Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Pasrahnya Warga Jepang Hidup di Bawah Intaian Nuklir Korut
1 Mei 2017 17:51 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
ADVERTISEMENT
Beberapa bulan terakhir masyarakat Jepang tengah diintai ancaman rudal nuklir Korea Utara yang bisa datang kapan saja. Ancaman terutama tertuju kepada warga Jepang yang tinggal di dekat pangkalan militer Amerika Serikat, sasaran tembak utama Korut.
ADVERTISEMENT
Ketakutan sudah barang tentu. Namun warga Jepang pasrah saja pada nasib. Pasalnya, jika serangan itu datang, mereka tidak bisa lari ke mana-mana. Hal ini diakui oleh Seijiro Kurosawa, sopir taksi di kota Fussa, tempat pangkalan udara Yokota milik AS berada.
"Mustahil. Tidak mungkin kami bisa menghindarinya. Kami tidak punya bunker, tempat perlindungan atau semacamnya," kata Kurosawa kepada Associated Press, Minggu (30/4).
Perusahaannya baru-baru ini menginstruksikan para pengendara taksi untuk meninggalkan mobil mereka dan segera berlindung jika ada serangan. Kurosawa tidak tahu harus berlindung ke mana. "Kami hanya bisa lari, mungkin ke dalam pusat perbelanjaan," kata dia.
Beberapa pekan terakhir siaran televisi di Jepang dipenuhi perbincangan soal ancaman serangan rudal nuklir Korut. Rezim Kim Jong Un belakangan memang tengah gencar melakukan uji rudal yang terakhir jatuh di Laut Jepang.
ADVERTISEMENT
Korut kerap mengancam akan menyerang AS dengan rudal nuklir mereka. Dengan teknologi rudal Korut saat ini, para ahli memperkirakan Pyongyang paling banter menyerang AS di pangkalan militer mereka di Jepang. Total ada 50 ribu tentara AS di berbagai pangkalan militer negara itu.
Di situs manajemen krisis Jepang, tercantum cara melindungi diri saat terjadi serangan. Yaitu, segera berlindung di bangunan yang kuat, atau lantai bawah tanah pusat perbelanjaan jika bunker tidak bisa ditemukan. Jika serangan kimia terjadi, tutup hidung dan mulut dengan kain dan rapatkan pintu serta jendela rumah.
Maret lalu di Prefektur Akita, Jepang bagian utara, warga melakukan latihan tanggap serangan. Pemerintah Jepang juga memerintahkan 47 prefektur untuk melakukan latihan yang sama. Tapi sejauh ini baru tiga yang melakukannya.
ADVERTISEMENT
Di kota Fussa, ancaman itu bukannya tidak terdengar. Namun warga kota berpopulasi 58 ribu orang seakan berusaha untuk tidak peduli, beraktivitas seperti biasa. Padahal di kota-kota besar, berdasarkan laporan di televisi, warga-warga berduit mulai memborong masker gas sebagai perlindungan pertama jika serangan terjadi.
"Apa yang terjadi, terjadilah. Berusahalah tenang. Apakah Yokota jadi pertama yang diserang? Saya ragu, dan sejujurnya saya tidak terlalu takut," kata Jumpei Takemiya, pemilik toko reparasi sepatu di seberang pangkalan militer Yokota.
Baca juga: Lantunan Alarm Pagi Korut Bikin Merinding
"Lihatlah, tidak ada peningkatan keamanan atau perkembangan luar biasa di sekitar sini," lanjut pria 34 tahun ini lagi.
Bagi Yoshio Takagi, pembicaraan soal rudal Korut mengingatkannya akan kenangan Perang Dunia II. Saat itu pria yang kini berusia 75 tahun itu direlokasi ke desa untuk menghindari bom-bom yang dijatuhkan tentara AS di sekitar Tokyo. Dua kakaknya tewas saat itu.
ADVERTISEMENT
"Ketegangan meningkat dan situasi tidak bisa diprediksi di bawah Trump. Tapi Jepang bergantung pada militer AS dan ada pangkalan di sini, saya kira kami harus menerima konsekuensi itu," tutur Takagi.
Sementara warga Fussa lainnya menganggap ancaman Korut cuma pepesan kosong.
"Ancaman Korut kebanyakan hanya gertakan militer saja, dan ketakutan akan rudal dipicu kebanyakan oleh televisi," kata Hiroki Fujii, yang tinggal dekat Yokota.
Akinori Otani mengaku lebih khawatir ancaman pesawat militer AS jatuh ke rumah ketimbang serangan Korut. Salah satu yang membuat warga ketakutan adalah pesawat baling-baling MV-22 "Osprey" yang hilir mudik di langit Fussa.
"Saya lebih khawatir ancaman mereka [Osprey] daripada rudal yang saya kita tidak akan menghantam kami," kata Otani.
ADVERTISEMENT