Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Menimbang Pengenaan Pajak untuk Apartemen Kosong
8 April 2017 20:24 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
ADVERTISEMENT
Rencana pemerintah mengenakan pajak tinggi bagi para spekulan tanah terus bergulir. Kebijakan yang masuk dalam program ekonomi berkeadilan tersebut kini memasuki babak baru.
ADVERTISEMENT
Selain akan mengenakan pajak progresif pada tanah "nganggur," pemerintah juga berencana mengenakan pajak progresif untuk apartemen tak dihuni alias kosong.
Dengan pengenaan pajak progresif, artinya kepemilikan apartemen kedua dan seterusnya atau setiap tambahan hingga batas tertentu akan dikenai pajak yang lebih tinggi. Selama ini, pemerintah memang belum mengenakan pajak pada apartemen.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, rencana penerapan pajak progresif untuk apartemen belum tepat, baik dari waktu pelaksanaan maupun skema yang akan dilakukan.
"Kurang tepat dari sisi skema maupun timing," ujar Yustinus kepada kumparan (kumparan.com), Sabtu (8/4).
Baca Juga: Apartemen Kosong akan Dipajaki
Anggota Tim Reformasi Perpajakan Kementerian Keuangan ini juga mengatakan, rencana tersebut bertentangan dengan kebijakan Loan To Value (LTV) Bank Indonesia, di mana uang muka untuk pembelian properti bisa lebih murah.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan penetapan kebijakan BI, LTV diperlonggar menjadi 85 persen untuk rumah atau properti pertama, 80 persen untuk properti kedua, dan 75 persen untuk properti ketiga.
Dengan adanya kebijakan ini, berarti debitur hanya perlu menyiapkan uang muka (down payment) 15 persen untuk kredit kepemilikan rumah bagi rumah pertama, 20 persen untuk rumah kedua, dan 25 persen untuk rumah ketiga.
"Ini akan mengganggu demand, karena yang akan kena penalty kan pembeli. BI menurunkan DP untuk akses perumahan, kalau dikenakan pajak nanti disinsentif," jelasnya.
Kendati demikian, kebijakan tersebut bisa dibuat lebih baik. Hal ini juga yang dilakukan di Singapura.
"Kalau di negara lain, Singapura, mereka menentukan misalnya batas waktu apartemen kosongnya katakanlah lima tahun, maka kalau lebih dari itu berarti dia spekulan, itu yang harus dipajaki," pungkasnya.
ADVERTISEMENT