Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.92.0
Berkampanye di hadapan massa pendukungnya di Stadion Maulana Yusuf, Serang, Prabowo Subianto tak cuma berbicara tentang visi dan misinya sebagai calon presiden di Pemilu 2024. Kala itu, 27 Januari 2024, Ketua Umum Gerindra itu secara lugas juga mempromosikan politikus Golkar , Airin Rachmi Diany, sebagai calon gubernur Banten.
“Kepada Bu Airin Rachmi Diany , Ketua Pemenangan Prabowo-Gibran Provinsi Banten, Insyaallah Gubernur Banten sebentar lagi,” kata Prabowo disambut tepuk tangan massa yang hadir.
Mendapat endorse dari Prabowo, Airin berdiri dari kursinya seraya melambaikan tangan.
“Gimana, pantas jadi gubernur?” tanya Prabowo yang dijawab “pantas” oleh massa yang hadir. Pada saat yang sama, Airin menelungkupkan kedua tangan di depan dada dan menundukkan kepala sebagai tanda terima kasih.
Hari-hari itu, jalan Airin melaju sebagai cagub Banten terbayang bakal mulus. Apalagi perolehan suara Prabowo-Gibran di Banten mencapai 54% (4 juta).
Tak disangka, bayang-bayang itu kini memudar. Endorse Prabowo saja tak cukup. Gerindra berpaling dari Airin dan memutuskan mengusung kadernya sendiri, Andra Soni, sebagai cagub Banten, serta menggaet politikus PKS Dimyati Natakusumah sebagai calon wakilnya.
Menggunakan jargon “Koalisi Banten Maju”, Gerindra menggandeng mayoritas parpol yang memiliki kursi di DPRD Banten, menyisakan Golkar dan PDIP. Praktis Airin kini seakan dikeroyok oleh koalisi besar Gerindra yang notabene merupakan sekutu Golkar di Koalisi Indonesia Maju (KIM).
Dalam akun Instagram-nya, Ketua Harian DPP Gerindra Sufmi Dasco Ahmad menyatakan sudah berupaya menggandeng Airin dengan menyodorkan Andra Soni sebagai cawagub. Namun, menurutnya, baik Airin maupun Golkar menolak dan lebih memilih cawagub dari PDIP.
“Pasangan Andra Soni dan Dimyati Natakusumah direstui oleh Pak Prabowo setelah Golkar menyatakan akan berpasangan dengan PDIP di Banten,” tulis Dasco.
Ia menyebut Andra bukan sosok baru di Banten. Andra merupakan Ketua DPRD Banten yang membawa Gerindra meraih kursi DPRD terbanyak di sana pada dua pemilu terakhir. Pada Pileg 2019, Gerindra mendapat 16 kursi di DPRD Banten; dan pada Pileg 2024, Gerindra mendapat 14 kursi, setara dengan Golkar dan PDIP.
Walau elektabilitas Andra disebut kurang dari 7% dalam survei Litbang Kompas, jauh di bawah Airin yang mencapai 38,3%, Dasco yakin Andra tetap memiliki basis suara yang kuat.
“Dia (Andra Soni) Ketua Gerindra Banten yang tentunya mempunyai basis cukup kuat. Memang banyak kader di Gerindra seperti Andra Soni yang tidak suka mempublikasikan dirinya, tetapi di masyarakat cukup dikenal karena sering turun ke bawah,” ucap Dasco pada kumparan, Rabu (24/7).
Menanggapi Dasco, Airin menilai kontestasi pilkada memang sangat dinamis dan berbasis kepentingan. Dalam wawancara di Info A1 kumparan, Kamis (25/7), ia berkata ringan, “Enggak usah dimasukin ke hati, entar juga baikan lagi.”
Airin berupaya ikhlas berhadapan dengan partai-partai KIM. Yang terpenting, ia kini berusaha mendapatkan tiket yang tersisa dari Golkar dan PDIP.
“Kita ikhtiar,” ujar Airin.
Sejauh ini, Golkar terus berupaya menjalin komunikasi dengan PDIP untuk mengusung Airin menghadapi koalisi besar Gerindra. PDIP pun menyiapkan Ade Sumardi, Wakil Bupati Lebak yang juga Ketua DPD PDIP Banten, sebagai cawagub Airin.
Dukungan Golkar dan PDIP sebanyak 28 kursi sudah cukup untuk mengusung cagub-cawagub, sebab minimal dukungan yang dibutuhkan adalah 20 kursi.
Perbedaan arah politik di Pilgub Banten inilah yang ditangkap sebagai sinyal perpecahan di internal KIM, khususnya hubungan Gerindra dan Golkar yang seakan tak baik-baik saja.
