Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Pejah. Mati.
Gesang. Hidup.
Nderek. Ikut.
Pak Kiai. Alim ulama.
ADVERTISEMENT
Pejah gesang nderek Pak Kiai sudah tidak lagi.
Adagium populer kaum santri Jawa itu digerus zaman. Masih ada, memang, tapi tak sepopuler atau sesakti mandraguna seperti dulu.
Kekalahan Gus Ipul dan Puti Guntur jadi bukti. Pasangan gacoan PKB-PDI Perjuangan tersebut direstui kiai pesohor dari pesantren-pesantren tua-besar Jawa Timur , dan didesakkan kepada masyarakat Jawa Timur yang santri itu.
“Jumhur (mayoritas) ulama memilih Gus Ipul. Masak warga NU tidak percaya pilihan para ulama?” tanya KH Anwar Iskandar , Pengasuh Pesantren Al-Amin Kediri, pertengahan Maret lalu semasa kampanye.
Anwar Iskandar hanya satu dari puluhan kiai sepuh di Jawa Timur yang mendukung Gus Ipul jadi Gubernur Jawa Timur periode 2018-2023. Para kiai dari berbagai pondok pesantren itu yakin Gus Ipul-Puti melenggang mudah.
ADVERTISEMENT
Dukungan PKB dan PDIP serta restu Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) sudah di tangan. Kurang apa lagi?
Nyatanya, Gus Ipul kalah total. Perolehan suara Syaifullah Yusuf dan Puti Guntur Soekarno dilibas oleh Khofifah Indar Parawansa dan Emil Elestianto Dardak dengan selisih hampir 1,5 juta suara .
Khofifah menjadi perempuan pertama yang mampu menduduki posisi gubernur Jawa Timur di sepanjang sejarah Indonesia. Kemenangan tersebut jadi lebih manis lagi mengingat lawan politiknya didukung dua partai terbesar di Jawa Timur dan pimpinan NU yang tanpa tanding di wilayah itu.
Banyak hal yang menjadi faktor kemenangan Khofifah-Emil. Sarmuji, anggota DPR RI dari Daerah Pemilihan Jawa Timur VI sekaligus Wasekjen Golkar yang ditugasi partai mengawal pemenangan Khofifah, berpendapat sosok Emil Dardak adalah pembeda antara Khofifah dan Gus Ipul.
ADVERTISEMENT
“Seandainya wakilnya sama (kuat) atau kalah, kami nggak tahu nanti hasilnya seperti apa,” ujarnya pada kumparan, Rabu (4/7).
Sementara, Ketua Timses Khofifah-Emil, Muhammad Roziqi, menyebut kerja keras Khofifah-Emil turun langsung ke masyarakat selama empat bulan kampanye, menyumbang banyak sekali dukungan. Renville Antonio, kader Partai Demokrat yang jadi sekertaris Timses Khofifah-Emil, juga sependapat.
“Bu Khofifah ini sehari 19 titik. Dari pagi sampai pagi. Saya pernah ikut beberapa kali dan itu berat bagi saya,” kata Renville di Kantor DPD Demokrat, Surabaya.
Namun, di samping semua alasan tersebut, semua pihak sepakat ada satu elemen yang paling menentukan kemenangan Khofifah atas Gus Ipul: Muslimat NU .
“Muslimat itu satu ormas yang solid. On-call, kapan pun dipanggil langsung datang,” ujar Sarmuji. Ia tahu betul militansi Muslimat NU, dan melihat sendiri bagaimana badan otonom Nahdlatul Ulama tersebut menjadi mesin politik non-parpol yang sangat efektif bertarung di lapangan.
ADVERTISEMENT
Bahkan, ketika PWNU Jawa Timur dan kiai-kiai khos (sepuh, senior) secara terang-terangan bertitah bahwa Gus Ipul-Puti adalah pilihan terbaik, Muslimat NU berani bersikap beda. Organisasi perempuan NU itu memilih berseberangan dengan memajukan ketua umum mereka, Khofifah, sebagai pilihan ibu-ibu NU.
