Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Pemerintah mengajukan PK atas gugatan kebakaran hutan dan lahan Kalimantan Tengah. Menjalani hidup sehat bebas asap karhutla masih menunggu lama.
Kartika Sari masih ingat warna oranye yang mengisi langit Palangkaraya pada pertengahan tahun 2015. Warna itulah yang mengantar sakit pada anaknya yang berusia 3 tahun kala itu. Anaknya mengalami sesak, mual, dan muntah.
Sakit yang sama ia rasakan ketika berkendara di jalanan. Tika, demikian ia dipanggil, kala itu masih menjadi marketing salah satu produk obat-obatan. Ia sering membelah ibu kota Kalimantan Tengah, masuk ke rumah sakit, dan menyaksikan pewarna oranye langit membuat penduduk mengeluh sakit pernapasan.
Warna itu berasal dari asap kebakaran hutan gambut yang mengepung Palangkaraya akibat kebakaran hutan. Api merambah lebih dari 800.000 hektare hutan di delapan provinsi. Catatan Bank Dunia menuliskan kerugian kebakaran hutan di Kalimantan mencapai Rp 221 triliun.
Ketebalan asap hasil kebakaran hutan dan lahan membuat jarak pandang hanya tersisa tiga meter. Dengung klakson dan lampu kendaraan bermotor sesekali menyembul dari balik kepulan asap. Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) di Palangkaraya periode September-Oktober terburuk pernah menembus angka 2.230.
"Padahal 300 itu sudah berbahaya. Jadi bisa dibayangkan dan udaranya nggak cuma putih karena asap, tapi sudah membara oranye," cerita Kartika kepada kumparan, Jumat (12/6).
Menyitat data Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan, jumlah kasus ISPA akibat asap di Kalteng periode Juli-Oktober 2015 mencatat angka 64.396 penderita. Sementara itu, di periode yang sama kasus penderita terbanyak terjadi di Provinsi Jambi dengan total penderita sebanyak 152.390.
Derita yang Tika alami dan lihat membuatnya bergabung dengan Gerakan Anti Asap (GAAs). Ia duduk kursi penggugat bersama Aries Rompas, Kartika Sari, Fakhturroman, Mariaty, Nordin, Herlina, dan Afandi. Mereka mendaftarkan gugatan warga (citizen lawsuit/CLS) ke Pengadilan Negeri Palangkaraya pada 2016.
Tujuh lembaga pemerintah duduk sebagai tergugat, yakni Presiden RI, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Pertanian, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, Gubernur Kalimantan Tengah, dan DPRD Kalimantan Tengah.
Tahap demi tahap persidangan ia lalui dengan hasil menggembirakan. Pada 22 Maret 2017 PN Palangkaraya memutus tujuh tergugat telah melanggar hukum melalui putusan No.118/Pdt.G/LH/2016/PN.Plk. Putusan itu dikuatkan Pengadilan Tinggi Kalimantan Tengah melalui putusan 36/PDT/2017/PT PLK pada September 2017.
Terakhir mereka kembali memenangkan perkara di tingkat kasasi. Tiga majelis hakim agung mengetok palu terhadap perkara bernomor 3555/ K/ PDT/ 2018 pada Juli 2019 dan kembali menyatakan pemerintah melanggar hukum (putusan lengkap bisa dibaca di sini ).
Gugatan yang kabul di tangan hakim itu sebenarnya tak lebih dari standar kelayakan hidup bagi korban terdampak kebakaran hutan dan penanganan kebakaran hutan. Presiden Jokowi (tergugat I) diminta untuk segera menerbitkan Peraturan Pelaksana dari Undang-Undang No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang penting bagi pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan dengan melibatkan peran serta masyarakat.
Menteri LHK, Menteri Pertanian, dan Menteri Agraria, selaku tergugat II, III, dan IV, diminta membuat tim gabungan dengan berbagai tujuan. Pertama, meninjau ulang dan merevisi izin-izin usaha pengelolaan hutan dan perkebunan yang telah terbakar maupun belum terbakar berdasarkan pemenuhan kriteria penerbitan izin serta daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah.
Kedua, menegakkan hukum lingkungan perdata, pidana, maupun administrasi atas perusahan-perusahaan yang lahannya terjadi kebakaran. Ketiga, Membuat roadmap pencegahan dini, penanggulangan dan pemulihan korban kebakaran hutan dan lahan serta pemulihan lingkungan. Pembentukan tim ini juga harus ditetapkan melalui Perppu atau Perpres sebagai dasar hukum.
Selain itu, tergugat juga wajib mendirikan rumah sakit khusus paru dan penyakit lain akibat pencemaran asap akibat karhutla di Kalteng dan wajib membebaskan seluruh biaya pengobatan bagi masyarakat terdampak asap.
Poin putusan untuk Gubernur dan DPRD Kalimantan Tengah (tergugat VI dan VII), mereka harus segera menyusun dan mengesahkan Perda tentang perlindungan kawasan lindung seperti amanat dalam Kepres No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung.
Tetapi kabar kemenangan ini tak lantas membawa perubahan. Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah, selaku tergugat VI, mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan kasasi itu pada Senin (8/6). Ketua Tim Kampanye Greenpeace, Arie Rompas, yang saat melayangkan gugatan pada 2016 duduk sebagai penggugat dari Wahana Lingkungan Hidup Kalimantan Tengah merasa kecewa dengan langkah pemerintah.
Ia merasa tak ada itikad baik dari lembaga pemerintah yang tertera sebagai tergugat untuk menangani kebakaran hutan dan memberikan kelayakan hidup. Isi gugatan yang kabul itu tak lebih dari kebutuhan publik yang pada dasarnya menjadi tanggung jawab pemerintah.
