Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Sungguh repot jadi calon presiden kubu oposisi. Tak dapat teman koalisi, susah. Dapat kawan baru, muncul masalah tambahan. Betul-betul serbasalah menghadapi partai-partai koalisi. Apalagi tenggat pendaftaran capres-cawapres kian dekat. Prabowo Subianto harus berpikir cepat: siapa yang mau dia ambil jadi calon wakil presiden?
ADVERTISEMENT
Ketidakpastian soal sosok pendamping itu pun membuat Prabowo terus-menerus jadi incaran media. Rabu malam (1/8), misalnya, saat empat sekretaris jenderal partai pengusungnya menggelar pertemuan di Kemang, Prabowo diadang rombongan wartawan saat keluar dari rumahnya di Kertanegara IV, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Sebelum mobilnya melaju pergi entah ke mana, Prabowo menjawab alakadarnya cecaran wartawan. “Rajin amat kalian. Tenang saja, tenang. Tiga, empat, lima hari lagilah (cawapres saya umumkan).”
Tentu saja itu sekadar jawaban sembarang. Sampai lima hari setelahnya, Senin (6/8), Prabowo belum menetapkan siapa cawapresnya.
Malam kian larut kala pertemuan empat sekjen partai koalisi oposisi--yang antara lain membahas mekanisme pemilihan cawapres Prabowo--akhirnya usai. Sekjen PKS Mustafa Kamal bergegas menuju mobilnya dengan wajah kecut.
ADVERTISEMENT
“Pokoknya PKS memegang teguh dan menjunjung tinggi (capres-cawapres rekomendasi) Ijtima Ulama,” kata Mustafa dari dalam mobil.
“Ijtima Ulama kan dihadiri wakil-wakil umat dari seluruh Indonesia. Artinya, mewakili kantong-kantong suara. Rekomendasi ulama itu di atas segala-galanya. Jangan dianggap enteng sama partai-partai. Jangan seperti bisa berdiri sendiri dan merasa ‘Oh, itu kan hanya rekomendasi.’ Jangan sembarangan dengan ulama. Nanti ditinggal sama umat,” kata Ketua DPP PKS Aboe Bakar Al Habsyi keesokannya, Kamis (2/8), kepada kumparan.
Rekomendasi Ijtima Ulama yang dihelat Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Ulama tersebut jadi senjata PKS ketika berhadapan dengan rekan-rekan koalisi Prabowo. Bagaimana tidak, sebab salah satu nama cawapres yang tercantum dalam rekomendasi tersebut adalah ketua majelis syuro mereka sendiri, Salim Segaf Al-Jufri.
ADVERTISEMENT
Sementara satu nama lagi ialah Abdul Somad, dai sejuta umat yang tak berminat maju dalam ingar bingar pertarungan Pemilu Presiden karena ingin menjadi “ustaz seumur hidup.”
“Dua nama itu adalah keputusan keumatan dari pihak Prabowo and the gang. Jadi jangan mundur lagi. Prioritaskan Salim. Misal belum diterima, silakan ganti UAS (Ustaz Abdul Somad). Kalau tidak mau, ya balik lagi ke Salim. Rekomendasinya kan ada dua cawapres,” ujar Aboe Bakar.
PKS kentara sekali begitu ngotot di lingkaran koalisi Prabowo. Ia seolah merasa paling berhak atas slot cawapres, karena sejak awal telah berjuang bersama Prabowo. Memang, tak hanya PKS yang pasang harga tinggi. Demokrat pun mengajukan Agus Harimurti Yudhoyono dan PAN mendorong Zulkifli Hasan.
ADVERTISEMENT
“Tetapi kalau sampai memaksa dan merasa lebih dari yang lain, itu salah,” ucap sumber kumparan di internal koalisi Prabowo.
Ketua Persaudaraan Alumni 212 Slamet Maarif bahkan ikut menghadiri pertemuan petinggi koalisi Prabowo, minus Demokrat, di rumah pengusaha yang juga sahabat Prabowo, Maher Algadri, di Jakarta Selatan, Selasa (31/7).
Menurut Slamet, perannya pada pertemuan itu ialah sebagai penguat koalisi keumatan yang antara lain terdiri dari Gerindra, PKS, dan PAN. Petinggi partai-partai tersebut pernah menyambangi Rizieq Syihab di Mekkah, Arab Saudi. Ketika itulah Rizieq mendorong pembentukan Koalisi Keumatan.
Sejumlah sumber di lingkaran koalisi Prabowo menyatakan, Selasa malam itu PKS mengatur agenda pertemuan hingga daftar tamu untuk meloloskan agenda politiknya, sekaligus meyakinkan kubu Prabowo bahwa rekomendasi Ijtima Ulama akan memberikan kemenangan bagi Prabowo.
ADVERTISEMENT
Berikutnya, seakan menambah tekanan, PA 212 berkirim surat kepada Gerindra dan PAN untuk ‘mengingatkan’ bahwa “wajib mengikuti putusan Ijtima Ulama.”
