LIPSUS, Pengawas Bawaslu

Pengawal Pemilu, Amankan Hak Pilih Waria hingga Suku Minoritas

3 April 2019 13:33 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pasukan Pengawas Pemilu. Foto: Herun Ricky/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Pasukan Pengawas Pemilu. Foto: Herun Ricky/kumparan
ADVERTISEMENT
Ketukan pintu Rikky MF di beberapa rumah kontrakan di Kampung Duri, Jakarta Barat, nyaris tak mendapat jawaban pada suatu sore. Para waria yang ada di belakang pintu rumah-rumah itu masih terlelap, lelah bekerja sepanjang malam. Beberapa waria yang berhasil membuka mata dan pintu pun tak mau tahu ketika Rikky menanyakan soal hak pilih mereka saat pemilu 2019 kelak.
ADVERTISEMENT
Gemerlap ibukota adalah pelarian para waria dari kampung, mereka menyingkir dari keluarga dan ditolak tetangga. Jangankan berpikir soal hak pilih pemilu. Mereka sampai-sampai tak pernah berpikir soal surat identitas diri ketika menginjak Jakarta.
“Mereka pun pindah ke kota baru yang bisa menerima mereka, tanpa KK dan kebanyakan tanpa kartu identitas,” kata Rikky kepada kumparan, Selasa (2/4).
Rikky adalah aktivis Rumah Pemilu, salah satu divisi Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem). Ia menyisir waria di Kampung Duri, Tanah Abang, Jatinegara, dan Bogor, untuk memastikan mereka mendapatkan hak pilih Pemilu 2019.
Kerja kelompok Rikky ini tak sepele, ada ribuan waria di Jabodetabek. Menurut data NGO Gaya Warna Lentera, jumlah waria yang terdata di BPS hanya 32 ribu jiwa. Sedangkan Perludem memperkirakan jumlah waria mencapai 2 juta waria di seluruh Indonesia.
Pendampingan kaum waria oleh Perludem. Foto: Dok. Perludem
Para waria tersebut kebanyakan memiliki masalah yang sama, tak punya e-KTP karena tak punya Kartu Keluarga. Surat keterangan itu merupakan bagian masa lalu yang ditinggalkan. Rata-rata mereka sudah meninggalkan rumah sejak usia remaja karena diusir atau ditolak oleh lingkungan sekitar.
ADVERTISEMENT
"Untuk mengurus KK, syarat awal ke kelurahan saja mereka ragu karena takutnya justru menghadapi berbagai diskriminasi itu. Akhirnya mereka bersikap pasif," ujar Rikky.
Rikky tak hanya datang dan bertanya saja, ia mendampingi waria ini sejak pertengahan 2018 lalu. Semangat beberapa waria untuk ikut serta di pemilu bangkit. Rikky membantu mengurus e-KTP dan masuk DPT tapi jumlahnya masih sedikit.
Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, menyebutkan pemenuhan hak pilih kelompok marjinal seringkali lepas dari perhatian KPU. Lembaganya pun lantas mengambil peran untuk membantu pemenuhan hak pilih ini.
“Tak ada warga negara yang hak pilihnya didiskriminasi. Misalnya, waria itu kan punya hak pilih tapi mereka punya keterbatasan terkait akses identitas kependudukan. Mereka ini kan kehilangan hak pilih karena prosedur administrasi yang bukan salah mereka,” kata Titi.
ADVERTISEMENT
Kelompok minoritas ini tersebar di seluruh Indonesia, seperti masyarakat adat. Titi mengungkap hak pilih mereka juga terancam. Salah satunya adalah Suku Kajang di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.
Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini. Foto: Dicky Adam Sidiq/kumparan
Perkara yang mereka hadapi hampir sama, Suku Kajang tak mau mengikuti prosedur perekaman KTP elektronik, yakni mengikuti sesi foto tanpa aksesoris di kepala. Kain tutup kepala mereka, passapu, pantang dilepas karena merupakan bagian dari identitas diri secara adat.
Kain ini bagian dari busana tradisional sehari-hari, yakni sarung hitam dan kemeja hitam. Melepas tutup kepala merupakan pelanggaran adat. Alhasil, dari sekitar 3.900-an warga Suku Kajang, masih banyak yang belum memiliki e-KTP dan terancam tak bisa ikut mencoblos di Pemilu Serentak 17 April mendatang.
ADVERTISEMENT
Titi pun lantas menggandeng Komite Pemantau Legislatif (KOPEL), yang memiliki jejaring luas di Sulawesi sejak 2018, mendorong agar warga Suku Kajang tetap bisa melakukan perekaman e-KTP tanpa harus membuka tutup kepalanya.
“Akhirnya belakangan mencoba tanpa membuka itu dibolehkan. Beberapa sudah bisa dan akhirnya masuk ke DPT karena mereka tidak harus membuka,” tutur Titi.
Masyarakat Suku Kajang Foto: Dok: Antarafoto
Ancaman kehilangan hak pilih juga terjadi pada masyarakat di lahan sengketa, misal saja masyarakat Serdang Bedagai, Sumatera Utara. Mereka tak dapat mengisi alamat tinggal karena lahan yang mereka berada di tengah sengketa dengan perusahaan perkebunan. Banyak warga tak bisa mengurus e-KTP karena lahan yang mereka tinggali masih sengketa.
Mau tidak mau, mereka harus menyelesaikan soal sengketa tanah terlebih dahulu. Padahal, waktu pencoblosan sudah makin dekat. "Ini sulit karena negara tak bisa menerbitkan e-KTP karena basisnya adalah yuridis," kata Titi.
ADVERTISEMENT
Selain itu keterbatasan akses juga menjadi salah satu hambatan perekaman data e-KTP. Sebut saja di Kabupaten Keerom, Jayapura, Papua. Boro-boro berpikir untuk nyoblos, warga Keerom belum paham soal pentingnya memiliki e-KTP.
Riuh pemilu serentak tak menembus telinga penduduk Keerom. Selain aksesnya yang sulit dijangkau, sistem sosial warga Keerom yang cenderung tertutup. Mereka tak tersentuh beragam layanan kependudukan dan layanan publik lainnya.
Data tempat pendaftaran pemantau Pemilu. Foto: Dok. Bawaslu
“Jadi memang seluruh warga belum terinformasi dengan baik. Jangan bayangkan semua warga Indonesia terinformasi seperti di Jakarta. Masih jauh,” kata Titi.
Lubang ini sedikit demi sedikit bisa ditambal. Lambat laun, berkat advokasi Perludem dan Kopel, warga Keerom sudah melakukan perekaman e-KTP dan bersemangat mengikuti pemilu. Titi mengakui lembaganya memang menitikberatkan pengawalan pemilu bagi bagi masyarakat adat dan minoritas.
ADVERTISEMENT
Ia yakin tangan lembaganya belum menjangkau semua kelompok masyarakat yang belum tersentuh e-KTP dan mendapatkan hak pilih. KPU, Bawaslu, dan pengawas pemilu Independen perlu bekerjasama untuk menjangkau semua. Sebab, pemilu kali ini jangkauannya sangat luas dan sistemnya paling rumit.
Pantauan pengawas independen. Foto: Basith Subastian/kumparan
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten