Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Lawan tapi kawan. Begitulah Prabowo dan Jokowi.
Itu biasa saja. Dalam politik, rival tak selamanya jadi musuh. Tak ada lawan dan kawan abadi. Sebab kepentingan di atas segala.
Para pendukung Prabowo dan Jokowi boleh ‘perang’ dan saling serang, tapi nyatanya kedua seteru itu menjaga komunikasi dan ‘perkawanan’ mereka baik-baik, sejak Pemilihan Presiden 2014 berlalu hingga jelang Pilpres 2019 kini.
Selain bertemu langsung--yang pasti terlihat jarang, Prabowo dan Jokowi berkomunikasi via utusan dan perantara mereka. Salah satunya Jenderal (Purn) Luhut Binsar Panjaitan, Menko Maritim yang dulu senior Prabowo di Kopassandha--Komando Pasukan Sandi Yudha (kini Kopassus--Komando Pasukan Khusus).
Pertemuan Prabowo dan Luhut misalnya berlangsung awal bulan ini, Jumat (6/4), di restoran Jepang Sumire, Hotel Grand Hyatt, Thamrin, Jakarta Pusat. Pertemuan tertutup itu berjarak lima hari sebelum Prabowo menerima mandat Gerindra sebagai calon presiden.
Sembari bersantap, Luhut melancarkan lobi politik. Ia menyampaikan pesan penting Jokowi kepada Prabowo: lamaran untuk jadi calon wakil presiden.
Isi pertemuan tersebut dibeberkan oleh Presiden PKS Sohibul Iman. “Saya sudah dengar lama, beberapa bulan lalu atau setengah tahun lalu, bahwa Pak Prabowo diminta jadi cawapres Pak Jokowi. Utusan Jokowi, Pak Luhut, yang meminta itu.”
Jika Prabowo bersedia menjadi cawapres Jokowi, ujar Sohibul, Luhut menjanjikan semua ‘masalah’ Prabowo akan beres.
Tapi Prabowo bergeming.
“Abang jangan underestimate, (mengira) kalau Jokowi-Prabowo bersatu itu tak ada yang bisa mengalahkan. Belum tentu,” kata Prabowo kepada Luhut, seperti ditirukan Sohibul.
Jokowi, ujar Sohibul, bukan cuma sekali mengutus Luhut untuk meluluhkan hati Prabowo.
Luhut secara terpisah membenarkan hal itu, meski mengelak bicara soal tawaran cawapres kepada Ketua Umum Gerindra itu.
Pada pertemuan di Grand Hyatt, kata Luhut, ia dan Prabowo memang bicara soal Pilpres, termasuk rencana Prabowo untuk maju kembali sebagai calon presiden.
“Saya bilang ke Pak Prabowo, ‘maju saja’. Dia kan sedang mempersiapkan diri,” kata Luhut.
Ia juga berpesan kepada Prabowo agar tak menggunakan sentimen agama ketika berkampanye nanti.
“Saya bilang sama Bowo (Prabowo--sapaan akrab Luhut ke Prabowo), kalau maju nggak usah bawa tema-tema agama supaya republik ini tidak panas. Pak Prabowo kan nasionalismenya tinggi. Ia pasti tidak mau negara ini jadi kacau hanya karena pemilihan presiden,” kata Luhut seperti dilansir VOA Indonesia .
Perbincangan di Grand Hyatt itu ikut menyinggung soal novel Ghost Fleet yang menjadi rujukan pidato “Indonesia Bubar 2030” Prabowo. Pidato itu dinilai Luhut sebagai masukan dan peringatan bagi pemerintah. Namun ia juga berpesan agar Prabowo optimistis.
Ditarik ke belakang, akhir Oktober 2016 saat Jakarta dikepung berbagai demonstrasi besar memprotes Ahok yang dituding menista agama, Luhut pula yang ada di balik pertemuan hangat Jokowi dan Prabowo di kediaman Prabowo, Hambalang, Bogor.
Kala itu, kedua tokoh politik itu sempat berkuda bersama. Jokowi pun pulang tak dengan tangan kosong. Ia membawa topi dan sepatu berkuda oleh-oleh dari Prabowo.
Bagi Jokowi, Luhut jelas berperan penting sebagai ‘jembatan’ menuju Prabowo.
Selama satu bulan belakangan--di sela kepergian Luhut ke Beijing dan Washington, ia mengaku sudah dua kali bertemu langsung dengan Prabowo.
Pekan lalu, Rabu (18/4), Luhut pun menerima telepon dari Prabowo di antara kesibukannya mengikuti pertemuan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia di Washington.
Komunikasi antara kubu Jokowi dan Prabowo jalan terus. Terbaru, Jumat malam (20/4), Sandiaga Uno selaku Ketua Tim Pemenangan Pilpres Gerindra, bertemu salah satu mitra koalisi Jokowi, Partai Persatuan Pembangunan.
