
Presiden RI yang Melapor ke Polisi karena Merasa Difitnah: Soeharto, SBY, Jokowi
5 Mei 2025 18:53 WIB
·
waktu baca 6 menitADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Bertolak ke Polda Metro Jaya pada Jumat pagi (2/5), Joko Widodo melaporkan lima orang (RS, ES, RS, T, dan K) yang selama ini diduga menuding skripsi dan ijazahnya palsu. Membawa serta ijazahnya dari tingkat SD hingga kuliah, Jokowi mengatakan menunjukkan lembaran kertas itu kepada penyidik.
Dua jam lebih Presiden ke-7 RI itu diperiksa. Ia menjawab sekitar 35 pertanyaan. Jokowi sejatinya sempat maju-mundur untuk melaporkan para penyoal ijazahnya. Namun hari itu kesabarannya habis.
“Bapak [Jokowi] ingin mengatakan, ‘Saya ada [batas] sabarnya. Ya sudah, kalau memang kamu ingin saya buktikan [ijazah] ini asli, saya bikin pembuktiannya.’ Jadi tidak [memutuskan dengan] emosional,” ujar kuasa hukum Jokowi, Firmanto Laksana, kepada kumparan.
Alasan lainnya, menurut Firmanto, Jokowi tak bisa membayangkan bila tuduhan ijazah palsu terus mengalir jauh. Ia tak siap bila di masa-masa mendatang anak-cucu dan keturunannya mempertanyakan tuduhan ijazah palsu itu.
ADVERTISEMENT
Intinya: Jokowi tak ingin membiarkan tuduhan berlarut. Ia bertekad menghentikan isu tersebut dengan memprosesnya ke penegak hukum.
Jokowi memperkarakan tuduhan ijazah palsu karena merasa difitnah, dicemarkan namanya, dan diserang kehormatannya sesuai yang disangkakan pada Pasal 310 dan 311 KUHP, serta Pasal 27a, Pasal 32, dan Pasal 35 UU ITE.
Kendati Jokowi belum lama ini merupakan orang nomor satu di negeri ini, pengaduannya dinilai wajar, sebab kini ia sudah menjadi warga sipil sehingga punya hak yang sama untuk memperjuangkan kepentingan hukumnya.
Ahli hukum pidana Universitas Islam Indonesia, Arif Setiawan, menilai jalur hukum yang ditempuh Jokowi sesuatu yang tepat. Walau begitu, tak ada jaminan pengadilan akan memutuskan status ijazah Jokowi: palsu atau asli.
ADVERTISEMENT
Yang jelas, pengadilan adalah salah satu upaya menyibak tabir kebenaran. Bila musyawarah dan tabayun tak menuai kesepakatan dan buntu, maka persidangan di pengadilan bisa membantu.
“Bahwa pengadilan tidak atau belum sempurna, itu betul. Tapi tidak ada cara lain yang lebih baik,” tutur Arif.
Pekerjaan rumahnya adalah bagaimana agar pengadilan bisa menyibak kasus ini: mana kebenaran dan mana yang sekadar tuduhan; mana yang fitnah dan mana absah.
“Pengadilan mempunyai kemampuan membuka tabir,” tegas Arif.
Soeharto dan SBY Juga Pernah Memperkarakan Dugaan Fitnah
Pendahulu Jokowi, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), bahkan Soeharto, juga pernah melaporkan dugaan fitnah dan pencemaran nama baik. Yang berbeda hanya objek perkara dan terlapornya.
SBY
Pada 6 Februari 2018, SBY mendatangi kantor polisi—saat itu Bareskrim Mabes Polri di Gedung Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jalan Medan Merdeka Timur, Gambir, Jakarta Pusat. Ia didampingi sang istri, Ani Yudhoyono.
ADVERTISEMENT
SBY datang ke kantor Polri mengatasnamakan diri sebagai warga negara biasa. Ia memang sudah turun dari tampuk kekuasaan. SBY menjabat Presiden RI dua periode, yaitu 2004-2009 dan 2009-2014.
Ia saat itu mengadukan Firman Wijaya, pengacara mantan Ketua DPR Setya Novanto. SBY merasa namanya dicemarkan karena dikait-kaitkan dengan kasus dugaan korupsi e-KTP. Ia merasa difitnah oleh pernyataan Firman yang menyebut proyek e-KTP berada di bawah kendali SBY dan Partai Demokrat.
SBY memperkarakan Firman dengan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP tentang fitnah dan pencemaran nama baik.
Sepuluh tahun sebelumnya, 29 Juli 2007, saat SBY masih menjabat sebagai presiden, ia juga pernah membuat aduan dugaan pencemaran nama baik ke Polda Metro Jaya. Kala itu SBY melaporkan Wakil Ketua DPR Zaenal Ma’arif.
ADVERTISEMENT
SBY merasa difitnah Zaenal yang menggulirkan isu bahwa ia sudah menikah sebelum masuk Akademi Militer. SBY pun naik pitam dan datang sendiri ke Polda Metro Jaya.
