Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Aksi demonstrasi di mana-mana. Tujuh tuntutan masyarakat dijawab dengan tudingan aksi ditunggangi hingga tembakan gas air mata. Ancaman untuk pimpinan perguruan tinggi dan kepala daerah yang membiarkan mahasiswanya unjuk rasa tegas diucapkan.
Pada siang hari, Jokowi berjanji jaga demokrasi. Tapi malam-malam, dua aktivis cum jurnalis dibawa polisi. Pada siapa Jokowi berpihak?
***
“Saya ingin menegaskan kembali komitmen saya pada kehidupan demokrasi di Indonesia.”
Ucapan tersebut disampaikan Presiden Joko Widodo ketika menemui 42 tokoh baik itu cendekiawan, sastrawan, budayawan, agamawan, hingga ahli hukum di Istana Merdeka, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Kamis siang, 26 September 2019.
Setelahnya para tokoh undangan giliran berbicara. Sastrawan Goenawan Mohamad mengawali dialog dengan mengatakan bahwa Presiden tidak memiliki fraksi di DPR. “Tapi yakinlah, rakyat adalah fraksi kesebelas Presiden jika Presiden bersama rakyat mendukung penguatan KPK,” ucap Goenawan seperti dituturkan Feri Amsari, ahli hukum dari Universitas Andalas.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Machfud Md pun melanjutkan cerita. Ia memberikan opsi prosedur konstitusional yang bisa dilakukan Jokowi terkait revisi UU KPK yang telah diketok oleh DPR RI pada 17 September dan kini menjadi salah satu sumber keributan aksi massa . Opsi yang ditawarkan berupa legislative review hingga penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) terkait UU KPK tersebut.
Pembicaraan pun mengalir ke ahli hukum lain seperti Bivitri Susanti, mantan pimpinan KPK Erry Riyana Hardjapamekas, kemudian cendekiawan muslim Azyumardi Azra, hingga terakhir ditutup oleh Feri Amsari sebagai tokoh termuda yang diundang datang.
“Benar (Jokowi) banyak mendengar. Merespons sekali waktu, lalu mendengar lagi, respons sedikit, mendengar lagi, lalu makan bakso bareng hahaha… kemudian diskusi lagi,” ucap Feri.
Setelah diskusi bersama puluhan tokoh selama dua jam lebih, Jokowi menyatakan kepada publik akan mempertimbangkan untuk mengeluarkan perppu KPK. “Banyak sekali masukan yang diberikan ke kita, utamanya memang masukan itu berupa penerbitan perppu. Tentu saja ini akan segera kita hitung, kalkulasi,” ucap Jokowi.
Pernyataan itu menerbitkan sedikit harapan bagi sebagian masyarakat. Setidaknya, satu dari sejumlah tuntutan yang disuarakan mungkin didengar. Tapi wacana penerbitan perppu justru diprotes oleh orang-orang partai, termasuk dan terutama oleh PDIP.
Sekretaris Fraksi PDIP DPR RI Bambang Wuryanto mengatakan, “Kalau Anda enggak sepakat undang-undang, masuknya itu ke MK, Judicial review di sana. Bukan dengan perppu.” Ia menegaskan bahwa jika Jokowi mengeluarkan perppu artinya tidak menghargai DPR. “Enggak menghormati kita bersama yang sudah membahas, Presiden dengan DPR.”
Maka, bagi Feri, sikap Presiden dalam mengambil keputusan ini jadi sinyal penting. “Apakah Presiden bersama rakyat, teman-teman mahasiswa, publik banyak, atau kemudian berada bersama parpol yang ingin melemahkan KPK. Genting bagi publik mendapatkan sinyal bahwa Presiden betul-betul bersama rakyat banyak,” ucap Feri.
Kurang dari 12 jam setelah Jokowi berulang kali menegaskan komitmennya menjaga demokrasi, aktivis cum jurnalis Dandhy Dwi Laksono ditangkap polisi di rumahnya sekitar pukul 23.05 WIB. Ia dilaporkan oleh seorang polisi bernama Asep Sanusi yang diduga berpangkat bripda di sub direktorat cyber crime Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya. Cuitannya soal kondisi Papua dipersoalkan oleh polisi.
Polisi tak cuma melaporkan lalu menangkap Dandhy, tapi juga menjadi saksi hingga menetapkan pendiri Watchdoc Documentary itu sebagai tersangka. Pasal yang digunakan untuk menjerat jurnalis film dokumenter Sexy Killer itu adalah pasal 14 dan 15 KUHP serta pasal 28 ayat (2) UU ITE tentang ujaran kebencian antar golongan, aturan yang dijuluki sebagai pasal karet nan multitafsir.
