Nada Sumbang RUU Permusikan

11 Februari 2019 10:38 WIB
clock
Diperbarui 21 Maret 2019 0:05 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Lipsus kumparan: Nada Sumbang RUU Permusikan. Foto: Basith Subastian/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Lipsus kumparan: Nada Sumbang RUU Permusikan. Foto: Basith Subastian/kumparan

Hasil salin tempel dan niatan membatasi kebebasan. Begitulah RUU Permusikan dituding menuai polemik.

ADVERTISEMENT
Rancangan Undang-Undang Permusikan yang dirampungkan Badan Keahlian DPR RI dituding menyimpan niatan membatasi kebebasan berekspresi para musisi.
ADVERTISEMENT
“Ada aturan dan norma yang mungkin terkesan membatasi kebebasan. Tapi ada baiknya juga, (karena) kebebasan itu kan ada batasnya,” ujar Inosentius Samsul, Kepala Pusat Penerangan Perancangan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI kepada kumparan, Kamis (7/2).
Aturan yang ia maksud adalah Pasal 5 RUU Permusikan yang melarang siapa pun menciptakan karya yang mendorong orang melakukan kekerasan hingga penyalahgunaan obat-obatan terlarang.
Karya musik juga tidak boleh bermuatan pornografi, provokasi, dan penistaan agama. Serta tidak boleh mendorong orang melakukan tindakan melawan hukum dan membawa pengaruh negatif budaya asing.
Aturan pada pasal berikutnya kemudian mengatur sanksi pidana bagi siapa saja yang melanggar pasal tersebut, merujuk pada Pasal 156 KUHP yang memiliki ancaman hukuman penjara maksimal empat tahun. Hal ini makin membuat banyak musisi berang karena ketentuan itu berpotensi jadi pasal karet yang bisa mengkriminalisasi para pemusik.
Inosentius Samsul, Kepala Pusat Perancangan UU Badan Keahlian DPR RI. Foto: M. Fadli Rizal/kumparan
Inosentius heran ketika Pasal 5 RUU Permusikan malah banyak dipermasalahkan. Sebab, Pasal 5 RUU Permusikan hanyalah hasil salin-tempel Pasal 6 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perfilman.
ADVERTISEMENT
“Untuk pelaku seni, pertanyaan saya sebenarnya, kalau itu tidak dikehendaki kenapa tidak dilakukan judicial review terhadap Undang-Undang Perfilman,” ucap Inosentius. Baginya, Pasal 5 yang seperti hasil fotokopi aturan serupa itu harusnya juga bisa diterima secara wajar.
Tak sekadar copy-paste aturan sebelumnya, naskah akademik RUU Permusikan yang dibuat oleh para ahli hukum di Badan Keahlian DPR RI ini juga mengutip laman blog siswa SMK berjudul ‘Makalah Seni Musik’ oleh Ahmad Fauzan dkk.
“Kata mousikos inilah yang melahirkan kata musik. Referensi lain menyebutkan bahwa musik berasal dari bahasa Yunani, yaitu mousike dan bahasa Latin, musika,” bunyi naskah akademik RUU Permusikan pada bagian penjelasan mengenai makna musik.
Hal ini tentu saja membuat kredibilitas naskah akademik dan draf RUU Permusikan runtuh.
Kala Negara Mengatur Musik. Infografik: Basith Subastian/kumparan
Keterlibatan Badan Keahlian DPR dalam perancangan aturan permusikan dimulai setelah Badan Legislasi DPR menolak usulan naskah akademik dan draf yang diajukan oleh Kami Musik Indonesia (KAMI) pada 2017. Alasannya, naskah tersebut tidak memenuhi standar kelayakan sebagai suatu naskah akademik.
ADVERTISEMENT
Menurut Inosentius, isinya terlalu nyontek aturan Hak Cipta. “Awal-awal duplikasi hak cipta saja, oleh karenanya dikembalikan supaya substansi diperluas,” ujar lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu.
Maka selama enam bulan, Inosentius bersama Badan Keahlian DPR RI menyusun naskah akademik hingga draf RUU Permusikan yang rampung pada 15 Agustus 2018. Inosentius mengklaim, naskah akademik dan draf aturan permusikan itu mengikuti rekomendasi Konferensi Musik Indonesia (KMI) pertama pada 7-9 Maret 2018.
“Kami juga datang ke universitas, datang ke beberapa stakeholder, termasuk kita bertemu dengan beberapa musisi yang mengikuti Konferensi Musik Indonesia di Ambon,” ucapnya.
Selama proses penyusunan naskah akademik dan draf aturan permusikan, Badan Keahlian DPR memang meminta saran dan masukan Glenn Fredly. Tapi musisi asal Maluku tak langsung mengiyakan sebab ia ingin aturan ini dari dan untuk semua musisi.