"Tentunya kami secara hukum sudah inkrah di putusan MA," kata Aries, melalui sambungan telepon, Kamis (11/6). "Padahal kalau dilihat dari putusan itu, semuanya tidak ada permintaan material."
Ia paham PK adalah upaya hukum yang sah. Tetapi api di hutan Kalimantan Tengah sepanjang proses persidangan terus mengancam. Terbukti pada 2019 api itu kembali bergolak dan menciptakan kebakaran cukup besar.
Menurutnya beberapa faktor yang membuat karhutla di Kalteng begitu parah, antara lain adalah kegagalan pembangunan lahan gambut satu juta hektare program Presiden Soeharto. Selain itu faktor penegakan hukum yang tidak efektif terhadap korporasi biang kebakaran juga memperburuk upaya pemerintah dalam penanganan karhutla.
"Kedua memang kami terus mengalami dampak dan korban setiap tahun dan tidak ada effort dari pemerintah," imbuhnya.
Meski sedang mengajukan PK pemerintah seharusnya tidak bisa berdalih dengan menunda eksekusi putusan kasasi MA. Masalahnya isi gugatan tidak hanya soal pembuatan regulasi, tetapi juga pembentukan tim gabungan untuk penyelesaian masalah kebakaran hutan, serta fasilitas kesehatan.
Untuk meladeni gugatan PK Pemprov Kalteng, kini, GAAs sedang mempersiapkan kontra memori PK yang segera akan diajukan ke PN Palangkaraya. "Kami melihat novum (Pemprov) tidak signifikan. Kami akan segera meminta eksekusi karena PK tidak menghentikan eksekusi."
Pengajuan PK sendiri dilayangkan oleh Pemprov Kalimantan Tengah sebagai tergugat VI. Kepala Biro Hukum Pemprov Kalteng Saring menjelaskan bahwa selepas putusan MA, Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko langsung mengumpulkan seluruh pihak tergugat di Kantor KSP. Saat itu Moeldoko meminta masing-masing tergugat untuk melakukan upaya hukum dalam mengajukan PK. Artinya akan ada tujuh PK dalam beberapa waktu ke depan.
"Jadi pada saat rapat itu, disepakati semuanya untuk melakukan upaya hukum sesuai dengan kapasitas masing-masing tergugat. PK kan tidak dibatasi waktunya kan masih bisa aja nanti," kata Saring kepada kumparan melalui sambungan telepon, Jumat (12/6).
Kini, Pemprov Kalteng telah mengajukan PK ke PN Palangkaraya pada Kamis (14/5), karena novumnya (bukti baru) sudah siap. Menurut Saring, novum yang diajukan hanya yang berkaitan dengan putusan tergugat enam dalam hal ini Pemprov Kalteng.
Adapun alasan Pemprov Kalteng mengajukan PK adalah, karena adanya bukti baru yang belum disampaikan pada saat proses persidangan sebelumnya. Dengan adanya bukti tersebut diharapkan putusan pengadilan bisa berbeda dan lebih ringan.
Ia mengklaim bahwa semua keputusan baik di pengadilan tingkat satu sampai tingkat tiga yang dibebankan kepada Pemprov seluruhnya sudah dilaksanakan. Mulai dari penegakan hukum terhadap korporasi sampai soal alokasi anggaran penanganan karhutla seluruhnya sudah dilakukan.
"Jadi kebakaran hutan itu artinya tidak semuka-muka dipertanggungjawabkan oleh pemerintah daerah. Semua yang terlibat yang harus bertanggung jawab kan sejauh ini sudah diproses juga," imbuhnya.
"Setiap tahun ada (alokasi anggaran). Kemungkinan untuk penanganan Karhutla itu setiap tahun sudah jalan tapi kan namanya bencana alam ya seperti itu (tidak bisa dicegah)."
Moeldoko memang sempat menegaskan upaya pemerintah yang akan mengajukan PK. Hal itu ia sampaikan di Kantor KSP pada Jumat (19/7/2019). Moeldoko menyebut sebenarnya pemerintah sudah melakukan langkah-langkah perbaikan khususnya atas dampak yang ditimbulkan Karhutla.
"Ya pastinya nanti kan ada pengacara negara melakukan langkah-langkah itu (PK)," jelas Moeldoko, di Kantor KSP, Kompleks Istana Negara, Jumat pada tanggal 19 Juli 2019 lalu.
kumparan telah menghubungi Juru Bicara Presiden Fadjroel Rahman dan Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Dini Purwono untuk menanyakan kapan kesedian pemerintah mengeksekusi putusan MA. Namun hingga kini sejumlah pertanyaan belum direspons.
Memanen perubahan lewat jalur hukum nampaknya masih berbelit. Apalagi jika setiap tergugat mengajukan PK sendiri-sendiri. Upaya hukum ini memang dijamin oleh perundangan.
Tetapi panjangnya jalur hukum ini bakal terus membuat Tika maupun penduduk sekitar Palangkaraya untuk terus berurusan dengan asap. Data SiPongi Karhutla Monitoring System Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2015 mencatat Provinsi Kalteng menjadi wilayah paling parah kedua sesudah Sumatera Selatan yang mengalami karhutla. Total seluas 583.833,44 hektare hutan dan lahan di 12 kabupaten/kota seluruh Kalteng ludes dilahap si jago merah.
Tiap kemarau datang, mereka harus menyiapkan balok es atau kain basah untuk menyumpal celah dinding, baik itu jendela atau lubang angin, agar tak tercekik asap.
* * *
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona )
* * *
Yuk, bantu donasi untuk atasi dampak corona.