Sandi berbincang dengan Ketua Umum PPP M. Romahurmuziy dan Ketua Majelis Pertimbangan PPP Suharso Monoarfa sambil bersantap malam. Romy--panggilan Romahurmuziy, menurut Sandi, ialah teman baik sekaligus kawan lamanya.
Usai makan malam itu, Romy mengungkap isi pertemuan. “Ada tiga opsi yang sekarang masih sama-sama terbuka (bagi Gerindra): Prabowo maju capres sendiri, Prabowo endorse orang lain, atau Prabowo jadi wakil Jokowi.”
Ucapan Romy itu kemudian dibantah oleh Sandi. Menurutnya, Prabowo sudah pasti maju sebagai calon presiden. Tak kurang, Prabowo sendiri ikut menampik. “Saya sudah dapat perintah dari partai (untuk maju capres),” ujarnya, Minggu (22/4).
Tapi Romy berkukuh apa yang ia katakan bukan bualan. Ia menegaskan, Sandi malam itu menyampaikan bahwa Prabowo memang membuka tiga kemungkinan untuk dijajaki.
Terlepas dari segala bantah-membantah antara Romy dan Sandi kini, pertemuan Jumat malam itu kembali menguarkan keraguan yang sejak awal menyelimuti pencapresan Prabowo, bahwa Prabowo bersedia maju lebih untuk menyelamatkan elektabilitas partai.
Direktur Eksekutif Charta Politica, Yunarto Wijaya, berpendapat Prabowo memang sudah tak punya lagi daya tawar politik tinggi. Ia tersandera persoalan kompleks seperti ambang batas pencalonan presiden dan elektabilitas stagnan.
“Prabowo tidak dalam kondisi puncak untuk menentukan sikap terkait 2019. Ia mulai bersikap realistis mengingat ini uji coba kali keempatnya untuk maju capres. Ia dalam kondisi berkekurangan, baik dari sisi elektoral, logistik, ataupun kesiapan politik untuk maju,” kata Yunarto, Minggu (22/4).
Menurutnya, deklarasi Prabowo sebagai capres oleh Gerindra tak lain untuk memenuhi kebutuhan konsolidasi internal partai. “Karena variabel utama yang membuat pengurus dan kader Gerindra bekerja, dan pemilih Gerindra loyal, adalah Prabowo. Kalau itu tidak ditegaskan, efeknya bisa negatif kepada Gerindra.”
Suara Gerindra yang kurang dari 20 persen kursi parlemen, memang tak cukup untuk mengusung calon presiden. Ia amat bergantung pada partai lain. “Artinya, ada negosiasi dan kompromi yang kemudian membuat bargain position PKS sangat tinggi,” ujar Yunarto.
Di sisi lain, kader-kader PKS sekarang justru mulai sering menyebut nama Gatot Nurmantyo, mantan Panglima TNI yang blak-blakan menyatakan diri siap maju capres. Gatot pun tengah melakukan pendekatan intens dengan PKS dan PAN.
“Pak Gatot minta bertemu kami,” kata Presiden PKS Sohibul Iman.
Padahal, PKS dan PAN adalah partai yang juga ditarget Gerindra mendukung Prabowo. Dan Gerindra sebelumnya telah menolak Gatot yang ‘melamar’ ke mereka sebagai calon presiden dengan imbalan mengamankan segala logistik dan pembiayaan pilpres.
Gatot, menurut Wakil Ketua Umum PAN Hanafi Rais, juga telah bertemu ayahnya, pendiri PAN Amien Rais.
“Gatot adalah calon alternatif yang paling siap. Ia punya banyak waktu untuk meyakinkan partai dan melakukan komunikasi politik, sehingga bisa terbentuk koalisi untuk mengusung dia. Pendekatannya ke partai politik harus intensif,” kata Hanafi.
Yunarto memandang sosok Gatot tak kalah dibanding Prabowo, bahkan memiliki posisi tawar lebih kuat.
“Dari sisi brand lebih menarik. Kalau Prabowo kan produk yang sudah di-launching dua kali, dan dua kali itu gagal, kini berharap berhasil di kali ketiga. Sementara Gatot itu brand yang belum pernah diuji di level nasional, sehingga lebih punya daya kejut atau wow effect seperti Anies pada Pilkada DKI Jakarta 2017,” jelasnya.
Yang harus diantisipasi, ujar Yunarto, adalah bila ternyata Gatot berhasil membangun bersama PKS, PAN, dan PKB. Hal itu akan membuat Prabowo ditinggalkan oleh partai-partai yang kini kerap menjadi mitranya.
“Prabowo berpotensi jadi tidak punya pasangan. Ia jomblo secara politik, dan bisa digaet oleh Jokowi. Itu bisa terjadi jika Prabowo tidak punya pilihan lagi. Bukan hal mudah dan akan kompleks buat Jokowi, tapi bukan tak mungkin,” kata Yunarto.
Meski terlihat janggal, hubungan Jokowi dan Prabowo yang pelik ini bukannya luar biasa. Dan Gatot akan jadi faktor penentu di antara keduanya.
------------------------
Ikuti laporan mendalam Otot Gatot di Liputan Khusus kumparan.