Pemerintah Dinilai Tak Punya Itikad Baik dalam Kasus Karhutla Kalteng

14 Juni 2020 19:15 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Api membakar hutan dan lahan gambut di jalan Gubernur Syarkawi, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, Selasa (15/10/2019). Foto: ANTARA FOTO/Bayu Pratama S
zoom-in-whitePerbesar
Api membakar hutan dan lahan gambut di jalan Gubernur Syarkawi, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, Selasa (15/10/2019). Foto: ANTARA FOTO/Bayu Pratama S
Ketua Koordinator Greenpeace Aries Rompas menilai langkah pemerintah dalam mengajukan Peninjauan Kembali terhadap gugatan masyarakat Kalimantan Tengah menunjukan tidak adanya itikad baik dalam menyelesaikan masalah Karhutla di Kalteng. Pengajuan PK sama saja membuat proses hukum kian panjang dan berbelit.
"Putusan Mahkamah Agung itu menunjukkan ada kesalahan yang dilakukan pemerintah dalam konteks kebijakan untuk penanggulangan kebakaran hutan dan lahan," kata Aries kepada kumparan, Kamis (11/6).
Menurutnya, daripada sibuk mengajukan PK, sebaiknya pemerintah menjalankan segala putusan yang telah ditetapkan oleh MA. Masalahnya, sejak proses hukum di tingkat pertama hingga tingkat tiga, masyarakat Kalteng selalu mendapatkan kemenangan.
Sebelumnya, pemerintah mengajukan permohonan kasasi kepada MA pada 2018. Akan tetapi, lagi dan lagi kasasi itu ditolak oleh Ketua Majelis Hakim MA Nurul Elmiyah, anggota Hakim Pri Pambudi, dan I Gusti Agung Sumanatha.
Putusan itu diketok pada Selasa (16/7/2019), sebagaimana tercantum dengan nomor perkara 3555K/PDT/2018. Putusan tersebut menguatkan putusan PN Palangkaraya di tingkat satu dan putusan PT Palangkaraya di tingkat dua. Dengan demikian pemerintah sudah kalah 0-3 dari citizen lawsuit yang diajukan masyarakat.
Kini bukan berarti dengan mengajukan PK, pemerintah bisa santai dengan tidak melakukan eksekusi tuntutan. Aries menilai, eksekusi wajib dijalankan meskipun proses PK sedang berlangsung.
Untuk mengetahui proses hukum, dan persiapan koalisi masyarakat yang tergabung dalam Gerakan Anti Asap (GAAs) dalam menghadapi proses PK pemerintah, berikut perbincangan kumparan dengan Koordinator Greenpeace sekaligus juru bicara GAAs Aries Rompas.
Seorang petugas pemadam kebakaran memadamkan api di lahan gambut dan hutan yang terbakar di taman nasional Sebangau pada tanggal 14 September 2019 di pinggiran kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Indonesia. Foto: Getty Images/Ulet Ifansasti
Bagaimana anda melihat putusan Mahkamah Agung soal kebakaran hutan dan lahan?
Sebenarnya putusan Mahkamah Agung itu menunjukan ada kesalahan yang dilakukan pemerintah dalam konteks kebijakan untuk penanggulangan kebakaran hutan dan lahan. kami sebenArnya mewakili masyarakat Kalimantan Tengah yang setiap tahun mengalami kebakaran hutan dan lahan juga kabut asap. Dan beruntung kami bisa meyakinkan pengadilan itu sampai putusan MA ditetapkan bahwa kasasi itu ditolak.
Tentunya kami secara hukum sudah inkrah di putusan MA dan seharusnya pemerintah mengeksekusi putusan tersebut. Tapi sayangnya mereka mengajukan Peninjauan Kembali kami mingggu lalu baru mendapatkan rilis PK yang memang PK-nya itu masih berasal dari pemerintah provinsi Kalteng. Jadi memang sangat disayangkan bahwa pemerintah masih mengajukan PK padahal kalau dilihat putusan itu, itukan semuanya tidak ada permintaan material.
Anda kecewa dengan sikap pemerintah?
Melihat proses PK yang mereka ajukan ya saya rasa kami melihat mereka tidak memiliki itikad yang baik untuk menjalankan putusan itu. Artinya kebutuhan peraturan kebijakan yang mereka tidak lakukan yang kemudian diperintahkan oleh pengadilan untuk melakukan itu termasuk salah satunya mendirikan rumah sakit paru.
Kalau melihat putusan itu sebenarnya itu untuk kebutuhan publik dan memang sudah menjadi tanggung jawab pemerintah. Jadi putusan MA itu dianggap pengadilan dan kemudian memperkuat. Jadi sebenernya pengadilan ini memperkuat kewajiban yang seharusnya dilakukan pemerintah dan harus dilakukan.