Polisi bergerak lincah. Lima jam kemudian, empat orang aparat dari Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya datang menggedor-gedor pintu kos jurnalis sekaligus musisi Ananda Wardhana Badudu pada pukul 04.25 WIB.
Salah seorang polisi bernama Eko menunjukkan kartu dan lencananya. Ia mengatakan Ananda ditangkap atas keterlibatannya dalam aksi demonstrasi dengan cara menginisiasi penggalangan dana melalui platform fundraising Kitabisa dengan tajuk Dukung Aksi Mahasiswa di Gedung DPR 23-24 September.
Tim yang terdiri dari empat orang tersebut kemudian memboyong Ananda ke kantor Reserse Mobile Polda Metro Jaya dengan kendaraan Avanza berwarna putih, Jumat shubuh (27/9). Detik-detik penangkapan itu sempat Ananda unggah lewat instastory di akun Instagram miliknya @anandabadudu. Tapi belum selesai menunjukkan surat perintah penangkapan, polisi memaksa rekaman video disudahi.
Setelah lima jam lebih menjalani pemeriksaan sejak shubuh, Nanda akhirnya dilepas. “Saya salah satu orang yang beruntung punya privilege (hak istimewa) untuk bisa segera dibebaskan, tapi di dalam saya lihat banyak sekali mahasiswa yang diproses tanpa pendampingan, diproses dengan cara-cara tidak etis," ucap Nanda seraya mengusap muka berupaya membendung air mata di halaman Polda Metro Jaya, 27 September.
Donasi yang dikumpulkan Nanda pada dasarnya digunakan untuk menyediakan logistik, ambulan, alat kesehatan, dan mobile sound system dalam demonstrasi pada 24 September 2019 di depan gedung DPR RI.
“Penggalangan dana itu dianggap turut serta melakukan kekerasan di lapangan,” ucap kuasa hukum Ananda Badudu, Charlie Meidino Albajili dari LBH Jakarta, saat bertemu kumparan, di Kantor Aliansi Jurnalis Indonesia.
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono mengatakan Ananda hanya diperiksa sebagai saksi. Pernyataan yang terasa janggal itu membuat banyak pihak bertanya-tanya. Kalau hanya sebagai saksi, mengapa Ananda harus digiring paksa pada dini hari?
Kejanggalan juga terjadi selama proses pemeriksaan, sebab kuasa hukum saat itu tidak diberi kepastian terkait status hukum Ananda Badudu. “Proses yang dilalui Nanda sangat kental kriminalisasinya,” ucap Charlie. “Secara prosedur hukum juga salah. Karena kalau memang dia dipanggil sebagai saksi, sebagaimana diucapkan juru bicara Polda Metro Jaya, dia tidak bisa dipanggil secara paksa.”
Pemanggilan terhadap saksi, sesuai dengan aturan yang berlaku, harus menggunakan surat pemanggilan tiga hari sebelumnya. Jika pihak yang bersangkutan berhalangan datang, maka surat pemanggilan kedua baru diterbitkan. “Kalau tidak dipenuhi dipanggil lagi, baru bisa diambil,” ucap Charlie.
Polisi juga tidak memberikan keterangan pasti terkait siapa pelapor Ananda. “Dugaannya sama seperti Dandhy, laporan tipe A (pelapor adalah polisi). Karena ini statusnya menggantung kemudian.”
Ketidakjelasan proses hukum yang dijalankan kepolisian tak cuma menimpa Nanda. Puluhan mahasiswa yang ditangkap pasca-demonstrasi mengalami nasib lebih ganjil. “Hampir seluruh kasus penangkapan mahasiswa, pengacara sulit sekali mengaksesnya. Padahal akses atas bantuan hukum itu dijamin dalam aturan kita,” kata Charlie.
“Kedua, mereka (polisi) sama sekali tidak memberikan keterbukaan informasi bahkan terhadap keluarga terkait status dari mahasiswa yang ditangkap… Belum lagi dari penanganan dari aksi selama ini menggunakan cara-cara kekerasan,” imbuhnya.
Charlie mengkritik keras bagaimana aparat penegak hukum sendiri tak patuh pada aturan hukum. “Kita ini negara hukum, polisi punya aturan main juga, dia tidak bisa memonopoli hukum itu sendiri.”
Penangkapan Dandhy dan Nanda beserta puluhan mahasiswa dan ratusan pelajar STM justru menjadi ironi. Sebab salah satu tuntutan massa meminta pemerintah untuk menyetop kriminalisasi aktivis dan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. Bukan menambah deret persoalannya jadi kian banyak.
