Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Robet lantas berkoordinasi dengan teman-temannya di pergerakan. Tak lama kemudian, sejumlah aktivis bertandang ke rumah Robet. Mereka sejak awal mengendus gelagat buruk setelah video potongan orasi Robet di aksi Kamisan ke-576 sepekan sebelumnya, Kamis (28/2), menyebar di media sosial.
Dalam video 30 detik tersebut, Robet menyanyikan pelesetan Mars ABRI yang populer di kalangan aktivis saat era Reformasi. Begini bunyi potongan parodi mars itu, “Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, tidak berguna, bubarkan saja, diganti Menwa, kalau perlu diganti Pramuka. Naik bis kota tak pernah bayar, apalagi makan di warung Tegal...”
Sampai di situ, Robet tak melanjutkan nyanyian itu karena menurutnya lirik tersebut terlalu sensitif. Meski begitu pun, video Robet menyanyikan penggalan pelesetan Mars ABRI itu memantik banyak komentar di media sosial yang menyudutkan dia. Tak sedikit yang bernada ancaman.
ADVERTISEMENT
Nahas nasib Robet. Padahal ia baru sekali itu ikut Aksi Kamisan—unjuk rasa berdiri di depan Istana setiap Kamis sore untuk menuntut penuntasan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia berat di Indonesia.
“(Robet ikut) justru baru kali ini. Dia hadir karena diundang sebagai pembicara, sebagai ahli. Dia kan dosen, akademisi. Dan dia mau bicara,” kata Bejo Untung, aktivis senior dan mantan tahanan politik, kepada kumparan di kawasan Senen, Jakarta Pusat, Senin (11/3). Bejo juga hadir pada Aksi Kamisan tersebut.
Kamisan ke-576 yang diikuti Robet mengangkat tema soal rencana pemerintah menempatkan perwira TNI di jabatan sipil. Robet sesungguhnya diundang di Aksi Kamisan sepekan sebelumnya, Kamisan ke-575, dengan tema serupa. Namun, ia berhalangan hadir pada Kamisan ke-575, dan baru bisa hadir pekan berikutnya di Kamisan ke-576—yang ternyata berujung petaka.
ADVERTISEMENT
Pada Kamisan perdana Robet itu, ia berorasi setelah Direktur Amnesty International Usman Hamid. Di sana, hadir pula Maria Catarina Sumarsih, ibunda Benardinus Realino Norma Irawan atau Wawan—mahasiswa Universitas Atma Jaya yang tewas saat Tragedi Semanggi I November 1998; Direktur Lingkar Madani Ray Rangkuti; dan budayawan Betawi JJ Rizal.
Mereka menyebut Robet spontan menyanyikan pelesetan Mars ABRI. Tak ada perencanaan bersama panitia. Mengalir saja.
Rabu sore (5/3), pada hari yang sama ketika orang-orang yang mengaku tentara menyambangi rumahnya, Robet berdiskusi dengan para aktivis. Selanjutnya untuk meredam kegaduhan, ia memberikan klarifikasi melalui unggahan video.
Dalam klarifikasi videonya, Robet menjelaskan tak bermaksud menghina institusi TNI saat menyanyikan pelesetan Mars ABRI. Robet mengatakan mencintai TNI, dan karenanya memberi kritik agar lembaga militer itu tak terjebak dalam dwifungsi seperti pada era Orde Baru. Robet juga menyebut mengapresiasi reformasi di tubuh TNI.
ADVERTISEMENT
Rabu malam, Robet akhirnya pulang ke rumahnya usai menimbang beberapa hal. Saat itu, ada empat orang aktivis di kediaman Robet. Mereka ialah Yati Andriyani (KontraS), Nurkholis Hidayat (Lokataru), Indria Farnida (Asia Jusctice and Rights), dan Papang Hidayat (Amnesty International).
“Dia (Robet) nekat balik malam, ketemulah sama teman-teman. Sampai akhirnya jam setengah dua belas malam (23.30 WIB), datang kira-kira dua mobil kepolisian,” kata kuasa hukum Robet, Arif Maulana, Jumat (8/3).