Jika proses hukum ini kian panjang apa dampak bagi masyarakat Kalimantan Tengah?
Di luar putusan MA itu sebenarnya ancaman kebakaran hutan itu masi terjadi. Gugatan yang kami ajukan itu adalah tahun 2015 terjadi kebakaran dan tahun 2019 itu terjadi lagi. Artinya memang pemerintah lalai dan tidak memiliki keinginan yang tulus untuk melindungi hak2 warga negara yang sudah diatur oleh kontitusi sebenernya.
Jadi angka dan fakta-fakta itu menunjukan memang kebakaran hutan belum ditangani secara serius oleh pemerintah dan mereka menjalankan itu seperti bisnis us usual aja. Jadi tidak ada effort yang lebih maju dari cara penanganan yang lama.
Faktor apa saja yang membuat kebakaran lahan di Kalteng ini begitu parah?
Kalau kami melihat sebenarnya faktor utamanya karena kegagalan pembangunan lahan gambut 1 juta hektare di Kalteng. Itu yang memicu kerusakan awal karena dilakukan pengeringan dan pembukaan lahan gambut itu sebenarnya mempercepat kerusakan gambut yang menjadi sumber api selama bertahun-tahun.
Yang kedua memang faktor penegakan hukum yang tidak efektif dilakukan oleh pemerintah karena selama ini kami melihat bahwa yang melakukan pembakaran hutan dan lahan itu ya perkebunan-perkebunan sawit yang juga memperparah kerusakan dan mereka melakukan praktik kebakaran hutan dan lahan. Jadi penegakan hukum itu juga tidak diijalankan.
Jokowi meninjau kebakaran hutan. Foto: Dok. Istimewa
Apakah ada peningkatan pelayanan bagi masyarakat sejak 2015?
Kami melihat sama aja. Misalnya penegakan hukum itu dari data yang kemudian diolah sama Greenpeace kejadian kebakaran itu sering terjadi berulang. Sementara penegakan hukum itu tidak efektif dilakukan terutama untuk perusahaan-perusahaan besar. Jadi tidak ada effort lebih sebenarnya. Sementara ada Badan Restorasi Gambut misalnya untuk merehabilitasi lahan itu juga tidak efektif untuk memulihkan kembali lahan gambut sehingga ya bisnis us usual aja yang dilakukan pemerintah.
Apa yang membuat penegakan hukum ini tidak efektif?
Jadi memang ada keengganan bagi pemerintah khususnya penegakan hukum untuk melakukan penegakan yang efektif. Jadi selama ini sebenarnya perusahaan yang terbukti melanggar itu bahkan tidak ada sama sekali yang dicabut di Kalteng. Sehingga tidak ada efek jera. Dan kami melihat ada kolusi antara pemerintah, penegak hukum, dengan perusahaan tersebut.
Ada beberapa kasus yang kemudian sudah diputuskan inkrah di pengadilan kalau di Kalteng itu ada sekitar tiga yang sudah inkrah terkait kasus 2015. Tetapi juga persoalannya putusan itu sifatnya denda. Jadi ada perusahaan yang diputus itu juga denda dan itu tidak mampu ditagih oleh pemerintah. Jadi ya nggak ada efek jera.
Kepala Biro Hukum Pemprov Kalimantan Tengah Saring mengklaim bahwa semua keputusan baik di pengadilan tingkat satu sampai tingkat tiga yang dibebankan kepada Pemprov seluruhnya sudah dilaksanakan. Mulai dari penegakan hukum terhadap korporasi sampai soal alokasi anggaran penanganan karhutla seluruhnya sudah dilakukan.
"Jadi kebakaran hutan itu artinya tidak semuka-muka dipertanggungjawabkan oleh pemerintah daerah. Semua yang terlibat yang harus bertanggung jawab kan sejauh ini sudah diproses juga," imbuhnya.
"Setiap tahun ada (alokasi anggaran). Kemungkinan untuk penanganan Karhutla itu setiap tahun sudah jalan tapi kan namanya bencana alam ya seperti itu (tidak bisa dicegah)."
Apa yang Anda siapkan dalam menghadapi PK pemerintah?
Kawan-kawan sedang mempersiapkan kontra memori PK karena sebenarnya kalau kami melihat novum yang diajukan itu seharusnya novum itu kan bukti baru yang kuat. Tapi kami melihat tidak sinifikan dan kami sedang menyusun kontra memori PK-nya. Kedua, kami akan segera meminta eksekusi karena PK itu tidak menghentikan eksekusi dan itu yang sedang kami diskusikan dengan teman-teman pengacara.
* * *
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona)
* * *
Yuk, bantu donasi untuk atasi dampak corona.