Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
ADVERTISEMENT
Hari ini, 29 Oktober, tepat satu tahun yang lalu, masyarakat dikejutkan dengan kabar pesawat Lion Air PK-LQP dengan nomor penerbangan JT-610 rute Jakarta-Pangkal Pinang hilang kontak di perairan Karawang, Jawa Barat.
ADVERTISEMENT
Pesawat yang diterbangkan pilot Bhavye Suneja dan kopilot Harvino dikabarkan hilang kontak pukul 06.33 WIB setelah 13 menit mengudara. Padahal, semestinya pesawat tiba di Bandara Depati Amir sekitar pukul 07.20 WIB.
Sontak, seluruh instansi terkait langsung menuju titik lokasi terakhir pesawat melakukan kontak dengan Air Traffic Control (ATC) Bandara Soekarno-Hatta.
Selama beberapa jam pencarian, anggota Basarnas, TNI, Polri, yang juga dibantu warga sekitar mulai menemukan puing-puing pesawat di tengah lautan. Tak hanya puing pesawat, satu per satu jenazah juga mulai ditemukan. Pesawat Lion Air dinyatakan jatuh.
Pesawat komersial itu membawa total 188 orang, yang terdiri dari 178 penumpang dewasa, 1 penumpang anak, 2 bayi, 2 pilot, dan 5 kru. Seluruhnya dinyatakan meninggal dunia.
ADVERTISEMENT
"Tim Basarnas telah menemukan puing, pelampung, ponsel, dan potongan tubuh," kata Kepala Basarnas saat itu, M. Syaugi.
Seluruh puing dan jenazah korban dibawa ke posko di Karawang, lalu dipindahkan ke JICT Tanjung Priok. Sementara seluruh jasad korban diidentifikasi di RS Polri, setelah mengumpulkan data-data DNA dari pihak keluarga.
Dalam pesawat itu, terdapat juga 21 pegawai Kementerian Keuangan, pegawai Kementerian ESDM, hingga dua WNA yang masing-masing berasal dari Italia dan India.
Tim forensik RS Polri bekerja keras mengidentifikasi jenazah yang hampir beberapa jam sekali tiba. Kesulitan pun ditemui, seperti kondisi tubuh yang tidak utuh hingga sulit mengidentifikasi bagian sidik jari yang sudah rusak karena air laut.
Setelah sebulan lamanya, pada 23 November 2018, proses pencarian dan identifikasi jenazah korban Lion Air resmi dihentikan. Total 195 kantong jenazah dibawa ke RS Polri dan seluruhnya telah diidentifikasi. Meski, hingga proses dihentikan, masih ada 64 korban yang belum teridentifikasi.
ADVERTISEMENT
"Telah teridentifikasi 125 penumpang. Dengan rincian laki-laki 89 orang, perempuan 26 orang," kata Kapusdokkes Polri Brigjen Pol Arthur di RS Polri Kramat Jati, Jakarta Timur, Jumat (23/11).
Proses Pencarian dan Kejanggalan
Selain korban, tim SAR gabungan juga fokus mencari kotak hitam (black box) Lion Air yang berisi data penerbangan pesawat dan percakapan kokpit.
Pencariannya juga tak mudah. Tim mengalami kesulitan karena Emergency Locator Transmitter (ELT) yang secara otomatis dipancarkan black box tak terdeteksi. Sinyal itu tak terdengar baik dari Flight Data Recorder (FDR) maupun Cockpit Voice Recorder (CVR), keduanya komponen kotak hitam.
Selang 3 hari kemudian, Kamis (1/11/2018), tim penyelam Taifib Marinir TNI AL akhirnya berhasil menemukan satu bagian black box dari kedalaman 30 meter, yakni bagian flight data recorder (FDR).
ADVERTISEMENT
Pencarian satu bagian lainnya yakni cockpit voice recorder (CVR) juga tidaklah mudah. Seorang anggota TNI AL menemukan di CVR di kedalaman 38 meter pada 14 Januari 2019. CVR ditemukan dalam kondisi utuh, yang lalu keduanya dibawa KNKT untuk diunduh dan diidentifikasi.
ADVERTISEMENT
Sebelum pesawat jatuh, pesawat Lion Air PK-LQP rupanya telah bermasalah dalam beberapa penerbangan sebelumnya. Yakni penerbangan rute Denpasar-Jakarta pada Minggu (28/10/2018).
Namun, pihak maskapai tetap mengoperasikan karena pesawat telah dilakukan pengecekan dan permasalahan telah dibenahi.
"Jadi sampai dengan posisi kemarin pesawat ini sebelum terbang dinyatakan layak terbang oleh engineer yang diberi wewenang untuk merilisi pesawat itu," ujar Presiden Direktur Lion Air Edward beberapa jam setelah kejadian.