Menanggapi desakan tersebut, PAN menjawab diplomatis. “Hasil Ijtima Ulama itu strong recommendation. Kami taruh di atas meja,” kata Zulkifli Hasan, Sabtu (4/8). Ia menambahkan, “Usulan partai-partai (soal nama cawapres) juga kami taruh di atas meja.”
“Partai politik punya mekanisme sendiri untuk menentukan arah dalam Pilpres 2019,” ujar Sekjen PAN Eddy Soeparno secara terpisah.
Ini semua gara-gara Demokrat. Sekutu baru Gerindra itu betul-betul mengancam posisi PKS di takhta cawapres. Membuat PKS bermanuver tajam dengan rekomendasi Ijtima Ulama sebagai amunisi.
Kedatangan Demokrat sebagai kawan koalisi teranyar Prabowo bukan tanpa cek kosong. Ia membawa Agus Harimurti Yudhoyono sebagai kandidat cawapres.
ADVERTISEMENT
“Kami percaya AHY punya peluang besar. AHY pasti menambah suara signifikan untuk elektabilitas Pak Prabowo. Ia akan membawa suara pemilih pemula, kaum perempuan, dan kelompok nasionalis muda. Itu besar sekali,” kata Ketua DPP Demokrat Ferdinand Hutahaean pada hari yang sama dengan pertemuan empat sekjen partai koalisi Prabowo.
“Partai Demokrat yakin betul bahwa AHY adalah pilihan terbaik untuk mendampingi Pak Prabowo,” imbuhnya.
Ucapan itu tentu jadi bentuk tekanan lain buat Prabowo. Serupa PKS, Demokrat sama sekali tak melonggarkan upaya untuk mendorong AHY. Meski, tentu saja, tiap pernyataan dibumbui pemanis macam, “Kami mengembalikan dan menyerahkan sepenuhnya kepada Pak Prabowo untuk memilih siapa wakilnya.”
Sinyal Demokrat memajukan AHY terlihat semakin kuat lewat orasi 30 menit sang putra mahkota Cikeas yang disiarkan langsung oleh tvOne pada Jumat malam (3/8).
ADVERTISEMENT
Pidato bertajuk ‘Muda adalah Kekuatan’ itu disampaikan AHY dengan mengambil momentum peringatan satu tahun The Yudhoyono Institute, lembaga think tank tempat AHY duduk sebagai direktur eksekutif.
Sejak membuka orasi, AHY langsung menonjolkan dan melekatkan faktor ‘muda’ sebagai nilai jualnya. Ia seakan berkata: jangan takut ambil anak muda sebagai pemimpin.
“Muda adalah kekuatan. Ada yang mengatakan bahwa saya terlalu muda untuk melakukan sesuatu. Iya, saya memang muda. So what?” ujarnya disambut gemuruh tepuk tangan hadirin di Ballroom Djakarta Theater.
AHY bukannya gelas kosong. Sejak kekalahan di Pemilihan Gubernur DKI Jakarta yang menjadi debut karier politiknya, ia terus memoles diri dan perlahan terus meningkatkan elektabilitasnya. Dengan dukungan pasti Demokrat, namanya terus bertengger di berbagai survei capres-cawapres 2019.
ADVERTISEMENT
Dalam survei Alvara yang dilakukan 20-28 Juli, misalnya, elektabilitas AHY sebagai cawapres melonjak ke angka 19,3 persen. Ia berada di posisi teratas daftar cawapres Prabowo dibanding Anies Baswedan (18,9 persen).
Dua bulan sebelumnya berdasarkan survei LIPI pada 19 April-5 Mei, elektabilitas AHY sebagai cawapres Prabowo ‘hanya’ 15,7 persen, kalah dari Anies Baswedan (23,1 persen).
Hasil survei terbaru oleh Roda Tiga Konsultan yang dirilis Minggu (5/8), 12 hari setelah Demokrat merapat ke Prabowo, memperlihatkan AHY sebagai kandidat terkuat cawapres Prabowo dengan elektabilitas 25,6 persen.
“Elektabilitas AHY sangat baik. Peringkat satu untuk cawapres, baik dipasangkan dengan Jokowi atau Prabowo. Jadi kalau bicara siapa calon yang bisa meningkatkan elektabilitas, AHY pilihan tepat,” kata politikus Demokrat Andi Mallarangeng.
Prabowo sendiri sudah sempat berkata “Why not?” kepada AHY dalam pertemuan perdananya dengan SBY sebagai koalisi, Selasa (24/7).
ADVERTISEMENT
“Kriteria yang saya butuh adalah yang kapabel, yang bisa berkomunikasi baik dengan generasi muda, karena pemilih mayoritas di bawah usia 40. Kalau umpamanya dalam pertemuan (koalisi) nama AHY muncul sebagai yang dibicarakan, saya harus katakan, why not?” ujar Prabowo di kediaman SBY, Mega Kuningan, Jakarta Selatan, saat itu.
Mengambil AHY sebagai pendamping, otomatis sepaket dengan elektabilitasnya, plus logistik yang dibawa Demokrat. Kedua komponen itu jelas akan menjadi bantuan signifikan bagi Prabowo yang blak-blakan butuh tambahan logistik dengan menggalang dana dari para pendukungnya sejak akhir Juni.