Sumber kumparan di elite KIM menyebut, kasus Pilgub Banten memperlihatkan egosentrisme Golkar dan Gerindra dalam mengambil keputusan alih-alih berdiskusi antarpartai koalisi. Padahal, selepas Pilpres, KIM sepakat seiring sejalan di pilkada.
“Kami sedang berusaha menyatukan soal pilkada [antar] partai-partai koalisi, karena ini kan pilkada serentak. Bagaimana gubernur, bupati, wali kota yang kami usung bisa sukses di daerah pemilihan yang kami ajukan,” kata Sekjen Gerindra Ahmad Muzani, pertengahan April lalu.
Sementara Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto pada bulan yang sama berujar, “Partai Golkar menyatakan bahwa koalisi di daerah masing-masing, prioritas pertama tentu Koalisi Indonesia Maju.”
Menurut Deputi Bappilu Demokrat Kamhar Lakumani, upaya partai-partai di KIM maju bersama di pilkada agar program prioritas Prabowo bisa terlaksana tanpa hambatan, salah satunya makan bergizi gratis. Sebab, bagaimanapun, program pemerintah pusat perlu dukungan dari daerah.
“Program unggulan kalau hanya bergantung pada APBN saja tentu agak terbatas. Tapi kalau bisa ada kontribusi dari APBD provinsi maupun APBD kabupaten/kota, program ini bisa lebih cepat, lebih luas jangkauannya, dan lebih optimal. [Kalau calon kepala daerah dari luar KIM yang terpilih] sekalipun dia pasti akan menjalankan program, tetapi [suasananya] berbeda,” jelas Kamhar pada kumparan, Jumat (26/7).
Pengamat komunikasi politik Universitas Brawijaya, Anang Sujoko, memandang dinamika di Pilgub Banten tak lepas dari kepercayaan diri tinggi Gerindra sebagai partai pengusung utama Prabowo. Gerindra ingin mendominasi tak hanya dari sisi legislatif, tapi juga eksekutif di daerah-daerah.
“Gerindra ingin mengambil peran yang lebih dominan di beberapa pilkada sehingga ketika ada kans, ia memajukan kadernya atau menginisiasi pencalonan kader partai lain yang juga direkomendasikan oleh Gerindra,” ucap Anang pada kumparan, Kamis (25/7).
Golkar-Gerindra: Seteru dalam Sekutu
Sumber kumparan di elite Gerindra menyatakan tensi hubungan mereka dengan Golkar terkait pilkada di beberapa daerah memang tengah memanas. Situasi ini di antaranya disebabkan oleh manuver pihak eksternal maupun internal partai.
Dalam artikel lipsus kumparan berjudul “Gerindra dan Golkar: Beda Nasib Kawan Sekondan”, ketegangan serupa pernah terjadi. Sebab perolehan suara Golkar di Pileg DPR lebih tinggi dari Gerindra.
Internal Gerindra disebut hasad dengan perolehan Golkar, sebab sebagai sesama partai koalisi, Partai Beringin disebut lebih fokus menghadapi Pileg dibanding Pilpres. Caleg-caleg Golkar dianggap jarang menampilkan gambar capres Prabowo di baliho maupun billboard, dan lebih memilih menampilkan foto ketua umumnya, Airlangga Hartarto.
Kini, sekalipun tensi meninggi lagi, tak lantas komunikasi Gerindra dengan Golkar tertutup. Sebab di banyak daerah lain, menurut sumber yang sama, kondisi Gerindra dan Golkar adem ayem karena berada dalam satu perahu.
Anang menilai, isu keretakan KIM, khususnya Gerindra dan Golkar, karena kedua partai memiliki agenda berbeda di beberapa daerah krusial. Seperti Pilgub Banten, Jawa Barat, dan DKI Jakarta.
Golkar yang merupakan partai besar dan ikut berkontribusi terhadap pemenangan Prabowo-Gibran, ujar Anang, merasa juga memiliki bargain politik untuk membuat keputusan di internal KIM. Golkar tentu ingin memajukan kader-kadernya di daerah yang potensi menangnya besar. Sedangkan Gerindra melihat dari sisi lain.
“Golkar merasa harusnya ada sebuah pembicaraan yang dilakukan secara terbuka di antara Koalisi Indonesia Maju. Tetapi ternyata Gerindra dan tim inti dari Gerindra memiliki agenda-agenda lain yang ingin diprioritaskan. Disini lah kita lihat mulai terjadinya sebuah keretakan karena kepentingan yang berbeda itu,” kata Anang.