Rombongan polisi dari Mabes Polri itu membawa surat penangkapan Robet. Ia diduga melanggar tiga pasal, yakni Pasal 28 ayat 2 juncto Pasal 45 UU Informasi dan Transaksi Elektronik, Pasal 14 ayat 2 juncto Pasal 15 KUHP, dan Pasal 207 KUHP.
Awalnya para aktivis menolak penangkapan Robet yang menurut mereka tak wajar. Sebab, sebelumnya Robet tak pernah dipanggil untuk menjalani pemeriksaan. Menurut mereka, polisi pun tidak memiliki dua alat bukti yang cukup.
ADVERTISEMENT
“Tapi saat itu eskalasi di media sosial semakin tinggi dan isinya sudah semakin ngeri, sampai ancaman kekerasan, hujatan, pembunuhan. Akhirnya saat itu Pak Robet memutuskan, ‘Udah, kita ikuti saja,’” ujar Arif.
Penangkapan Robet didasarkan pada laporan model A. Laporan tersebut—seperti tertuang dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri—dibuat sendiri oleh polisi setelah menemukan indikasi tindak pidana, tanpa aduan dari pihak lain.
Maka, Kamis dini hari (7/3), Robet diperiksa di Bareskrim Mabes Polri sejak pukul 01.00 sampai 06.00 WIB. Ia mendapat sekitar 15 pertanyaan. Isinya mengulik seputar tujuan dia menyanyikan pelesetan lagu Mars ABRI.
Kamis sore, polisi menjerat Robet dengan Pasal 207 KUHP tentang penghinaan kepada penguasa atau badan umum di Indonesia, dengan ancaman hukuman 1,5 tahun penjara. Ia menjadi tersangka, kemudian dilepas karena ancaman penjara yang mengintainya di bawah lima tahun.
ADVERTISEMENT
Meski dilepas, Robertus Robet tak pulang ke rumahnya di Perumahan Mutiara Depok. Pun walau sejumlah polisi menjaga kediamannya. Selain itu, kabarnya beberapa intel TNI juga mondar-mandir di sekitar rumah Robet. Sampai saat ini, penjagaan di rumah Robet masih berlangsung.
“Kami patroli rutin bersama Bhabinkamtibmas (Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat),” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri, Brigjen Dedi Prasetyo, kepada kumparan.
Rumah dijaga, penghuni tak ada. Begitulah kediaman Robet kini. Sebab selain dia, keluarganya pun mengungsi. Mereka meninggalkan rumah itu. Saat ini Robert juga belum kembali mengajar sebagai dosen program studi sosiologi di UNJ. Keberadaannya tak diungkap oleh rekan-rekan aktivisnya demi alasan keamanan.
Robet dikenal getol menyuarakan isu-isu HAM dan pemerintahan sejak masih berkuliah di jurusan sosiologi Universitas Indonesia. Pasca-Reformasi, Robet bersama Munir—aktivis HAM yang tewas diracun dalam penerbangan Garuda dari Jakarta ke Amsterdam pada 7 September 2004—dan sejumlah aktivis lain membidani berdirinya Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS). Robet juga turut serta dalam membentuk Indonesia Corruption Watch (ICW).
ADVERTISEMENT
Ahmad Sajali, aktivis Youth Proactive yang rajin ikut Aksi Kamisan, mengatakan Robet yang akademisi itu diundang ke Kamisan untuk melengkapi kritik terhadap TNI dari sudut pandang ilmiah.
“Beliau kan magisternya di Birmingham, Inggris. S3-nya juga filsafat. Jadi untuk urusan publik, beliau memang satu dari sedikit yang bisa menjelaskan term kewarganegaraan, republik, politik,” ujar Jali.
Ia bercerita, saat Robet bernyanyi pelesetan Mars TNI, para peserta Kamisan lain mendengarkan saja. Mereka rata-rata mahasiswa yang belum mengenal lagu yang kerap didendangkan pada masa Orde Baru itu.
