Menlu Retno Sindir Negara Pihak Konvensi Pengungsi PBB Banyak ‘Tutup Pintu’

14 Desember 2023 11:50 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pengungsi Rohingya yang baru tiba beristirahat di sebuah pantai di pulau Sabang, provinsi Aceh, pada 2 Desember 2023. Foto: CHAIDEER MAHYUDDIN / AFP
zoom-in-whitePerbesar
Pengungsi Rohingya yang baru tiba beristirahat di sebuah pantai di pulau Sabang, provinsi Aceh, pada 2 Desember 2023. Foto: CHAIDEER MAHYUDDIN / AFP
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi menyinggung soal banyaknya negara anggota Konvensi Pengungsi PBB yang seolah 'menutup pintu' bagi para pengungsi dan kelompok stateless.
ADVERTISEMENT
Isu pengungsi kembali mencuat di Indonesia, setelah kapal-kapal yang ditumpangi ratusan imigran Rohingya tiba di Aceh dan membuat warga setempat tidak nyaman.
Retno menyampaikan komentar tegas itu di hadapan delegasi dari 140 negara yang hadir di Global Refugee Forum (GRF), Jenewa, pada Rabu (13/12).
Dalam GRF, Retno kembali menekankan bahwa dunia sedang tidak baik-baik saja di tengah perang yang berkecamuk di berbagai wilayah saat ini. Akibatnya, isu pengungsi dan krisis kemanusiaan pun tidak bisa dielakkan.
Diplomat senior itu mengangkat isu terkait pengungsi Palestina dan etnis Rohingya, yang menjadi collateral damage dalam konflik di negara asalnya masing-masing.
"Saya sampaikan proses resettlement akhir-akhir ini berjalan dengan sangat lamban. Banyak negara pihak bahkan menutup pintu mereka untuk para pengungsi," kata Retno lewat press briefing virtual.
Menlu Retno Marsudi menghadiri sidang DK PBB soal Gaza di New York, Rabu (29/11/2023). Foto: Twitter/Menlu_RI
Sejatinya, Indonesia bukan negara anggota Konvensi Pengungsi PBB yang diteken pada 1951 di Jenewa itu (Konvensi 1951). Dengan begitu, sebenarnya tidak kewajiban menampung pengungsi dari negara mana pun — tak cuma etnis Rohingya dari Myanmar saja.
ADVERTISEMENT
Sehingga, lembaga internasional yang seharusnya bertanggungjawab atas masalah ini adalah UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees), IOM (International Organization for Migration), serta negara-negara pihak Konvensi 1951.
Retno menyinggung soal lambatnya proses resettlement dari UNHCR yang berkantor di Jakarta dalam menangani kasus imigran Rohingya terdampar di Aceh. Sebenarnya, Indonesia bukanlah negara tujuan bagi para pengungsi — melainkan hanya sebagai negara transit.
"Saya juga tekankan pentingnya penguatan kerja sama dengan UNODC, UNHCR dan juga IOM dalam penanganan masalah ini. Selain itu, saya juga menekankan kewajiban menerima resettlement bagi negara pihak Konvensi Pengungsi," tegas Retno.
Imigran Rohingya menunggu dalam truk Satpol PP dan WH setelah ditolak warga untuk direlokasi di UPTD Rumoh Seujahtera Beujroh Meukarya Dinas Sosial, Ladong, Aceh Besar, Aceh, Senin (11/12/2023). Foto: Irwansyah Putra/Antara Foto
Di dalam proses keimigrasian orang Rohingya itu, kata Retno, ada muncul masalah baru yang sudah menjadi kewajiban internasional dalam penyelesaiannya. Masalah itu adalah penyelundupan manusia dan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
ADVERTISEMENT
"Adanya TPPO semakin menambah kompleksitas dan sulitnya penanganan isu pengungsi. Saya jelaskan bahwa Indonesia tidak akan ragu-ragu untuk memerangi TPPO yang merupakan kejahatan transnasional," ujar Retno.
Namun, Retno menegaskan bahwa Indonesia tidak dapat melakukan misi pemberantasan TPPO dan penyelundupan manusia ini sendirian — butuh partisipasi dari negara lain, terlebih negara Konvensi 1951.
"Indonesia tidak dapat menjalankannya sendiri. Diperlukan kerja sama yang erat, baik di kawasan maupun internasional untuk memerangi TPPO," jelas Retno.
"Saya ingatkan bahwa kita semua memiliki kewajiban yang sama untuk menghentikan perang dan konflik, dan menghormati hukum internasional, termasuk hukum humaniter internasional," tambahnya.