Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
ADVERTISEMENT
Wacana evaluasi pilkada secara langsung terus bergulir sejak Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menyebut perlu ada evaluasi atas munculnya konflik dan perilaku kepala daerah korup gara-gara Pilkada.
ADVERTISEMENT
Wacana ini meluas menjadi keinginan beberapa kelompok agar pemilihan kepala daerah kembali melalui DPRD. Namun, sejumlah pihak menentang. Salah satunya Wakil Ketua Komisi II Fraksi NasDem, Saan Mustopa.
Saat setuju Pilkada perlu dievaluasi, namun soal kepala daerah dipilih melalui DPRD secara tegas dia menolaknya. Menurutnya jika Pilkada dikembalikan ke tangan DPRD, maka artinya terjadi kemunduran dalam sistem pilkada di Indonesia.
"Intinya bahwa evaluasi terhadap pilkada langsung itu perlu terkait dengan kelemahan, tapi kalau kembali pada dipilih DPRD itu sama dengan kita kembali ke masa lalu, memutar arah jarum jam, dan itu set back," ujar Saan di gedung DPR, Selasa (19/11).
Pilkada langsung, kata dia, merupakan bentuk dari koreksi atas demokrasi dan pelaksanaan pilkada di masa Orde Baru. Sehingga, jika pilkada dikembalikan ke sistem pada masa Orde Baru, artinya Indonesia mengalami kemunduran.
ADVERTISEMENT
"Pilkada oleh DPRD ini kan sudah berjalan belasan kali pas orde baru. Kepala daerah, bupati, wali kota, gubernur itu dipilih oleh DPRD," kata dia.
"Begitu reformasi, proses politik yang tadi lewat oligarki dan sebagainya itu direformasi, termasuk soal pilkada. Jadi pilkada langsung adalah koreksi terhadap pilkada yang selama itu berjalan lewat DPRD," lanjutnya.
Wacana evaluasi pilkada langsung yang disebut berdasar dari ongkos politik yang mahal dan berujung pada kecurangan hingga korupsi malah diragukan. Menurutnya, dengan pilkada secara tak langsung, jangan-jangan ongkos politik makin mahal.
"Persoalannya akan lebih jadi murah biayanya? Justru jangan-jangan lebih mahal, karena tahu orangnya yang akan disasar jelas. Kalau DPRD-nya di sebuah kabupaten ada 50, mau menang berapa? 30. Siapa saja 30, rumahnya tahu, keluarganya tahu, semuanya tahu gitu. Nah jadi ketika pilkada langsung jadi lebih murah belum tentu juga buat si calon," tuturnya.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, Mendagri Jenderal (Purn) Tito Karnavian menyebut pilkada perlu dievaluasi karena ongkos politik yang mahal dan memicu kepala daerah terpilih korupsi.
"Itu bukan suatu kejutan buat saya, kenapa? Mungkin hampir semua kepala daerah berpotensi melakukan tindak pidana korupsi. Kenapa? Bayangin dia mau jadi kepala daerah, bupati (butuh biaya politik) Rp 30-50 M. Gaji Rp 100 juta taruhlah Rp 200 juta, kali 12, Rp 2,4 M kali 5 tahun, Rp 12 miliar. Keluar Rp 30 M," kata Tito di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (6/11).