Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Menghalau Kutukan Lembaga Terkorup di Parlemen
10 September 2018 10:14 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
ADVERTISEMENT
Terkuaknya aliran dana suap pembahasan APBD-Perubahan Kota Malang membuat Satyani, warga Malang, geram. Dana itu mengalir kepada 41 dari 45 anggota DPR Kota Malang. Korupsi berjamaah membuat kepercayaannya pada politisi lenyap.
ADVERTISEMENT
“Paling sopo ae sing dipilih yo koyo ngono (Paling siapapun yang dipilih ya seperti itu),” keluhnya, Minggu (9/9).
Satyani sebenarnya tak peduli dengan urusan politik di kotanya. Ia bahkan tak ingat, siapa yang dipilihnya menjadi anggota DPRD Kota Malang pada Pemilu 2014 lalu. Namun kabar korupsi ini membuatnya berang, kotanya nyaris lumpuh karena korupsi berjamaah ini.
Terkuaknya kasus ini bermula saat KPK mulai menetapkan Ketua DPRD Moch. Arief Wicaksono sebagai tersangka pada tahun 2017 lalu. Ia meminta jatah Rp 700 juta lalu membagikan uang itu kepada legislator lain.
KPK pun menelusuri aliran dana secara bertahap. Pada 21 Maret 2018 lembaga rasuah itu menetapkan tersangka baru yaitu Wali Kota Malang Mochamad Anton dan 18 anggota DPRD. Pada 3 September 2018, KPK menetapkan 22 anggota lainnya sebagai tersangka. Penyidikan kasus ini hanya menyisakan empat anggota dewan Kota Malang.
Malang bukan satu-satunya kota yang mengalami korupsi berjamaah legislator. Dugaan korupsi bantuan sosial (bansos) mantan Gubernur Sumatera Utara Gatot Puji Nugroho juga berujung suap kepada DPRD Sumut. Gatot membungkam hak interpelasi dengan menebar uang kepada 38 anggota DPRD Sumut.
ADVERTISEMENT
Provinsi Jambi nyaris mengalami hal serupa. Saksi sidang kasus suap dan gratifikasi Gubernur Jambi nonaktif, Zumi Zola, menyebutkan uang mengalir dari gubernur itu kepada 53 anggota DPRD Jambi sebagai uang ketok palu. KPK masih mendalami aliran dana ini.
Korupsi berjamaah membuat jumlah koruptor dari anggota dewan kian membengkak. Data yang dihimpun Transparency International Indonesia (TII) dalam rentang 2004 sampai 2013 terdapat 74 anggota DPR RI, 2545 anggota DPRD Provinsi, dan 431 anggota DPRD Kabupaten/Kota, terjerat kasus korupsi. Angka ini sebenarnya menunjukkan legislator korup, hanya 6,1 persen dari total 18.275 anggota DPRD se-Indonesia.
Tetapi, legislator mengemban harapan publik lebih besar dibanding aktor lainnya seperti eksekutif dan pengusaha yang juga sama-sama sering terjerat kasus korupsi. Korupsi merupakan aksi pengkhianatan terhadap mandat sekaligus harapan. Makanya korupsi legislatif membuat masyarakat berang, apalagi mereka dipilih secara langsung.
ADVERTISEMENT
Survei Global Corruption Barometer 2017 menyebutkan dua lembaga legislatif menempati tiga besar lembaga terkorup. Pertama DPR RI yang dipersepsikan 54 persen responden sebagai lembaga paling korup, kedua birokrasi (50 persen), dan ketiga DPRD (47 Persen).
“Elected officials ini benar-benar diharapkan oleh publik menjadi garda terdepan dalam pengawasan pembangunan dan kebijakan-kebijakan yang ada. Jadi ketika mereka melakukan korupsi, ekspektasi langsung runtuh,” kata Pemeliti TII, Wawan Suyatmiko.
Data KPK menyebutkan pelaku korupsi dari parlemen mencapai 205 dari 856 koruptor terhitung dari tahun 2004 hingga 2018. Sebanyak 123 anggota dewan yang korup, atau 60 persennya, ditangkap dalam kurun tahun 2014 sampai 2018,
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang membenarkan jika korupsi politik di lingkungan legislator menjadi masalah serius dalam pemberantasan korupsi. Legislatif menurut UU MD3 memiliki tiga fungsi yaitu legislasi, anggaran, dan pengawasan.
ADVERTISEMENT
Kombinasi ketiganya membuat mereka memiliki ruang amat strategis dalam penyusunan anggaran, termasuk detail pos-pos yang ada di dalamnya. “Hak-hak budget itu yang banyak kerawanannya,” ucap Saut kepada kumparan di Gedung Merah Putih KPK.
Penyalahgunaan wewenang yang paling kentara seperti kasus korupsi e-KTP dengan tersangka mantan Ketua DPR RI Setya Novanto. Wewenang sebagai anggota dewan ia gunakan untuk mengatur konsorsium pemenang tender proyek pengadaan KTP elektronik. Bahkan, Novanto mampu mengatur konsorsium ketika proyek belum berjalan.
Sedangkan kasus suap dan korupsi yang melibatkan DPRD tercatat paling banyak karena masih menyisakan ruang gelap. Penyusunan APBD mulai dari level Musrenbang desa biasanya masih terlihat transparan. Tetapi proses selanjutnya seringkali tak terawasi dan terjadi transaksi suap.
ADVERTISEMENT
“Kalau di bagian awal yaitu Musrenbang Desa sampai Kecamatan yang bertujuan menampung aspirasi dari bawah, itu masih aman. Nah ketika sudah mulai maju proses (pembahasan Rancangan APBD), di situ ada tarik menarik. Di belakang itu dipikirkan siapa dapat apa, mendapat apa, itu sudah ada jatah masing-masing,” tambah Saut.
Saut meyakini, kewenangan adiluhung legislator akan membuat pemerintahan runyam jika tak dibarengi perubahan mental. Lingkaran korupsi politik karena pembiayaan tinggi menurut Saut bukan berasal dari sistemnya, tapi mental individu. “OTT-nya kan nambah terus. Tapi apakah perilaku berubah? Tiap hari terus begitu,” tegas Saut.
Saut pun memaklumi berangnya Satyani, warga Malang, yang kepercayaannya pada politisi runtuh saat suap berhasil menyiram DPRD di kotanya. Makanya Saut mewanti-wanti untuk selektif memilih calon legislatif apalagi mereka yang sudah tercatat pernah korupsi .
ADVERTISEMENT
“Pakai nurani untuk menentukan pilihan,” pesan Saut.
------------------------
Simak selengkapnya Awas Caleg Koruptor! di Liputan Khusus kumparan.