Salah satu kepentingan yang berbeda itu, kata Anang, terkait siapa calon yang diusung untuk Pilgub Jakarta dan Jawa Barat. Anang menilai dorongan Gerindra agar Ridwan Kamil maju di Pilgub Jakarta merupakan bagian strategi. Jika skenario itu terlaksana, kader Gerindra Dedi Mulyadi bisa melenggang di Pilgub Jabar tanpa penantang yang kuat.
Merujuk survei Litbang Kompas, elektabilitas Ridwan Kamil di Pilgub Jabar mencapai 36,6%, sedangkan Dedi Mulyadi sekitar 12,2%. Adapun SMRC memotret elektabilitas Ridwan Kamil 25.2% dan Dedi Mulyadi 16.3%
Sumber di elite Gerindra mengakui menarik Ridwan Kamil ikut Pilgub Jakarta merupakan strategi membuka jalan Dedi Mulyadi di Jabar. Namun bukan berarti Dedi sudah pasti mendapat tiket Gerindra di Pilgub Jabar. Sebab dari perkembangan terkini, Prabowo tengah meminta waktu untuk mendengar masukan berbagai pihak.
Sumber itu menyebut, kader Gerindra di Jabar tak sepenuhnya mendukung jika Dedi maju di Pilgub Jabar. Bahkan ada ancaman mesin partai di Jabar akan shut down jika Dedi yang diusung. Mereka menilai Dedi bukan kader tulen lantaran baru bergabung belakangan.
Dedi sebelumnya merupakan politikus Golkar. Ia mundur dari partai beringin pada Mei 2023 dan bergabung ke Gerindra. Ia kini menjabat Wakil Ketua Dewan Pembina Gerindra.
Di tengah dinamika Pilgub Jabar, kata sumber itu, Prabowo bisa saja mengusung nama lain sebagai jalan tengah. Salah satunya adalah Ilham Habibie yang sudah mengantongi rekomendasi dari NasDem.
kumparan telah mengajukan permohonan wawancara kepada Dedi Mulyadi mengenai dinamika di Pilgub Jabar. Namun ia baru bersedia wawancara setelah ada keputusan siapa cagub Jabar yang diusung Gerindra. Sementara saat wawancara di Info A1 kumparan pada April lalu, Dedi pede peluang Gerindra mengusungnya di Pilgub Jabar sebesar 80%.
Bahkan Dasco menyebut ada kans besar Gerindra mengajukan Dedi Mulyadi berpasangan dengan kader PAN, Bima Arya, di Pilgub Jabar.
Di sisi lain, melihat hasil survei terkini, Golkar lebih sreg Ridwan Kamil maju di Pilgub Jabar. Sementara di Pilgub Jakarta, Golkar memunculkan nama pengusaha jalan tol, Jusuf Hamka alias Babah Alun.
“Misalkan RK yang menurut hasil elektoralnya [di Jabar] yang sangat tinggi, sehingga Insyaallah tanpa mendahului takdir Tuhan pasti menang. Bagaimana kalau di sini (Jakarta)? belum tentu menang,” ujar Ketua Dewan Pembina Bappilu Golkar, Idrus Marham, di Jakarta, Kamis (25/7).
Walau begitu, sumber kumparan di elite Golkar menyebut, tak menutup kemungkinan Golkar sepakat dengan Gerindra mengusung Ridwan Kamil di Jakarta.
Skenario ini bisa dijalankan untuk meredam Anies Baswedan yang masih dianggap sebagai lawan potensial Prabowo di Pilpres 2029. Jika langkah ini ditempuh, pencalonan Ridwan Kamil di Pilgub Jakarta tentu membutuhkan dukungan logistik yang tidak sedikit.
Sumber di elite parpol koalisi Prabowo menilai perdebatan di internal KIM disebabkan Anies masih maju di Pilgub Jakarta. Jika Anies tidak maju, maka KIM dengan mudah bisa bersepakat Ridwan Kamil melenggang di Pilgub Jakarta dan Dedi Mulyadi di Jabar. Untuk itu kini KIM tengah berharap jika NasDem, PKB, dan PKS masuk ke koalisi Prabowo, maka mereka diminta tak mendukung Anies.
Wakil Ketua Umum PAN Yandri Susanto menyatakan partainya lebih menginginkan Ridwan Kamil maju di Pilgub Jabar bersama kadernya eks Wali Kota Bogor, Bima Arya. Sementara di Pilgub Jakarta, PAN bakal mendukung siapa pun calonnya asalkan menggandeng kadernya, Zita Anjani.