“Ketika Ibu Khofifah maju, kami tinggal menginformasikan, ‘Ibu kita ini akan maju ke Pilgub. Tentu kami berharap Muslimat ini satu kata.’ Tidak secara organisasi, tetapi secara pribadi-pribadi, mendukung dan memilih Ibu kami,” ucap Masruroh Wahid, Ketua Muslimat NU Jawa Timur saat ditemui di kantornya di Gayungan, Surabaya, Kamis (5/7).
Maka, ketika pertengahan Maret lalu sempat terjadi konflik internal di tubuh NU, tepatnya saat PWNU mempermasalahkan surat yang dikeluarkan Masruroh soal sosialisasi Khofifah, Masruroh meminta maaf tapi tak mengendurkan sikapnya mendukung Khofifah.
ADVERTISEMENT
Malah, Masruroh melihat tak ada perbedaan antara apa yang ia lakukan untuk Khofifah dengan yang PWNU lakukan untuk Gus Ipul. “Saya pikir NU sebetulnya lebih dari itu menyosialisasikan Gus Ipul. Itu lebih dari yang saya lakukan,” ucapnya.
Pejah gesang nderek Pak Kiai sudah tidak lagi.
Yang menarik, kemunculan Khofifah sebagai Gubernur Jawa Timur dibarengi dengan naiknya empat perempuan lain ke tampuk kepemimpinan di level daerah, juga di Jawa Timur. Total, dengan yang selama ini telah menjabat, Jawa Timur kini punya 10 pemimpin perempuan --sembilan di tingkat kabupaten/kota dan Khofifah di provinsi.
Selain Khofifah, empat perempuan yang terpilih dalam Pilkada 2018 adalah Mundjidah Wahab sebagai Bupati Jombang, Ika Puspitasari sebagai Wali Kota Mojokerto, Anna Mu’awanah sebagai Bupati Bojonegoro, dan Puput Tantriana Sari yang terpilih kembali sebagai Bupati Probolinggo.
ADVERTISEMENT
Kelima nama tersebut melengkapi lima perempuan yang saat ini tengah menjabat, yaitu Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, Bupati Jember Faida, Bupati Kediri Haryanti Sutrisno, Wali Kota Batu Dewanti Rumpoko, dan Wali Kota Probolinggo Rukmini Buchori.
Dengan nominal itu, Jawa Timur menjadi daerah yang memiliki pemimpin politik perempuan terbanyak se-Indonesia. Jumlah tersebut mengungguli Jawa Barat dan Sulawesi Utara di posisi dua dan tiga yang masing-masing hanya punya lima perempuan kepala daerah.
Tingginya angka perempuan di pucuk pimpinan eksekutif tentu tak otomatis membuat politik Jawa Timur lebih baik ketimbang yang lain. Bahkan, di sejumlah daerah, tak sedikit orang yang khawatir bahwa meningkatnya keterlibatan perempuan hanyalah cara bagi sebuah dinasti untuk melanggengkan keberlangsungan kuasa kerabatnya.
ADVERTISEMENT
“Makanya melihat politik perempuan itu harus lihat konteks,” ujar Novri Susan, pengamat sosiologi-politik dari Universitas Airlangga, Surabaya, kepada kumparan.
Novri mencontohkan dinasti politik di Banten justru subur ketika dipegang oleh Ratu Atut Chosiyah. “Tidak bisa kita mengatakan bahwa ketika banyak perempuan menjadi pemimpin politik daerah, langsung menggambarkan mereka jadi bagian dari kemenangan demokrasi.”
Kendati demikian, Novri berpendapat peningkatan perempuan di level politik daerah ini pertanda menyegarkan dalam politik Indonesia. Menurutnya, masyarakat Jawa Timur merupakan konstituen yang rasional dan tidak lagi terikat oleh paham tradisional serta klaim patriarki.
“Bahwa masyarakat sudah melihat perempuan sebagai figur politik yang tidak kalah dengan laki-laki, (adalah) juga penanda bahwa masyarakat sudah memahami kelas-kelas strategi politik,” lanjut Novri.