Banyak pihak menduga penangkapan Dandhy dan Nanda serta puluhan mahasiswa adalah satu dari sekian upaya yang diambil untuk menggembosi aksi massa yang tengah menyala-nyala. “Bukan hanya pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi, tapi juga pembungkaman terkait aksi-aksi yang ada di Indonesia,” ucap kuasa hukum Dandhy, Alghiffari Aqsa.
Sependapat dengan Alghiffari, aktivis pendiri lembaga pemantau pemilu dan parlemen Lingkar Madani, Ray Rangkuti menyebut langkah penangkapan aktivis ini merupakan shock theraphy yang gagal. “Alih-alih menimbulkan kekhawatiran tapi yang terjadi adalah menumbuhkan semangat militansi di kalangan aktivis sosial maupun politik,” ucapnya.
Deret upaya pembungkaman lainnya ditunjukan secara vulgar melalui ancaman yang dikeluarkan oleh Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir untuk para rektor dan dosen. Di hari ketika Jokowi berkata agar tak meragukan komitmennya menjaga demokrasi itu, Menteri Nasir berkata, “Kalau dia mengerahkan (mahasiswa) ya dengan sanksi yang kita lakukan.”
Lebih jauh Menteri Nasir meminta seluruh rektor dan dosen untuk memastikan tak ada lagi demonstrasi mahasiswa. Hal serupa dilakukan oleh Mendikbud Muhadjir Effendy yang segera mengeluarkan Surat Edaran Nomor 9 Tahun 2019 meminta seluruh kepala daerah dan sekolah memastikan tak ada siswanya ikut serta unjuk rasa.
Tak cuma dengan penangkapan dan ancaman, peluru tajam yang menewaskan dua orang mahasiswa di Kendari, Sulawesi Tenggara, pada 26 September menjadi buruk wajah pemerintah menangani aksi demonstrasi.
Peluru tersebut menembus dada kanan Immawan Randy (21), kemudian satu peluru lagi bersarang di kepala Muhammad Yusuf Qardawi (19), keduanya merupakan mahasiswa Universitas Halu Oleo. Belum lagi Putri (23) yang tengah hamil 6 bulan menjadi korban salah tembak ketika ia sedang tidur di rumahnya yang berjarak 2 kilometer dari kantor DPRD Sulawesi Tenggara.
Kapolda Sulawesi Tenggara Brigjen Pol Iriyanto menyatakan bahwa belum ada hasil autopsi terkait jenis peluru dan jenis senjata yang digunakan. Ia berkata bahwa pasukannya tak ada yang dibekali peluru tajam maupun peluru karet. “Namun perlu diketahui polisi hanya dibekali senjata dengan peluru hampa, gas air mata, tongkat dan water canon,” ucapnya di Kendari.
“Percayalah dan memberikan waktu kepada kami untuk menyelidiki, mengungkap siapa pelaku yang menyebabkan dua mahasiswa meninggalkan dunia. Dan jika ada anggota kami yang terbukti melakukannya akan diproses hukum melalui peradilan umum," kata Iriyanto sebelum dicopot dari jabatannya.
Keberadaan peluru tajam tersebut jadi puncak eskalasi parade kekerasan yang diduga dilakukan oleh aparat yang seharusnya melindungi masyarakat. Mulai dari intimidasi terhadap terhadap anggota PMI yang bertugas hingga wartawan yang meliput di lapangan, pengeroyokan terhadap demonstran, penggunaan gas air mata yang telah kedaluarsa, hingga temuan selongsong peluru yang masih diusut asal muasalnya.
Bagi Charlie, penanganan unjuk rasa yang dilakukan aparat bukannya meredam aksi massa , meredam kekisruhan, tapi justru malah memperparah kekisruhan.
Direktur Imparsial Al Araf meminta polisi untuk bertindak proporsional dan profesional. “Semua tindakan kekerasan yang terjadi perlu segera ada koreksinya, mulai dari pencopotan pimpinan wilayah dan lainnya seperti yang terjadi di Papua, Kendari, dan lain-lain,” ucapnya saat dihubungi kumparan, Minggu (28/9).
Sementara Jokowi, seperti halnya pada kasus kebakaran hutan dan lahan di tujuh provinsi di Indonesia, kembali balik mengancam polisi. “Sudah sejak awal kemarin, saya ulangi lagi kepada Kapolri, agar jajarannya tidak bertindak represif, dan saya perintahkan juga agar menginvestigasi seluruh jajarannya,” ujarnya.