MK Tolak Gugatan PSI yang Minta Syarat Umur Capres-Cawapres 35 Tahun

16 Oktober 2023 11:56 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
64
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana sidang putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta. Foto: Rivan Awal Lingga/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Suasana sidang putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta. Foto: Rivan Awal Lingga/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan uji materi yang meminta syarat batasan usia menjadi capres-cawapres diubah. Dalam UU Pemilu, syarat tersebut tertuang dalam Pasal 169 huruf q, yakni minimal sudah berusia 40 tahun.
ADVERTISEMENT
"Menolak permohonan permohonan untuk seluruhnya," kata Ketua MK Anwar Usman saat membacakan putusan, Senin (16/10).
Gugatan yang ditolak itu adalah permohonan dari PSI, yang teregister dengan nomor perkara 29/PUU-XXI/2023. PSI meminta syarat umur capres-cawapres menjadi 35 tahun.
Gugatan itu dimohonkan oleh Parpol PSI, Anthony Winza Prabowo, Danik Eka Rahmaningtyas, Dedek Prayudi, dan Mikhael Gorbachev Dom.
Salah satu petitumnya yakni: Menyatakan bahwa materi Pasal 169 huruf q UU RI Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'berusia paling rendah 35 tahun'.
Dengan putusan ini, permohonan PSI dkk kandas diketok palu MK.
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (kiri) didampingi Hakim Konstitusi Arief Hidayat memimpin jalannya sidang Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum di di Gedung MK, Jakarta, Selasa (22/8). Foto: Sigid Kurniawan/Antara Foto
Apa pertimbangan hakim menolak permohonan tersebut?
ADVERTISEMENT
Salah satu pertimbangan MK menolak permohonan PSI disampaikan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat.
Dalam pertimbangannya, disampaikan rentetan syarat calon presiden dan wakil presiden. Seperti pada norma pasal 6 huruf q dalam UU 23/2003, menyatakan syaratnya berusia 35 tahun. Kemudian dalam UU 42 tahun 2008 syaratnya masih 35 tahun. Baru pada UU Nomor 17 Tahun 2017, syarat umur berubah menjadi 40 tahun.
Soal umur ini, PSI menilai norma dalam UU 17 Tahun 2017 bertentangan dengan original inten UUD 1945. Atas dasar itu, MK mengecek ulang perdebatan original inten tersebut.
Hasilnya, ternyata mayoritas pembahasan tersebut sepakat bahwa umur 40 tahun dinilai lebih matang dari segi kepemimpinan, fisik, maupun pikiran, sebagaimana disampaikan oleh Irma Alamsyah dari Kowani dalam Risalah Komperhensif UUD 1945, Buku IV Jilid I Halaman 156.
ADVERTISEMENT
Kemudian Hamdan Zoelva yang saat itu dari PBB mengusulkan umur 40 tahun juga. Begitu juga dari F-UG. Dan banyak pendapat lainnya.
"MK menemukan fakta hukum bahwa mayoritas pengubah UUD 1945 atau fraksi di MPR pada waktu itu berpendapat usia minimal presiden adalah 40 tahun," kata Arief Hidayat.
"Dengan kata lain penentuan usia minimal presiden dan wakil presiden menjadi ranah pembentuk UU," sambungnya.
Hakim Mahkamah Konstitusi, Saldi Isra memimpin sidang Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (3/9). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Pertimbangan lainnya, mendukung pertimbangan pertama. Hal tersebut disampaikan oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra, yang menyebut soal masalah umur merupakan kewenangan pembentuk undang-undang.
Dia juga mengatakan, jika norma pasal 169 huruf q yang didalilkan moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan karena diskriminatif kepada orang Indonesia berusia kurang dari 40 tahun, maka akan terjadi jika berlaku pada usia 35 tahun.
ADVERTISEMENT
Menurut Saldi Isra, menggunakan logika yang sama, maka jika diturunkan menjadi 35 tahun, maka akan diskriminatif juga kepada mereka yang berusia di bawah 35 tahun.
"Menurunkan menjadi 35 tahun tentu dapat juga dinilai merupakan bentuk pelanggaran moral, ketidakadilan, dan diskriminasi bagi yang berusia 35 tahun atau batasan-batasan usia tertentu di bawah 35 tahun, terutama bagi warga negara yang sudah memiliki hak untuk memilih," kata Saldi Isra.
Kemudian, dia menegaskan soal umur ini menjadi kewenangan pembentuk undang-undang untuk memutuskan.
Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: Aditia Noviansyah