“Saya datang sendiri dalam kapasitas saya sebagai warga negara, bukan sebagai presiden,” kata SBY dikutip dari laman resmi Kementerian Sekretariat Negara, 30 Juli 2007.
“Saya juga tidak menggunakan perangkat negara yang tidak semestinya, [sebab] malah keliru nanti, seperti Jaksa Agung dan Kapolri. Biarkan saya datang sendiri seperti ini,” tambahnya.
Perkara SBY vs Zaenal ini berlanjut ke meja persidangan dan dinyatakan terbukti. Zaenal yang kala itu kader Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dijatuhi hukuman 8 tahun penjara dengan masa percobaan satu tahun.
Era Megawati
Pemidanaan dugaan pencemaran nama baik juga pernah terjadi di era Megawati Soekarnoputri (2001-2004). Kala itu redaktur harian koran Rakyat Merdeka, Supratman, dipidana karena disebut menghina Presiden Megawati.
ADVERTISEMENT
Supratman dijerat tersangka dan dibawa ke meja hijau atas pemberitaan dalam edisi 6, 8, dan 31 Januari 2003. Tulisannya berjudul “Mulut Mega Bau Solar”, “Mega Lintah Darat“, dan “Mega Lebih Ganas dari Sumanto”, disebut menghina presiden Megawati. Pada edisi 4 Februari 2003, RM juga memunculkan judul tulisan “Mega Cuma Sekelas Bupati”.
Tulisan-tulisan di atas membuat Supratman terseret ke meja pengadilan. Ia diadukan seorang anggota Polri. Dikutip dari hukumonline.com, saat itu Supratman dijerat Pasal 134 jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP. Namun pada persidangan yang digelar 27 Oktober 2013 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Ketua Majelis Hakim menganulir dakwaan primer yang dijatuhkan jaksa.
Meski demikian, Supratman hanya dikenakan Pasal 137 Ayat (1) KUHP tentang perbuatan menyiarkan tulisan atau lukisan yang menghina Presiden atau Wakil Presiden. Supratman divonis hukuman enam bulan penjara dengan masa percobaan 12 bulan.
Soeharto
ADVERTISEMENT
Setelah lengser, Soeharto dan keluarganya melaporkan majalah Time karena merasa difitnah dan dicemarkan. Soeharto menggugat Time Asia ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas muatan laporan khusus edisi 24 Mei 1999 bertajuk Suharto Inc.: How Indonesia’s Longtime Boss Built a Family Fortune.
Tajuk tersebut melaporkan adanya transfer dana sebesar 9 miliar dolar AS dari bank Swiss ke Australia. Time menulis bahwa uang berjumlah besar tersebut diduga milik Soeharto. Laporan ini dipublikasikan setahun setelah Soeharto lengser dari kursi presiden.
Soeharto dan keluarganya keberatan atas laporan tersebut dan mengajukan gugatan ke PN Jakarta Pusat. Soeharto meminta agar punggawa majalah tersebut dijatuhi hukuman demi memulihkan nama baik dan kehormatan sang mantan presiden.
Keluarga Cendana juga menuntut Time mencabut laporan yang telah dipublikasikan. Soeharto juga meminta Time Asia meminta maaf melalui media cetak dan elektronik dalam negeri dan internasional. Tak sampai di situ saja, Soeharto pun menuntut ganti rugi materil sebesar 40 ribu dolar AS dan imateril sebesar 27 miliar dolar AS.
Perkara gugatan Soeharto ini bergulir cukup lama, bahkan sampai Soeharto meninggal, proses hukumnya masih berjalan di Mahkamah Agung.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, pada 2000, PN Jakarta Pusat sudah menjatuhkan putusan dengan menolak gugatan Soeharto, lalu setahun kemudian Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperkuat putusan tersebut. Tapi keluarga Soeharto kemudian mengajukan kasasi.
Beberapa tahun berikutnya, 2007, MA mengambil putusan dengan mengabulkan gugatan Soeharto. Time kemudian diwajibkan minta maaf dan membayar ganti rugi Rp1 triliun. Hingga meninggalnya Soeharto, status hukum ‘Soeharto Vs Time’ belum inkrah.
Time teguh melakukan perlawanan. Mereka yakin data dan fakta yang dituangkan dalam laporan investigasi tersebut bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya dan diperoleh secara resmi. Time lalu mengajukan peninjauan kembali alis PK. Di tengah proses PK, Soeharto meninggal dunia, tepatnya 27 Januari 2008.
Proses sidang terus berlanjut sampai pada 19 April 2009 MA memberikan keputusan akhir, yakni menerima PK yang dimohonkan Time. Time tidak perlu membayar ganti rugi triliunan.
ADVERTISEMENT
Hakim Agung Hatta Ali yang kala itu menjadi salah satu anggota majelis dalam proses PK menegaskan, tindakan majalah Time bukan merupakan perbuatan melawan hukum. “Bahwa pelanggaran itu tidak melanggar UU Pers. Itu tidak melanggar kode etik pers dan sudah diberikan hak jawab di Time,” kata Hatta Ali dikutip dari Antara, dipublikasikan Kamis, 16 April 2009.