“Mungkin kalau Pak Robet hari itu bawa teks, bakalan nyanyi bareng sih. Untungnya enggak. (Kalau iya), bisa kena (ditangkap) banyak nanti,” kata Jali.
Peserta Kamisan tak menyangka aksi rutin mereka satu hari itu berakhir petaka bagi Robet. Para aktivis kemudian memilih cooling down dengan tidak mengangkat isu yang sama di Aksi Kamisan berikutnya.
ADVERTISEMENT
“Takut sih tidak, tapi kita tetap perlu berhati-hati dalam berbicara. Jadi jangan terprovokasi dan malah membuat situasi makin panas lagi. Tapi sepanjang kritik itu fakta dan tidak merusak, ya tidak masalah. Bagi saya tidak terlalu bikin takut,” kata Bejo Untung.
Walau begitu, ia dan rekan-rekan aktivis menyayangkan respons Kepala Staf Kepresidenan, Jenderal TNI (Purn) Moeldoko, yang meminta para aktivis untuk tak cari gara-gara dengan TNI. Ucapan Moeldoko itu, menurut Bejo, semakin memperbesar kekhawatiran.
“(Itu) mengancam kritik sosial dari masyarakat. Sebetulnya kalau Pak Moeldoko itu mau rendah hati, mestinya mau mendengar kritik, dan itu sangat konstruktif,” kata Bejo. “Karena saya bagian dari korban ‘65 yang pernah merasakan, betapa takutnya (ketika) tentara datang, (karena) itu pasti disiksa. Pada masa Orde Baru itu,” imbuhnya.
Pro-kontra mengiringi perkara hukum Robet. Tak sedikit aktivis dan anggota masyarakat yang mendorong polisi untuk menghentikan kasus itu. Mereka menilai kebebasan berbicara akan semakin terancam jika Robet yang berniat mengkritik justru diproses hukum.
ADVERTISEMENT
Pengamat hukum pidana Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Muzakir, berpendapat seharusnya kritik Robet tidak dimaknai sebagai ujaran penghinaan terhadap lembaga negara. Ia menilai penetapan tersangka terhadap Robet tergesa-gesa.
“Mendasarkan pada prinsip bahwa ternyata substansi yang disampaikan (Robet) adalah kritik, sebaiknya (kasusnya) dihentikan saja. Terbitkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan),” kata Muzakir.
Ia berpendapat, negara seharusnya justru memberi ruang bagi pengkritik agar roda pemerintahan berjalan sesuai jalur. Sebab jika pengkritik dihukum, rezim demokratis bisa berubah jadi otoriter.
“Kalau sekarang (pengkritik) dimasukin penjara, emangnya itu selesai? Tidak. Di negara mana-mana di muka bumi ini, kalau menghukum pengkritik enggak bagus,” ujar Muzakir.
ADVERTISEMENT
Muzakir lantas mempertanyakan “batasan” yang dimaksud polisi. Menurutnya, batas antara kritik dan menjelekkan kian rancu. “Polisi nangkepin orang apa enggak ngelewatin batas? Emang yang ngukur batas polisi? Yang membatasi ya rakyat itu sendiri,” ujarnya.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo menyatakan, saat ini penyidik masih melengkapi berkas kasus Robet. Sementara itu, TNI sebagai institusi yang “dirugikan” dalam nyanyian Robet tak banyak berkomentar. Kepala Pusat Penerangan TNI Brigjen Sisriadi mengatakan pihaknya menghormati langkah Kepolisian.
“TNI menyerahkan penanganan hukum terhadap Saudara Robertus Robet kepada Polri. Selanjutnya akan dilakukan koordinasi untuk mengantisipasi perkembangan situasi di masyarakat,” ujar Sisriadi, Jumat (8/3).
ADVERTISEMENT
“Dalam pendalaman kasus di mana tidak ada pencemaran nama, penistaan agama, dan pengancaman, SAFEnet menemukan bahwa keadilan bukan sebagai tujuan, melainkan sebagai balas dendam, barter kasus, membungkam kritik, shock therapy, hingga persekusi ekspresi,” kata aktivis SAFEnet, Ellen Kusuma.