Tak hanya itu, Boeing 737 Max yang digunakan Lion Air merupakan pesawat baru. Bahkan, KNKT mencatat pesawat itu baru memiliki 800 jam terbang.
ADVERTISEMENT
Pilot pesawat Kapten Bhavye Suneja asal New Delhi, India, juga memiliki 6.000 jam terbang. Cuaca di lokasi juga terbilang cerah.
Hasil Investigasi KNKT
Setelah setahun lamanya, KNKT merilis hasil investigasi mereka terhadap jatuhnya pesawat Lion Air pada Jumat (25/10) lalu. Setidaknya, ada sembilan faktor yang menyebabkan terjadinya kecelakaan, mulai dari desain pesawat, mekanik, dan kurangnya dokumentasi tentang sistem pesawat yang berpengaruh kepada pilot dalam mengambil keputusan.
Kepala Sub Komite Investigasi Keselamatan Penerbangan KNKT, Kapten Nurcahyo Utomo, menyampaikan terdapat kerusakan pada bagian Manuvering Characteristics Augmentation System (MCAS) pesawat.
Minimnya informasi yang seharusnya disampaikan Boeing ini membuat pilot kesulitan mengatasi kerusakan MCAS di dalam pesawat. Ini menyebabkan awak panik dan salah mengambil langkah.
"Pertama, saat desain dan sertifikasi dibuat berbagai asumsi terkait reaksi pilot terhadap kerusakan MCAS, asumsi ini sudah dibuat berdasarkan ketentuan berlaku, namun demikian ada beberapa hal yang tidak sesuai jadi asumsinya pilot akan bereaksi dengan memberikan trim yang cukup, tetapi ternyata itu tidak terjadi," kata Nurcahyo saat konferensi pers di Kantor KNKT, Gambir, Jakarta, Jumat (25/10).
ADVERTISEMENT
Hasil investigasi mengungkap pihak Boeing hanya mengandalkan satu sistem sensor MCAS pada pesawat. Bila sensor rusak, tidak ada sistem lain yang mem-back up.
Berikut 9 faktor lengkap yang berkontribusi dalam jatuhnya lion air:
1. Asumsi terkait reaksi pilot yang dibuat pada saat proses desain dan sertifikasi pesawat Boeing 737-8 (MAX), meskipun sesuai dengan referensi yang ada ternyata tidak tepat.
2. Mengacu asumsi yang telah dibuat atas reaksi pilot dan kurang lengkapnya kajian terkait efek-efek yang dapat terjadi di cockpit, sensor tunggal yang diandalkan untuk MCAS dianggap cukup dan memenuhi ketentuan sertifikasi.
3. Desain MCAS yang mengandalkan satu sensor rentan terhadap kesalahan.
4. Pilot mengalami kesulitan melakukan respon yang tepat terhadap pergerakan MCAS yang tidak seharusnya karena tidak ada petunjuk dalam buku panduan dan pelatihan.
ADVERTISEMENT
5. Indikator AOA DISAGREE tidak tersedia di pesawat Boeing 737-8 (MAX) PK-LQP, berakibat informasi ini tidak muncul pada saat penerbangan dengan penunjukan sudut AOA yang berbeda antara kiri dan kanan, sehingga perbedaan ini tidak dapat dicatatkan oleh pilot dan teknisi tidak dapat mengidentifikasi kerusakan AOA sensor.
6. AOA sensor pengganti mengalami kesalahan kalibrasi yang tidak terdeteksi pada saat perbaikan sebelumnya.
7. Investigasi tidak dapat menentukan pengujian AOA sensor setelah terpasang pada pesawat yang mengalami kecelakaan dilakukan dengan benar, sehingga kesalahan kalibrasi tidak terdeteksi.
8. Informasi mengenai stick shaker dan penggunaan prosedur non-normal Runaway Stabilizer pada penerbangan sebelumnya tidak tercatat pada buku catatan penerbangan dan perawatan pesawat mengakibatkan baik pilot maupun teknisi tidak dapat mengambil tindakan yang tepat.
ADVERTISEMENT
9. Beberapa peringatan, berulangnya aktivasi MCAS dan padatnya komunikasi dengan ATC tidak terkelola dengan efektif. Hal ini diakibatkan oleh situasi-kondisi yang sulit dan kemampuan mengendalikan pesawat, pelaksanaan prosedur non-normal, dan komunikasi antar pilot, berdampak pada ketidakefektifan koordinasi antar pilot dan pengelolaan beban kerja. Kondisi ini telah teridentifikasi pada saat pelatihan dan muncul kembali pada penerbangan ini.