Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Orang Maluku di Belanda: Mempertanyakan Nasionalisme
14 Juni 2017 13:46 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
ADVERTISEMENT
Tidak ada hitam dan putih dalam sejarah. Penindas bagi yang satu bisa menjadi pahlawan bagi yang lain.
ADVERTISEMENT
Tahun 1951, 12.578 orang Maluku pindah ke Belanda. Mereka adalah bekas Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) yang saat itu diburu pasukan Indonesia ketika pemberontakan Republik Maluku Selatan berkobar.
Maluku semula termasuk dalam Negara Indonesia Timur, negara bagian Republik Indonesia Serikat. Namun pada 1950, pasca-penyerahan kedaulatan oleh Belanda pada 27 Desember 1949, negara-negara bagian itu hendak dilebur menjadi satu Indonesia.
Kebimbangan muncul, pendapat pun terbelah: pro-Indonesia, pro-Belanda, atau pro-Maluku.
Bagi mereka saat itu, tanah air adalah Maluku Selatan. Hingga akhirnya, dipimpin oleh J. Manuhutu atas desakan bekas tentara KNIL, mereka memproklamirkan Republik Maluku Selatan (RMS) pada 25 April 1950.
“Memenuhi kemauan jang sunggu, tuntutan, dan desakan rakjat Maluku Selatan, maka denan ini kami proklamir Kemerdekaan Republik Maluku Selatan, de facto de jure, yang berbentuk Republik, lepas dari pada segala perhubungan ketatanegaraan Negara Indonesia Timur dan R.I.S.”
ADVERTISEMENT
Demikian pembukaan proklamasi mereka.
Proklamasi itu otomatis dianggap sebagai “pemberontakan besar” terhadap Republik Indonesia. Tentara KNIL yang seharusnya melebur menjadi tentara Indonesia, tidak bersedia dan menjadi penopang utama gerakan RMS ini.
Tentara Indonesia akhirnya segera memburu para “pemberontak” ini. Mengepung seluruh wilayah Ambon hingga Seram.
Bagi pemerintahan Indonesia, mereka jelas pemberontak yang mengancam persatuan dan kesatuan.
Namun bagi sebagian rakyat Maluku, tanah air mereka adalah Maluku, bukan Indonesia.
[Baca juga: Cerita Diaspora: Orang Indonesia di Perantauan ]
Sementara itu, sekitar 3.000 tentara KNIL asal Ambon di Jawa menolak bergabung dengan TNI dan memilih untuk dikembalikan ke Ambon untuk membela RMS.
Indonesia tentu tidak setuju, karena mereka justru tengah memerangi RMS.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan aturan saat itu, KNIL masih berada di bawah Belanda sehingga menjadi tanggung jawab Belanda untuk mengurus mereka.
Akhirnya, Belanda memilih untuk mengangkut para anggota KNIL tersebut beserta keluarga mereka. Setiap orang hanya diperbolehkan membawa istri dan maksimal dua orang anak.
Demikianlah, pada Februari 1951, sebanyak 11 kapal Belanda diberangkatkan dari Jawa membawa 12 ribu lebih orang Ambon, yang disebut Moluccan.
Sesampainya di Belanda, mereka mencecap pahit. Surat pemecatan diberikan segera setelah mereka tiba.
Anggota-anggota KNIL dan keluarga mereka itu lantas ditempatkan di barak-barak penampungan yang jauh dari permukiman --barak yang dulu digunakan sebagai penampungan orang Yahudi sebelum dikirim ke kamp konsentrasi pembantaian Nazi di Auschwitz, Polandia.
Diceritakan, beberapa anak Maluku di Belanda itu pernah menemukan sisa rambut, gigi, atau tulang di sekitar “rumah baru” mereka.
ADVERTISEMENT
Kepedihan tak berakhir di situ.
Mereka yang berasal dari wilayah tropis, yang berangkat hanya berbekal sarung atau kain seadanya, tak menyangka suhu di negeri Belanda begitu dingin. Apalagi barak tempat tinggal mereka hanya terbuat dari kayu.
Menghadapi cuaca dingin tanpa kesiapan memadai, juga tanpa belas kasih Belanda, membuat banyak anak yang mati, ditambah penyakit disentri yang mewabah hebat.
Di Belanda, mereka tidak diperbolehkan bekerja. Hidup hanya bergantung dari segelintir uang saku yang diberikan pemerintah Belanda.
Loyalitas terhadap Belanda yang tidak berbalas, membuat mereka frustasi. Berharap bisa kembali ke tanah air, Maluku.
Hukuman mati yang dikenakan terhadap pemimpin RMS, Soumukil, pada 12 April 1966 membuat mereka marah terhadap Indonesia.
ADVERTISEMENT
Kemarahan mereka terhadap Belanda, terhadap Indonesia, terwariskan hingga ke generasi kedua dan ketiga.
Kemarahan dan impian mereka akan RMS terus menguat. Di tengah impitan hidup, mereka memilih jalur-jalur radikal, berharap suara dan keinginan mereka didengar. Berbagai penyerangan dilakukan.
Pada 1970, mereka menyerang wisma duta besar RI di Wassenaar, dilanjutkan pembajakan kereta hingga penyanderaan di kantor konsulat RI pada 1975. Mereka juga melakukan pembajakan kereta dan penyanderaan di salah satu sekolah dasar pada 1977.
Dalam serangan pembajakan kereta yang terjadi di De Punt, enam dari sembilan pembajak Maluku itu ditembak mati oleh aparat Belanda.
Akhirnya mereka mengevaluasi pola-pola gerakan agar tak menimbulkan korban. Mereka melihat kembali “perjuangan” yang telah dilakukan, serta memaknai kembali Maluku dengan mengunjungi dan pulang ke tanah yang mereka impikan itu.
ADVERTISEMENT
Kenyataan yang mereka lihat di Maluku tak seindah yang dibayangkan. Kemiskinan dan pengangguran menjadi salah satu persoalan yang mereka soroti. Sementara di Belanda sendiri, sejak 1980 mereka berubah menjadi komunitas yang lebih fokus pada persoalan internal.
Par eks KNIL itu berusaha menurunkan jumlah pengangguran di internal mereka sendiri, yang semula 40 persen menjadi 20 persen. Mereka tidak lagi mengidentifikasi diri sebagai pemberontak atau eksil. Apalagi generasi kedua dan ketiga sudah lebih mampu menemukan profesi dan kemampuan akademik.
Generasi muda keturunan Maluku tersebut kini ada yang menjadi selebriti hingga pemain sepak bola. Contohnya Frans Hukom, Simon Tahamatta, Sony Silooy, Piere van Hooijdonk, dan yang paling cukup dikenal, Giovanni Van Bronchorst, salah satu bintang tim nasional Belanda di laga Piala Dunia 2010.
ADVERTISEMENT
Perjuangan mereka pun berubah haluan dari politik menjadi perjuangan sosial. Keinginan mereka kini adalah agar saudara sesama Maluku pun berkembang, berdaya, dan sejahtera.
Seorang diaspora generasi kedua, Mietji Hully, mendirikan organisasi sosial dengan menggandeng LSM di Indonesia untuk memperjuangkan saudaranya di Maluku.
Hully dan kawan-kawan lainnya juga mendirikan organisasi bernama Samurau yang masih aktif memperjuangkan suara Maluku di Belanda melalui film, seni, dan teater.
Harapan kini mereka gantungkan pada Presiden Joko Widodo untuk saudara mereka di Maluku. Mereka ingin Maluku yang sejahtera, di dalam Indonesia.