Sejauh ini PAN masih menjajaki komunikasi dengan calon-calon potensial seperti Anies, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, dan Jusuf Hamka.
Adapun Demokrat belum memutuskan siapa yang akan diusung di Pilgub Jakarta atau Jabar. Sejauh ini Demokrat baru menyodorkan kadernya untuk menjadi cawagub di Jakarta seperti Wasekjen Jansen Sitindaon atau Ketua DPD Demokrat Jakarta Mujiyono. Adapun di Pilgub Jabar, Demokrat siap ikut keputusan KIM.
“Kalau zona nyaman, mudah menangnya menurut hitungan, matematika, survei, tentu di Jabar. Tapi karena belum diputuskan, ya tentu saya tunggu. Saya pun ikut dalam koalisi [KIM]. Secara filosofi mau di Jabar, DKI, di mana saja, sama saja. Melayani rakyat,” ujar Ridwan Kamil.
Anang berpandangan ketegangan Golkar dan Gerindra di pilkada bisa berdampak terhadap keharmonisan KIM ke depannya. Apalagi jika Ridwan Kamil dipaksakan maju di Pilgub Jakarta dan Dedi Mulyadi di Jabar.
Namun ketegangan itu, kata Anang, bisa diredam dengan kompensasi kursi menteri bagi Golkar di kabinet Prabowo. Airlangga sebelumnya sudah melempar kode kepada Prabowo meminta jatah 5 menteri.
“Sepanas apa pun kontestasi antara Gerindra-Golkar di pilkada provinsi atau kabupaten/kota, kuncinya satu, bagaimana kompromi terbentuk dalam kabinet. Kalau tidak terjadi sebuah kompromi, bisa jadi KIM akan tidak berjalan dengan manis,“ kata Anang.
“Perang” di Pilkada demi Pilpres 2029
Manuver politik Gerindra di Pilkada, termasuk menempatkan kader dan pendukung Prabowo di jabatan strategis, dinilai terkait dengan kepentingan Pilpres 2029. Sejauh ini terdapat belasan orang dekat dan pendukung Prabowo yang menempati jabatan komisaris BUMN maupun masuk kabinet di akhir periode Joko Widodo.
Mereka di antaranya Wamenkeu Thomas Djiwandono, Wamentan Sudaryono, Komut MIND ID Fuad Bawazier, Komut Pertamina Simon Aloysius Mantiri, dan Komisaris Independen Pos Indonesia Fauzi Baadilah.
Dua sumber kumparan di elite Gerindra menyatakan, kepemimpinan Prabowo diharapkan bisa sampai dua periode sehingga Gerindra perlu menempatkan orang-orang kepercayaannya di jabatan strategis.
Terkait Pilkada, upaya Gerindra memajukan kadernya di beberapa wilayah bertujuan menguatkan kaki-kaki mereka di daerah, sebab di Indonesia, basis kekuatan partai di suatu wilayah bisa ditentukan dari pemimpinnya.
Maka jika dikaitkan dengan Pilgub Jabar, Gerindra berkepentingan menempatkan kadernya sebagai gubernur agar suara partai di provinsi lumbung suara itu bisa meningkat. Sebab di Pileg 2024, suara Gerindra secara nasional di Jabar disalip Golkar.
Pada Pileg 2019, Gerindra sempat menang di Jabar dengan raihan 4,32 juta suara dan Golkar berada di posisi keempat dengan 3,23 juta suara. Namun di Pileg 2024, Golkar merebut kemenangan di Jawa Barat dengan raihan 4,29 juta suara dan Gerindra di posisi kedua dengan 4,19 juta suara.
Sumber lain di elite KIM menilai Golkar enggan melepas Ridwan Kamil ke Pilgub Jakarta karena bakal berdampak ke basis suara mereka di Jabar.
Terkait kepentingan menuju 2029, Idrus Marham meyakini tidak ada saling sikut dengan Gerindra. Idrus menyebut partainya sudah ada kesepahaman dengan Prabowo soal koalisi politik jangka panjang bahkan sampai 2045.
“Bahkan sudah berbicara [dengan Gerindra] soal skenario politik ke depan termasuk 2029. Kalau Airlangga tetap jadi Ketum Golkar dengan pengorbanannya tetap punya tanggung jawab mengawal ini supaya sukses kepemimpinan Prabowo. Sehingga saat itu (2029) presiden sudah tidak dibahas lagi di KIM, tinggal disimulasikan siapa cawapres apakah masih Gibran atau tidak,” ucap Idrus.