ADVERTISEMENT
Penyebab kemenangan perempuan-perempuan di pentas politik tertinggi Jawa Timur tentu saja bersifat idiosinkratik antara satu dan lainnya. Walau begitu, tetap menarik bagaimana di tanah Nahdliyin, persentase pemimpin politik perempuan justru amat tinggi apabila dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain.
Padahal, seperti ditulis Wasisto Raharjo Jati dalam kajiannya berjudul Ulama dan Pesantren dalam Dinamika Politik dan Kultur Nahdlatul Ulama (2013), kiai-kiai NU di daerah seperti Jawa Timur dan Tengah, punya peran patron dan memiliki kekuasaan hierarkis di masyarakat, terlebih dalam hal sosial-politik.
Menurut Airlangga Pribadi, pengajar Departemen Politik Fisip Unair, beberapa tahun belakangan terjadi pencairan karakter otoritas politik. “Santri melihat bahwa sumber referensi politik mereka bukan hanya lewat kiai. Mereka juga mempertimbangkan informasi-informasi lain seperti di media sosial dan saat debat, sebagai (patokan) pilihan politik.”
ADVERTISEMENT
Selain itu, isu imbauan kiai bahwa pemimpin baiknya tetap laki-laki, juga sudah selesai di Jawa Timur. “Ada kontekstualisasi, dan itu justru karena di kalangan santri proses (pemahaman soal hambatan gender) itu bisa menjadi baik. Sebab mereka memenuhi khazanah pemikiran, tradisi, dan keislaman yang kaya.”
Hal itu, tambah Airlangga, “Berbeda dengan masyarakat urban yang baru mengalami proses islamisasi dan masih senang dengan simbol-simbol, sehingga simbol kafir langsung dimakan.”
Perempuan kini justru tak lagi dipandang sebagai sebuah kerugian bagi partai politik. Sebaliknya, perempuan menjadi kesempatan dan ‘komoditas politik’ unik yang justru menjanjikan lebih banyak suara.
Eva Kusuma Sundari, legislator PDIP DPR dari Dapil VI Jawa Timur, mengatakan mengingatkan petinggi partainya soal isu-isu perempuan. Baginya, kalau PDIP mau menang, perempuan adalah ‘lahan garapan’ paling menjanjikan.
ADVERTISEMENT
“Itu aku ingetin ke PDIP. ‘PDIP gimana nih, kita nggak nggarap perempuan.’ Sementara perempuan 51 persen dari pemilih,” ujar Eva kepada kumparan. “Di (Pilkada) Jatim kemarin, kuncinya di perempuan. Yang aktif di lapangan perempuan, yang aktif cari suara perempuan, dan karena calonnya perempuan relatif membangkitkan sentimen solidaritas perempuan yang tinggi.”
“Ada pemilih yang kami rayu untuk pindah ke Gus Ipul, kata mereka, ‘Janganlah, mesakke (kasihan) Mbak Khofifah sudah tiga kali (maju Pilgub). Ini perempuan lagi. Janda.’ Ngono ibu-ibu itu, nggak nggolek duit. Menurutku itu tanda-tanda baik,” imbuh Eva.
Mungkin, seperti yang jadi jargon Khofifah di kalangan akar rumput masyarakat Jawa Timur, sekarang memang “wis wayahe” --sudah waktunya.
Sudah waktunya perempuan --kalau memang bersedia, berkemampuan, dan beroleh restu masyarakatnya-- menjadi pemimpin politik sebuah daerah.
ADVERTISEMENT
Lagi pula, apa salahnya?
Khofifah sebagai pemenang punya pandangan sendiri soal partisipasi politik tinggi perempuan Jawa Timur. Simak wawancara dengan gubernur terpilih Jawa Timur itu dan ‘komandan tempur ’-nya di Liputan Khusus kumparan.
------------------------
Simak rangkaian laporan mendalam Perempuan Penguasa Timur Jawa di Liputan Khusus kumparan.