Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi melantik lima anggota Dewan Pengawas KPK di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (20/12).
ADVERTISEMENT
Jokowi menjamin Dewas KPK yang ia pilih merupakan orang-orang yang kompeten. Meski latar belakang profesi yang berbeda-beda, para anggota Dewas KPK dianggap Jokowi mempunyai kapasitas untuk menempati jabatan itu.
"Sudah saya sampaikan yang kita pilih, Beliau yang pengalaman baik, punya integritas, memiliki kapasitas," kata Jokowi.
Kelima anggota Dewan Pengawas KPK ialah Tumpak Hatorangan Panggabean (mantan Wakil Ketua KPK), Harjono (mantan Hakim MK), Artidjo Alkostar (mantan Hakim Agung), Albertina Ho (Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Kupang), dan Syamsuddin Haris (peneliti senior LIPI).
Jokowi menunjuk Tumpak Panggabean sebagai Ketua Dewas KPK. Tumpak dinilai berpengalaman karena pernah mengabdi di KPK sebelumnya.
"Beliau punya latar belakang pengalaman berkaitan dengan KPK. Saya kira Beliau orang-orang yang bijaksana," ujar dia.
ADVERTISEMENT
Berikut kumparan rangkum profil lima Dewan Pengawas KPK periode 2019-2023:
Tumpak Hatorangan Panggabean ditunjuk Jokowi menjadi Ketua Dewas KPK. Pria kelahiran Sanggau, Kalimantan Barat, pada 29 Juli 1943 ini merupakan lulusan hukum Universitas Tanjungpura, Pontianak.
Usai lulus kuliah, Tumpak langsung mengabdi kepada negara dengan berkarier di Kejaksaan Agung pada 1973.
Jabatannya strategis pertamanya adalah Kajari Pangkalan Bun pada 1991 hingga 1993. Ia juga pernah menjabat Kajati Maluku pada 1999-2000, Kajati Sulawesi Selatan pada 2000-2001, dan Sekretaris JAM Pidsus pada 2001-2003.
Usai pensiun sebagai jaksa pada 2003, Tumpak kemudian diusulkan oleh Jaksa Agung untuk bertugas di KPK. Tumpak menjadi pimpinan KPK periode 2003-2007. Setelah memimpin KPK jilid I, pada 2008 Tumpak diangkat sebagai anggota Dewan Komisaris PT Pos Indonesia (Persero).
Saat gonjang-ganjing pimpinan KPK jilid II, Tumpak dipilih Presiden SBY untuk menduduki posisi Plt pimpinan KPK bersama Waluyo dan Mas Achmad Santosa pada Oktober 2009-Maret 2010.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya pada 3 Juni 2015, Tumpak ditunjuk sebagai Komisaris Utama Pelindo II (Persero). Kini, Tumpak kembali ke KPK sebagai Ketua Dewan Pengawas.
Pernah menjabat sebagai penyelenggara negara, Tumpak tentu harus melaporkan LHKPN. Dalam laporan terakhirnya pada 10 Maret 2019, tercatat Tumpak memiliki harta kekayaan Rp 9.973.035895.
Syamsuddin Haris merupakan pria kelahiran Bima, NTB, pada 9 Oktober 1957 atau kini berusia 62 tahun. Minat Syamsuddin di bidang politik terlihat dari jenjang pendidikannya. Ia merupakan lulusan S1 Ilmu Politik pada FISIP Universitas Nasional Jakarta, S2 Ilmu Politik pada FISIP UI, dan S3 Ilmu Politik pada FISIP UI.
Setelah lulu, Syamsuddin bergabung dengan LIPI menjadi peneliti. Selain sebagai peneliti, Syamsuddin tercatat aktif mengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik pada FISIP Universitas Nasional, dan Program Pascasarjana Komunikasi pada FISIP UI.
ADVERTISEMENT
Saat menjadi peneliti LIPI pada 1985, Syamsuddin fokus pada kajian masalah pemilu, partai politik, parlemen, otonomi daerah, dan demokratisasi di Indonesia.
Selain itu Syamsuddin memiliki pengalaman sebagai Ketua Tim Penyusun Revisi UU Otonomi Daerah versi LIPI (2002-2003), anggota Tim Ahli Revisi UU Otonomi Daerah Depdagri (2003-2004), dan Anggota Tim Ahli Penyusun RPP Partai Lokal Aceh (2006).
Albertina Ho merupakan satu-satunya perempuan yang menjadi Dewas KPK. Perempuan kelahiran Dobo, Maluku Tenggara, pada 1 Januari 1960 ini merupakan anak pertama dari 7 bersaudara.
Selama menempuh pendidikan dari SD hingga SMA, Albertina termasuk siswa yang berprestasi. Ia kemudian melanjutkan kuliah ke Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Setelah meraih gelar sarjana pada tahun 1985, Albertina kemudian mendaftar sebagai calon hakim dan diterima. Albertina pertama kali ditugaskan sebagai calon hakim di Pengadilan Negeri Yogyakarta dalam kurun 1986-1990.
ADVERTISEMENT
Kemudian Albertina pertama kali menjadi hakim di PN Tegal, lalu dimutasi ke PN Temanggung, dan PN Cilacap. Pada 2005-2008, Albertina ditugaskan sebagai Sekretaris Wakil Ketua Mahkamah Agung bidang Yudisial. Selepas itu, Albertina ditempatkan sebagai hakim PN Jaksel.
Nama Albertina mulai mencuat kala menjadi Ketua Majelis Hakim dalam kasus korupsi pajak dengan terdakwa Gayus Tambunan pada 2011.
ADVERTISEMENT
Dalam kasus itu, Albertina menjatuhkan hukuman terhadap Gayus selama 7 tahun penjara. Tak lama setelah menjadi pengadil kasus Gayus, Albertina dimutasi sebagai Wakil Ketua PN Sungai Liat.
Pada 2014, Albertina dipindah sebagai Wakil Ketua PN Palembang. Kemudian ia menjadi Ketua PN Bekasi. Tahun 2016, Albertina mendapat promosi sebagai hakim tinggi di Pengadilan Tinggi Medan.
Sebelum mendapat promosi, tepatnya pada 2015, Albertina sempat diminta Pansel Capim KPK untuk mendaftar sebagai pimpinan KPK periode 2015-2019. Namun ia tak menyambut ajakan tersebut.
ADVERTISEMENT
Tak mendaftar sebagai capim KPK, Albertina lebih memilih ikut seleksi hakim agung pada 2018. Namun ia gugur dalam seleksi uji kompetensi.
Tak lolos sebagai hakim agung, karier Albertina tetap moncer. Pada Oktober 2019, ia dilantik sebagai Wakil Ketua Pengadilan Tinggi (PT) Kupang. Terpilih jadi Dewas membuat Albertina Ho memutuskan melepas jabatannya sebagai Wakil Ketua Pengadilan Tinggi (PT) Kupang.
"Saya mundur dari Wakil Ketua Pengadilan (Tinggi) Kupang. Karena saya harus melepaskan jabatan struktural saya kan," kata Albertina.
Namun Albertina tidak mundur dari jabatannya sebagai hakim. Menurutnya, Pasal 37D huruf j UU KPK hanya memberi syarat Dewas harus mundur dari jabatan struktural.
Artidjo merupakan lulusan FH Universitas Islam Indonesia tahun 1976. Selepas lulus kuliah, Artidjo malang melintang menjadi pengacara publik di LBH Yogyakarta. Pada 1983 sampai 1989, Artidjo menjadi orang nomor satu di sana.
ADVERTISEMENT
Usai di LBH Yogyakarta, Artidjo berada di New York antara 1989 tahun 1991 untuk mengikuti pelatihan pengacara HAM di Columbia University selama 6 bulan. Saat yang bersamaan, ia juga bekerja di Human Right Watch divisi Asia di New York selama 2 tahun.
Pulang dari Amerika, Artidjo mendirikan kantor hukumnya bernama Artidjo Alkostar and Associates sampai 2000.
Namun, ia harus menutup kantor pengacaranya lantaran terpilih sebagai hakim agung. Ada cerita menarik sebelum Artidjo menjadi hakim agung. Artidjo sempat menolak ketika ditawari Yusril Ihza Mahendra yang saat itu menjabat Menteri Kehakiman dan HAM, untuk menjadi calon hakim agung. Sebab menurutnya dunia peradilan hitam, banyak suap-menyuap.
Tapi Yusril meyakinkan Artidjo dicalonkan banyak orang berpengaruh di Jakarta. Artidjo kemudian menyatakan akan mempertimbangkan terlebih dahulu. Artidjo ragu karena dalam agama Islam, tugas hakim berat.
Sebelum ikut seleksi calon hakim agung, Artidjo terlebih dahulu berkonsultasi dengan Kiainya dari Madura. Kiai tersebut menyarankan agar Artidjo mengikuti seleksi. Akhirnya, Artidjo bersedia dan kemudian mengikuti fit and proper test sampai kemudian terpilih menjadi hakim agung.
ADVERTISEMENT
Nama Artidjo pun dikenal ketika ia tak pandang bulu saat mengadili kasus korupsi. Menjabat hakim agung sejak tahun 2000, Artidjo pensiun pada Juni 2018.
Selama karirnya, sebanyak 19.708 berkas perkara yang ia tangan. Bila dirata-rata, dalam setahun ia menyelesaikan 1.095 perkara.
Beberapa kasus besar yang pernah ia tangani seperti dengan tangan dinginnya seperti memperberat hukuman Anas Urbaningrum dalam korupsi wisma atlet dari 7 tahun menjadi 14 tahun. Selain itu, hukuman Angelina Sondakh dari 4 tahun menjadi 12 tahun.
Sebagai penyelenggara negara, Artidjo juga wajib melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Tercatat ia terakhir melaporkan pada 29 Maret 2018. Saat itu, ia melapor sebagai Ketua Kamar Pidana MA.
Harjono merupakan lulusan S1 FH Universitas Airlangga pada 1977, Master of Comparative Law, School of Law Southern Methodist University, AS, pada 1981, dan Doktor Ilmu Hukum Universitas Airlangga pada 1994
ADVERTISEMENT
Sebelum berkecimpung di dunia hukum, Harjono sempat merasakan kerasnya politik saat ikut Pemilu tahun 1999. Saat itu Harjono terpilih sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dari Dapil Jawa Timur.
Saat menjabat di MPR, Harjono terlibat dalam empat tahap perubahan UUD 1945. Salah satu yang fundamental ialah merumuskan Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 yang menghapus superioritas MPR sebagai lembaga tertinggi negara:
Selepas sebagai anggota MPR, nama Harjono mulai mencuat ketika menjadi hakim Mahkamah Konstitusi (MK) periode pertama dari 2003-2008. Ia kemudian terpilih lagi untuk periode 2008-2013.
Usai purnatugas sebagai hakim MK, Harjono lebih banyak ditugaskan sebagai panitia seleksi calon pejabat negara, salah satunya Pansel Hakim MK.
Pada 2017, Harjono bersama 6 anggota yang lain dilantik Jokowi sebagai anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP). Harjono pun didapuk sebagai Ketua DKPP periode 2017-2022.
ADVERTISEMENT
Namun belum sampai habis masa jabatan, Harjono ditunjuk Jokowi sebagai salah satu anggota Dewas KPK.