Dalam hal ini, Anang menilai setiap parpol tentu punya kepentingan jangka panjang seperti di Pilpres 2029, termasuk Gerindra dan Golkar. Namun, untuk saat ini, Gerindra lebih bisa bermanuver dengan memasang orang-orang tertentu di jabatan strategis, termasuk kepala daerah, karena Prabowo merupakan presiden terpilih.
“Kalau di atas angin, memimpin, ya pasti kemudian kepala daerahnya pun diharapkan dari kader-kadernya. Ini sama seperti PDIP [di Pilkada] sebelum-sebelumnya,” kata Anang.
Golkar-Gerindra Bantah Koalisi Retak
Meski isu keretakan berembus kencang, kedua partai sama-sama telah membantah. Sekjen Gerindra Ahmad Muzani menyatakan perbedaan calon yang diusung di Pilkada bukan berarti ada perpecahan. Ia menegaskan Prabowo dan Gerindra tidak memiliki masalah personal dengan partai mana pun.
Muzani justru menyebut KIM, khususnya Gerindra dan Golkar, sudah hampir sepakat soal calon yang akan diusung di Pilgub Jakarta dan Jawa Barat.
“Tambah lengket (partai-partai KIM). Hampir aja (mencapai kesepakatan di Pilgub Jabar dan DKI),” kata Muzani, (22/7).
Pernyataan senada disampaikan Airlangga. "Tidak ada (perpecahan), KIM masih sangat solid," ucapnya.
Tiga politikus Golkar Idrus Marham, Dave Laksono, dan Melchias Mekeng, juga menampik ada ketegangan dengan Gerindra. Airlangga disebut masih rutin berkomunikasi dengan Prabowo dan keduanya saling menghormati.
“Kami baik-baik saja [dengan Gerindra]. Kami tidak pernah mencampuri urusan internal orang. Kami berharap juga orang tidak mencampuri urusan internal kami karena setiap partai punya kedaulatan masing-masing,” ucap Mekeng.
Ia menyebut perbedaan jagoan di Pilkada merupakan dinamika politik biasa. Terpenting Golkar dalam mendukung calon berbasis rasionalitas melalui survei.
“Normalnya kalau ada kader Gerindra elektabilitasnya tinggi pasti Golkar akan dukung. Kita berharap juga kalau partai Golkar kadernya kuat ya Gerindra dukung. Tapi kalau ada pertimbangan lain wajar-wajar saja, enggak ada yang salah,” jelas Mekeng.
Demokrat dan PAN juga menyatakan KIM tetap solid, walau tak bisa selalu bersama di tiap Pilkada. Politikus Demokrat, Kamhar Lakumani, menyatakan masing-masing parpol punya independensi menentukan koalisinya di tiap-tiap daerah, sekalipun di tingkat pusat Prabowo merupakan pimpinan KIM.
“Semuanya berangkat dari pemikiran dan pemahaman bahwa semua partai yang tergabung punya kedaulatan, punya independensi, Karenanya kalau kemudian ada yang tidak mungkin bisa sama, perbedaan itu dihargai, karena memang semuanya berangkat dari perbedaan. Tiap partai ini punya kepentingan politik strategis masing-masing,” jelas Kamhar.
Sementara Yandri menyebut Pilkada merupakan relaksasi politik pasca-Pilpres. Sehingga koalisi yang dibangun di daerah tidak mutlak harus dengan KIM.
“Beberapa daerah tidak ada titik temu di KIM itu menyangkut chemistry dan kearifan lokal. Jadi tidak bisa dipaksakan di kabupaten/kota maupun provinsi harus dengan KIM. Kami saling menghormati, saling memahami keputusan rumah tangga masing-masing. Tapi memang dialog di tingkat pusat para ketua umum itu biasanya saling mencocokkan kalau masih bisa,” ucap Yandri.
Meskipun partai-partai di KIM saling berhadapan di sejumlah pilkada, Golkar, Demokrat, dan PAN memandangnya sebagai sesuatu yang positif. Sebab ujung-ujungnya calon dari KIM yang bakal menang. Yandri mencontohkan di Pilgub Banten sekalipun Andra Soni dan Airin bakal berhadapan, pemenangnya merupakan representasi KIM.
“Bila ada 2 atau 3 calon dan semuanya calon-calon dari KIM enggak masalah, karena yang penting ujungnya KIM tetap lanjut dari pemerintahan pusat hingga daerah,” ujar Dave Laksono, politikus Golkar.
“Walaupun misalnya KIM harus berada pada posisi yang berhadap-hadapan, tapi ketika memenangkan kontestasi pilkada, kepala daerah itu adalah kader dari partai yang tergabung di Koalisi Indonesia Maju,” tutup Kamhar.