam uang sebesar Rp 750 juta, tidak terkait aliran dana dari proyek alkes.
"Bahwa mengenai uang yang ditransfer kepada Soetrisno Bachir dan Amien Rais tersebut tidak dapat dipastikan uang tersebut berasal dari proyek alkes atau bukan, sehingga majelis tidak akan mempertimbangkan lebih lanjut, karena tidak relevan dengan perkara terdakwa Siti Fadilah Supari," bunyi pertimbangan hakim.
Dakwaan Kedua
Dalam dakwaan kedua, Siti Fadilah didakwa menerima suap sebesar Rp 1,875 miliar. Suap itu dalam bentuk Mandiri Traveller Cheque (MTC) sebanyak 81 lembar.
Pemberinya ialah Sri Wahyuningsih selaku Direktur Keuangan PT Grahah Ismaya dan Rustam Syarifudin Pakaya yang diperoleh dari Masrizal Achmad Syarif selaku Direktur Utama PT Graha Ismaya.
ADVERTISEMENT
Rinciannya ialah:
(1). Sebanyak 20 lembar MTC senilai Rp 500 juta dari Sri Wahyuningsih selaku Direktur Keuangan PT Graha Ismaya
(2). Sebanyak 61 lembar MTC dari Rustam Syarifudin Pakaya yang diperoleh dari Masrizal Achmad Syarif selaku Direktur Utama PT Graha Ismaya. Yakni:
Tujuannya, agar Siti Fadilah menyetujui penganggaran kegiatan pengadaan Alkes I serta memperbolehkan PT Graha Ismaya sebagai penyedia pengadaan Alkes I. "Atau menurut pikiran Sri Wahyuningsih dan Rustam Syarifudin Pakaya pemberian MTC tersebut ada hubungan dengan jabatan Terdakwa selaku Menkes RI," bunyi dakwaan kedua alternatif ketiga.
Rustam ialah Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) yang kemudian mengangkat diri sendiri sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di Depkes (sekarang Kemenkes).
ADVERTISEMENT
Berawal sekira akhir Tahun 2006, Masrizal bertemu dengan Siti Fadilah menanyakan black list dari Depkes terhadap perusahaannya, PT Graha Ismaya. Menurut dia, hal itu membuat PT Graha Ismaya tak bisa ikut lelang. Ia pun meminta Siti Fadilah mencabut status itu.
Pada akhir Januari 2007, Siti Fadilah memerintahkan Rustam mengajukan usulan revisi DIPA 2007 untuk memasukkan pengadaan alat kesehatan medis dan non medis untuk 9 regional, pulau kecil terluar, dan penanggulangan bencana satu paket. Hal itu sebagai dukungan dalam penanggulangan wabah flu burung. Dalam revisi terakhir pada 22 Oktober 2007, anggarannya tercatat Rp 139.175.000. Nama programnya ialah Pengadaan Alat Kesehatan Medis dan Non Medis untuk penanggulangan bencana DIPA TA 2007.
Saat revisi itu, Masrizal dan Sri Wahyuningsih bertemu dengan Rustam agar PT Graha Ismaya bisa jadi rekanan penyuplai alkes. Pada November 2007, PT Indofarma Global Medika yang didukung PT Graha Ismaya ditetapkan sebagai pemenang lelang pengadaan Alkes tahap I oleh Rustam. Nilainya proyeknya Rp 38.806.962.400.
ADVERTISEMENT
Atas pelaksanaan pengadaan Alkes I tersebut PT Indofarma Global Medika memperoleh keuntungan sebesar Rp 1.763.952.767. Sedangkan PT Graha Ismaya mendapat keuntungan sebesar Rp 15.226.827.007.
Dalam dakwaan, disebutkan pemberian 20 lembar MTC dari Sri Wahyuningsih kepada Siti Fadilah sebelum Idul Fitri 2007.
Sementara 61 lembar MTC sisanya diberikan Rustam. MTC itu didapat Rustam setelah ia meminta uang sebagai imbalan atas perannya mengarahkan proses pengadaan Alkes I. Untuk Rustam, ia mendapat 100 lembar senilai Rp 2.470.000.000 dari Masrizal.
Masih dalam dakwaan, MTC yang didapat Siti Fadilah digunakan untuk sejumlah hal. Salah satunya, membayar penjualan buku 'Saatnya Dunia Berubah (Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung)' di mana narasumber utama di buku itu ialah Siti Fadilah.
ADVERTISEMENT
Pengarang buku itu, Cardiyan Hendriana Imik Suparmo menjual buku sebanyak 400 eksemplar kepada rombongan Siti Fadilah yang sedang melakukan kunjungan kerja ke Yogya, Semarang, dan Solo. Siti Fadilah memberikan 1 lembar MTC senilai Rp 25 juta kepada Rosdiyah Endang Pudjiastuti untuk membayarnya. Rosdiyah tak lain ialah adik Siti Fadilah.
Siti Fadilah Tak Banding, tapi Kemudian Ajukan PK
Pengadilan Tipikor Jakarta menyatakan Siti Fadilah bersalah atas dua dakwaan itu. Pengadilan pun menjatuhkan hukuman 4 tahun penjara serta denda Rp 200 juta.
Selain itu, ia juga dihukum membayar uang pengganti sebesar Rp 1,9 miliar atau sebanyak yang diterimanya dalam bentuk MTC. Hakim menyebut Siti Fadilah sudah menyetor Rp 1.350.000.000. Sehingga, tinggal membayar sisanya.
Dalam vonisnya, hakim menyebut bahwa Siti Fadilah berjasa dalam mengatasi wabah flu burung. Hal itu menjadi salah satu faktor meringankan hukuman. Namun, salah satu hal yang memberatkan karena Siti tidak mengakui perbuatannya.
ADVERTISEMENT
Atas putusan pada 16 Juni 2017 itu, Siti Fadilah menerimanya. Sehingga setelah kasusnya berkekuatan hukum tetap, ia kemudian dieksekusi ke Rutan Pondok Bambu.
Setahun berselang, ia mengajukan PK ke Mahkamah Agung. Namun, hakim pun menolak PK tersebut. Dengan demikian, ia baru bebas pada Oktober 2020.
***
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona )
***
Yuk! bantu donasi atasi dampak corona