ADVERTISEMENT
Glenn kemudian mengonsolidasi ratusan musisi dalam bendera KAMI dan menggelar Konferensi Musik Indonesia. “Agendanya adalah untuk bicara musik sebagai kekuatan kebudayaan, musik sebagai kekuatan ekonomi baru ke depan, dan musik sebagai pendidikan,” ucap Glenn di Ruang Selatan, Jakarta, Rabu (6/2).
Sesi panel Konferensi Musik Indonesia. Foto: ANTARA/Izaac Mulyawan
Konferensi Musik Indonesia pertama yang digelar di Ambon, Maluku, pada saat itu menghasilkan 12 poin terkait perbaikan sistem pendidikan musik, kesetaraan gender, mekanisme distribusi musik digital, standar kelayakan infrastruktur pertunjukan dan pendidikan musik, upaya memajukan musik daerah, sistem royalti yang berkeadilan, dan pembenahan tata kelola musik lainnya.
Kedua belas poin hasil konferensi itulah yang disusun menjadi usulan naskah akademik dengan bantuan Agus Sardjono, guru besar hak kekayaan intelektual dari Fakultas Hukum Indonesia.
ADVERTISEMENT
Namun ia terkejut ketika naskah akademik sudah jadi sedemikian rupa pada Agustus 2018. “Saya kaget, kok sudah jadi drafnya padahal kita belum membicarakan?” ucap Agus saat dihubungi kumparan, Rabu (6/2).
Musisi Indra Lesmana (kiri), komposer dan musisi Bali Wayan Gde Yudhana (kanan), gitaris Koko Harsoe (kedua kiri) dan akademisi Institut Seni Indonesia Denpasar Wayan Sudirana menyampaikan materi dalam dialog terkait RUU Permusikan di Denpasar, 4 Februari 2019. Foto: ANTARA/Fikri Yusuf
Serupa dengan Agus, Glenn pun terkejut ketika draf RUU Permusikan yang memuat 54 pasal sudah rampung. “Gue enggak tahu sama sekali bahwa itu akan menjadi RUU Permusikan,” kata Glenn.
Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta Lagu, dan Pemusik Republik Indonesia (PAPPRI) sebagai salah satu komunitas musisi yang menaruh perhatian terkait regulasi musik sejak 2015 ini langsung rapat membahas draf yang sudah dibuat oleh BK DPR RI.
“Dalam rapat itu kami temukan beberapa pasal yang menurut kami bermasalah. Pasal yang ramai di medsos itu sudah terbaca potensi polemiknya pada saat rapat internal PAPPRI itu,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Anang Hermansyah membahas RUU Permusikan di Cilandak Town Square, Jakarta, 4 Februari 2019. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Anang Hermansyah, mantan juri Indonesian Idol yang kini jadi anggota legislatif Fraksi Partai Amanat Nasional di Komisi X DPR RI menjadi orang yang paling gigih memasukkan draf RUU Permusikan dalam Program Legislasi Nasional DPR RI.
Sejak awal ia berkomunikasi dengan Glenn Fredly dan meminta Glenn untuk membantu mengonsolidasi kawan-kawan sesama musisi. Setelah sempat gagal memasukkan usulan naskah akademik yang disodorkan KAMI pada 2017, Anang maju sendiri tanpa membawa nama fraksi untuk mengusulkan draf RUU Permusikan versi BK DPR RI masuk ke dalam Prolegnas 2019.
Baginya, yang terpenting rancangan regulasinya masuk terlebih dulu baru kemudian berbagai usulan yang datang bisa ditampung. “RUU sebatas rancangan dulu untuk diberikan masukan, bukannya semangatnya selalu begitu?” kata Anang saat dihubungi kumparan, Jumat (8/2).
ADVERTISEMENT
Ia pun meminta agar musikus tidak melulu menyalahkan naskah akademiknya yang belum lengkap. “Jangan terus menyalahkan naskah akademiknya. Ini urusan 100 tahun mendatang, kita mau membangun kebijakan publik berbentuk UU,” ucapnya.
Setelah draf RUU Permusikan menyebar, gelombang protes atas aturan yang diusulkan oleh Anang seolah tak henti.
Pada Senin di minggu terakhir Januari 2019, Glenn bersama sejumlah musisi lain seperti Cholil Mahmud dari Efek Rumah Kaca, Andien, Rian D’Massiv, Yuni Shara, dan Vira Talisa, menemui Ketua DPR Bambang Soesatyo di DPR RI.
Mereka menyuarakan keluhan terhadap RUU Permusikan yang dinilai represif dan mengekang kebebasan berekspresi. “Minta bahwa draf ini dikaji ulang beserta pasal-pasal yang membuat kita keberatan,” kata Glenn.