Ini pula yang membuat PKS makin merasa terancam. Soal elektabilitas, Salim Segaf Al-Jufri bahkan tak selalu masuk radar survei capres-cawapres. Maka tak heran PKS begitu sengit.
ADVERTISEMENT
“Kalau mau elektabilitas, pilih Jokowi. Karena elektabilitas Prabowo juga di bawah Jokowi. Percuma bikin Ijtima Ulama kalau omong elektabilitas. Bicara itu soal kekuatan keumatan. Mau berkah, nggak?” kata Aboe Bakar.
Jika sudah bicara pada tataran umat, lanjutnya, maka elektabilitas dan logistik jadi kurang berarti. PKS yakin, koalisi keumatan dapat melibas perkara elektabilitas dan logistik yang selama ini didewakan.
“Lewat semua soal itu. Dulu, ada yang sangka nggak Ahok bisa kalah di Jakarta? Nah, jadi solidaritas keumatan akan menggelinding lebih besar dari semua yang sudah dirancang orang. Pesantren-pesantren itu nanti jadi pusat dan ladang logistik,” ujar Aboe.
Sementara Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera via akun media sosialnya memperlihatkan tabel perolehan suara partai-partai pada Pilkada Serentak 2018. Pada tabel itu, calon-calon kepala daerah yang diusung PKS lebih banyak memenangi pilkada daripada Demokrat.
Sikap keras PKS bukan tanpa alasan. Seperti partai-partai lain, PKS perlu memastikan diri lolos ke parlemen pada Pemilu Legislatif 2019. Dalam hal ini, menempatkan kader partai sebagai cawapres akan mengerek perolehan suara PKS yang stagnan.
ADVERTISEMENT
“Kerja sama dengan Gerindra merupakan upaya PKS untuk dapat mengusung calon bersama. Kami meyakini itu akan berdampak pada elektabilitas PKS di Pemilu 2019,” kata Direktur Pencapresan PKS Suhud Alynudin.
Itu pula yang membuat Demokrat terus tancap gas menyorongkan AHY, sembari menyindir mereka yang tak merestui putra sulung SBY tersebut.
“Yang berkoalisi itu Demokrat dengan Gerindra, bukan dengan PA 212. Memang dia siapa bisa mengatur dan memutuskan apa pun terkait koalisi Demokrat dan Gerindra?” ujar Ketua DPP Demokrat Ferdinand Hutahaean, seraya menegaskan, “Partai politik punya mekanisme sendiri untuk menentukan sikap.”
Demokrat amat percaya diri walau jadi anggota paling baru dalam poros Prabowo. Meski PKS tak henti membujuk kubu Prabowo untuk mematuhi rekomendasi Ijtima Ulama, SBY tetap memegang kunci.
ADVERTISEMENT
Misalnya saja, tim kecil koalisi Prabowo yang intens membahas platform bersama mereka, ternyata berisi kader senior masing-masing partai yang merupakan para eks menteri pemerintahan SBY.
Satu lagi anggota koalisi Prabowo, PAN, gagal meraih panggung dan gagap bermanuver, sehingga terlihat gamang ke mana akan berlabuh.
Walau terlihat lebih sering bersama Prabowo, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan menurut beberapa sumber masih bimbang memutuskan apakah hendak berada di kubu Jokowi, atau mendukung Prabowo yang merupakan sekutu tradisionalnya.
PAN baru akan memutuskan sikap definitifnya dalam Rapat Kerja Nasional yang sedianya digelar hari ini, Senin (6/8), namun diundur satu-dua hari lagi.
“Semua (partai koalisi Prabowo) harus duduk bersama di meja kosong selama urun rembuk. Artinya tanpa membawa prasyarat, apalagi syarat mutlak,” kata Sekjen PAN Eddy Soeparno.
ADVERTISEMENT
Ketua DPP PKS Nasir Djamil mengamini kesulitan yang dihadapi koalisi Prabowo. “Memang tidak mudah mengelola (perbedaan kepentingan) ini. Di satu sisi, kami butuh kawan. Di sisi lain, kawan itu tentu punya keinginan.”
Di antara jerat kepentingan partai-partai koalisinya, Prabowo berucap tenang, “Kami cari yang terbaik untuk semua, rakyat dan bangsa Indonesia.”
Namun, sejumlah pengurus Partai Gerindra melempar isyarat. Anggota Badan Komunikasi Gerindra Andre Rosiade mengatakan, “Di rumah Pak SBY, Pak Prabowo menyatakan salah satu syarat cawapres beliau adalah orang yang bisa menjembatani komunikasinya dengan pemilih milenial, karena 100 juta suara di Pilpres 2019 itu pemilih milenial.”
Sementara Ketua DPP Gerindra Ahmad Riza Patria menyatakan Prabowo akan memprioritaskan kandidat yang mengantongi elektabilitas tertinggi , meski ia kemudian berkata, “Semua calon punya peluang sama.”
ADVERTISEMENT
Kini, tinggal tunggu Prabowo mengetuk palu.