Menguji Klaim Jokowi soal Deforestasi, Kebakaran Hutan, dan Penurunan Emisi

5 November 2021 15:56 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden Joko Widodo saat berbicara pada KTT Pemimpin Dunia tentang Perubahan Iklim atau COP26 di Scottish Event Campus, Glasgow, Skotlandia, Senin (1/11). Foto: Laily Rachev/Biro Pers Sekretariat Presiden
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Joko Widodo saat berbicara pada KTT Pemimpin Dunia tentang Perubahan Iklim atau COP26 di Scottish Event Campus, Glasgow, Skotlandia, Senin (1/11). Foto: Laily Rachev/Biro Pers Sekretariat Presiden
ADVERTISEMENT
Pada rangkaian KTT COP26 Glasgow, Skotlandia, Presiden Joko Widodo menyampaikan sejumlah klaim pencapaian Indonesia di bidang pengelolaan hutan dan penurunan emisi.
ADVERTISEMENT
Presiden Jokowi menyampaikan pidato dalam pembukaan KTT COP26 pada Senin (1/11). Di hadapan para pemimpin dunia, ia mengungkapkan penurunan laju kehilangan hutan primer (deforestasi) yang signifikan.
“Dengan potensi alam yang begitu besar, Indonesia terus berkontribusi dalam penanganan perubahan iklim. Laju deforestasi turun signifikan, terendah dalam 20 tahun terakhir,” ujar Jokowi.
Bagaimana dengan data sesungguhnya?
Menurut data yang dihimpun Global Forest Watch, pada 2001 Indonesia kehilangan hutan primer hingga 114.394 hektare. Sedangkan pada 2020, kehilangan hutan mencapai 270.057 hektare.
Dalam kurun waktu 2001-2020, laju kehilangan hutan primer terendah tercatat pada 2001 dan bukan 2020.
Laju kehilangan hutan terendah kedua terjadi pada 2003. Di tahun tersebut, Indonesia kehilangan hutan seluas 248.436 hektare.
ADVERTISEMENT
Per 2020, Indonesia menduduki peringkat keempat negara dengan kehilangan hutan primer terluas di dunia.
Peringkat pertama dipegang oleh Brasil, dengan kehilangan hutan hingga 1,7 juta hektare; disusul oleh Kongo dengan 491 ribu hektare dan Bolivia dengan 277 ribu hektare.
Kemudian, Jokowi juga memaparkan penurunan tingkat kebakaran hutan pada 2020, jika dibandingkan dengan 2019.
“Kebakaran hutan juga turun 82 persen di tahun 2020,” ucapnya.
Menurut data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pada 2020, terjadi kebakaran hutan seluas 296.942 hektare. Sedangkan pada 2019, luas hutan yang terbakar mencapai 1.649.258 hektare. Sehingga, penurunan yang terjadi memang 82%.
Tetapi, Jokowi saat itu tidak menyebutkan kenaikan signifikan yang terjadi pada 2019 jika dibandingkan dengan 2018.
ADVERTISEMENT
Pada periode ini, terjadi kenaikan luas kebakaran hutan hingga 211,61%.
Seperti diketahui, pada 2019, kebakaran hutan merajalela di mana-mana. Langit di sejumlah provinsi tampak keruh, hingga banyak nyawa terenggut akibat terlalu sering terpapar asap karhutla (kebakaran hutan dan lahan).
Menurut BNPB, 99% kebakaran hutan ini disebabkan oleh tangan jahil manusia. Ditambah, pada tahun tersebut, Indonesia mengalami musim kemarau yang cukup panjang.
Saat itu, Provinsi Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan, dan Sumatra Selatan menjadi lima provinsi dengan jumlah kebakaran hutan dan lahan terbanyak sepanjang 2019.
Jokowi turut menjadi satu dari tiga pembicara pada pertemuan World Leaders’ Summit on Forest and Land Use di Glasgow, Selasa (2/11).
Selain memaparkan soal pencapaian di bidang penurunan deforestasi dan kebakaran hutan, ia juga menyebutkan penurunan emisi dari hutan dan tata guna lahan.
ADVERTISEMENT
“Pada tahun 2019, penurunan emisi dari hutan dan tata guna lahan juga ditekan hingga 40,9 persen jika dibandingkan tahun 2015,” ungkap Jokowi, di hadapan para pemimpin negara dunia.
kumparan memperoleh data pergerakan emisi dari hutan dan tata guna lahan dari World Resource Institute. Namun, data yang tersedia hanya sampai tahun 2018.
Senada dengan ucapan Jokowi, pada data tersebut terlihat penurunan emisi sejak 2015.
Di tahun tersebut, dalam satuan MtCO2e, emisi yang dihasilkan dari hutan dan tata guna lahan mencapai 1.218. Sedangkan pada 2018, jumlahnya 734. Artinya, terjadi penurunan hingga 39,73%.
Sedangkan menurut Jokowi, penurunan pada periode 2015-2019 mencapai 40,9%. Angka ini tentu tidak jauh dari data hingga 2018.
Meski begitu, jika melirik data pergerakan gas emisi rumah kaca di Indonesia per tahun 2018, angkanya cenderung naik. Bahkan sejak 2013 hingga 2018, tidak ada penurunan emisi gas rumah kaca.
ADVERTISEMENT
Salah satu penyumbang gas rumah kaca terbesar di Indonesia adalah sektor listrik.
Menurut Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar pada periode 2015-2018, emisi gas rumah kaca terbesar disumbang oleh listrik.
Indonesia masuk ke 10 besar negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia dalam data per 2018. Peringkat pertama dipegang oleh China, dengan 12.335,24 MtCO2e. Disusul dengan Amerika Serikat, dengan 6.023,62 MtCO2e. Sedangkan Indonesia berada di posisi ketujuh.
Dengan ini, Indonesia tentunya tidak bisa berpuas terlebih dahulu. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, demi berpartisipasi melawan perubahan iklim.
Lewat KTT COP26, Indonesia menyampaikan komitmen yang dinamakan Nationally Determined Contribution (NDC).
NDC adalah rencana dan komitmen setiap negara, yang disetujui pada Paris Agreement di COP21 tahun 2015, untuk menurunkan emisi karbon mereka. Tujuan akhir dari penurunan emisi tiap negara adalah membatasi kenaikan suhu rata-rata dunia hingga 1,5 - 2 derajat celsius.
ADVERTISEMENT
Dalam NDC Indonesia tahun ini, RI berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca hingga 29% tanpa dukungan dari luar. Sedangkan dengan dukungan pendanaan internasional, emisi bisa diturunkan hingga 41%.
KTT Ke-26 Perubahan Iklim (KTT COP26) digelar di Glasgow, Inggris, Senin (1/11). Foto: Twitter/@COP26
Namun saat ini, NDC dari negara-negara dipandang belum cukup untuk mencegah kenaikan suhu dunia.
Di bawah janji yang disampaikan negara-negara dunia saat ini, emisi global akan lebih tinggi hingga 16% pada 2030 dibandingkan pada 2010, menurut analisis dari United Nations Framework Climate Change Convention (UNFCCC).
Itu tentunya jauh sekali dari target ilmuwan, yang mengatakan reduksi emisi harus sebesar 45% per 2030 jika ingin membatasi kenaikan suhu global hingga 1,5 derajat celsius.