ADVERTISEMENT
Penolakan terhadap RUU Permusikan juga datang dari 262 musisi kemudian membentuk Komisi Nasional Tolak Rancangan Undang Undang Permusikan (KNTL RUUP). Mereka menyatakan sejumlah pasal dalam RUU itu justru berpotensi menimbulkan masalah di masa depan.
Bukan hanya Pasal 5, tapi ada belasan pasal lain yang dinilai bermasalah. Seperti Pasal 12 yang mewajibkan pelaku usaha yang melakukan distribusi diwajibkan memiliki lisensi.
Musisi Jason Ranti menilai pasal ini bermasalah, lantaran banyak musisi atau band yang menjual karyanya secara mandiri. Ia pun menganggap pasal ini pun akan berdampak diskriminatif karena hanya menguntungkan distributor besar. "Ini kan curang," kata Jason.
Komunitas musisi jalanan melakukan aksi unjuk rasa menolak RUU Permusikan di Bogor, 10 Februari 2019. Foto: ANTARA/Arif Firmansyah
Selain itu, ada pula Pasal 32 yang mewajibkan pemusik untuk mengikuti uji kompetensi. Sandy PAS Band menyatakan pasal tersebut merupakan bentuk diskriminasi terhadap para pemusik yang mengambil jalan belajar otodidak. “Ya, karena berkarya dari apa yang dia dengar, yang dia rasa, yang dia lihat. Enggak adil kan kalau gitu?," ucapnya.
ADVERTISEMENT
Koalisi kadung rapat, penolakan dilantangkan. Media sosial menjadi senjata KNTL RUUP untuk menyuarakan aspirasi.
Di Twitter, para penentang RUU Permusikan membuat tagar #TolakRUUPermusikan dan tagar #KNTLRUUP. Tagar itu sempat merajai pembahasan di Twitter pada 3 Februari lalu. Selain di Twitter, koalisi juga memiliki akun Instagram. Dan yang teraktual, KNTL RUUP juga membangun sebuah laman.
Selain itu, sebelumnya Danilla Riyadi menggalang petisi di change.org. Hingga 10 Februari pukul 00.30 WIB, petisi yang dibuat pelantun ‘Senja di Ambang Pilu’ itu telah ditandatangani lebih dari 264 ribu orang.
Cholil Mahmud, Efek Rumah Kaca. Foto: Puti Cinintya Arie Safitri/kumparan
Cholil Mahmud, vokalis dan gitaris grup musik Efek Rumah Kaca yang juga anggota koalisi KNTL RUUP memandang pesimistis soal rencana revisi RUU Permusikan. Cholil berpendapat, buah pikir Anang itu terlalu berisiko bila tetap dilanjutkan. Ia tak ingin RUU Permusikan berujung seperti UU ITE yang terlanjur memakan banyak korban
ADVERTISEMENT
“Daripada nanti kita harus judicial review yang pakai proses lagi, sebaiknya sebelum RUU ini jadi kita adang aja duluan,” ujar Cholil kepada kumparan melalui Skype, Kamis (7/2).
Kalaupun regulasi soal permusikan harus ada, yang perlu diatur adalah industrinya. “Musik secara permusikan kayanya enggak perlu diatur ya, apalagi proses kreasi. Industri mungkin perlu,” kata Cholil.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Anggara Suwahju, menilai RUU Permusikan mengarah ke sebuah rezim perizinan. Hal tersebut bisa membuat setiap orang yang akan masuk ke industri musik mengalami kesulitan.
Anggara menganggap RUU Permusikan sudah bermasalah sejak awal. Selain itu, industri musik baginya merupakan industri kreatif yang tak boleh diregulasi terlampau ketat.
ADVERTISEMENT
“Kalau mau mengatur industri musik itu ya seharusnya dilihat apa yang mau diatur, bagian apa yang mau diatur, jangan sampai membuat industri jadi enggak tumbuh karena regulasi,” ujar Anggara kepada kumparan, Selasa (5/2).
Koalisi Nasional tolak RUU Permusikan. Foto: Instagram/@danillariyadi
RUU Permusikan tak hanya dihajar oleh kritik dari musisi dan pegiat musik. Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menilai, musik adalah bagian dari peradaban dunia. Sama halnya dengan buku, tulisan, dan film, musik merupakan elemen penting dari sebuah demokrasi.
Asfinawati tak sepakat dengan rencana revisi RUU Permusikan tanpa memperbaiki naskah akademik yang ada. Sebab, perubahan isi dari sebuah draf RUU seharusnya tak boleh melenceng dari naskah akademik yang dirumuskan oleh Badan Keahlian DPR. Sedangkan, menurutnya, naskah akademik dari RUU Permusikan juga bermasalah.
ADVERTISEMENT
“Apakah perlu sebuah undang-undang yang mengatur permusikan? Kalau perlu, bagian mana yang diatur dan tidak perlu diatur? Jadi masih jauh sekali dari pembahasan RUU," kata Asfinawati.
ADVERTISEMENT