Cover Lipsus Proyek Senyap Kavling Laut

Proyek Senyap Kavling Laut Tangerang

27 Januari 2025 21:00 WIB
·
waktu baca 16 menit
Cuaca sedang terik-teriknya saat Jaya menuju laut di kawasan Tanjung Pasir, Kabupaten Tangerang, Banten, pada Desember 2023. Dengan menaiki rakit, ia beserta rombongan membawa ratusan bambu setinggi enam meter.
Sesampainya di lokasi yang berjarak sekitar 500 meter sampai 1 km dari pesisir, mereka turun dari rakit masing-masing dan mulai menancapkan bambu di laut. Bambu ditancapkan secara manual pada kedalaman tiga meter. Pekerjaan mereka diawasi seorang mandor, Tyson, yang memantau dari atas perahu.
“Pekerjaan saya dilihat sama dia (Tyson), [diperingatkan] ‘Kalau salah, gak sesuai titik, enggak dapat bayaran,’” kata Jaya. Kepada kumparan, ia meminta namanya disamarkan.
Titik yang dimaksud Jaya ialah titik koordinat pemasangan pagar bambu di laut. Jika patok bambu melenceng sedikit dari lokasi yang sudah ditentukan oleh Tyson, Jaya dan para pekerjanya tidak diupah.
Nelayan membongkar pagar laut di perairan Tanjung Pasir, Kabupaten Tangerang, Banten, Sabtu (18/1/2025). Foto: Rivan Awal Lingga/ANTARA
Jaya bercerita, pekerjaan memasang pagar bambu di laut mulai ia lakoni sejak Desember 2023. Tawaran pekerjaan itu datang dari Kepala Desa Tanjung Pasir, Arun. Jaya kemudian dipertemukan dengan Tyson.
Jaya lantas membawa 9–10 orang untuk bekerja dengannya. Mereka bekerja mulai pukul 08.00 sampai 16.00 WIB, saat kondisi laut sedang surut dengan ketinggian air hanya sedada orang dewasa pada jarak 500 meter dari pantai.
Jika laut tiba-tiba pasang, Jaya dan anak buahnya menancapkan bambu dari atas rakit. Dari pekerjaan itu, Jaya dan para pekerjanya mendapat upah Rp 10 juta per pekan. Artinya, seorang sekitar Rp 1 juta setiap minggunya.
“Pengambilan uang di rumah mandor Tyson,” ucap Jaya yang menjalani pekerjaan itu sekitar enam bulan.
Genap enam bulan, pada Juli 2024, Jaya berhenti. Ia tak tahan lagi menghadapi protes para nelayan yang terganggu jalur melautnya gara-gara pemasangan pagar laut olehnya. Apalagi nelayan-nelayan itu merupakan tetangga dan kawan sendiri. Belum lagi bonus yang dijanjikan kepala desa tak kunjung cair.
Pembongkaran pagar laut oleh nelayan Tanjung Pasir, Sabtu (18/1/2025). Foto: Rivan Awal Lingga/ANTARA
Rabu (22/1), kumparan mendatangi kantor Desa Tanjung Pasir, tapi Kades Arun tak ada di tempat. kumparan diterima seorang aparatur desa, Adi (bukan nama sebenarnya). Menurut Adi, Kades Arun saat itu sedang ikut acara Musrenbang, dan esoknya langsung bertolak ke Yogyakarta.
Saat dimintai nomor kontak Kades Arun, Adi enggan memberikan. Ia hanya memberikan nomor kontak Sekdes Tanjung Pasir, Ahmad Hudri. Namun saat dihubungi, Hudri tak membalas telepon maupun pesan kumparan.
Adi sendiri selaku aparat desa mengaku tak tahu-menahu dengan proyek pagar laut di wilayahnya. Ia mengatakan hanya bertugas di bagian surat-menyurat. Namun, ia menduga pimpinannya tahu soal pagar laut, sebab proyek sebesar itu pasti harus seizin kades untuk kemudian diteruskan infonya kepada kepala dusun dan pengurus RT/RW.
Kantor Desa Tanjung Pasir, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang. Foto: Muthia Firdaus/kumparan
Sepengetahuan Jaya, pemagaran bambu di perairan Tanjung Pasir sudah berlangsung sejak Juli 2023. Setahun sebelumnya, 2022, proyek ini berlangsung di Desa Kramat dan Desa Kohod. Mandornya sama: Tyson. Selain itu, ujar Jaya, ada satu mandor lagi: Memet.
“Memet itu yang di atas. Kalau mandor Tyson yang atur waktu, atur saya kerja,” kata Jaya.
Menurut Jaya, dari kabar yang beredar di kalangan pekerja pagar laut, Memet merupakan koordinator lapangan Agung Sedayu Group—pengembang properti yang menggarap proyek raksasa Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 di pesisir Kabupaten Tangerang. Proyek ini dikerjakan bersama Salim Group.
Pada Maret 2024, PIK 2 mendapat status Proyek Strategis Nasional (PSN) dari pemerintah Jokowi terkait pengembangan ekowisata Tropical Coastland seluas 1.756 hektare.
Konsultan hukum pengembang PSN-PIK 2, Muannas Alaidid, menegaskan pagar laut tak ada kaitannya dengan PIK 2. Bahkan, menurutnya, pagar itu sudah ada sejak 2014 sebelum ada proyek PIK 2. Hal itu berdasarkan foto eks Bupati Tangerang Ahmed Zaki Iskandar saat meninjau kawasan pesisir menggunakan perahu pada 2014.
“Kami tidak punya kepentingan terhadap pagar itu,” tegas Muannas.
Adapun mengenai sosok mandor Memet maupun Tyson, Muannas tak merespons.

Di Balik Operasi Kavling Laut

Sejumlah narasumber yang ditemui kumparan menyebut proyek pagar laut telah dimulai sejak 2023. Namun, ada pula yang menyatakan bambu-bambu sudah terpatok pada 2022.
Dalam liputan khusus kumparan berjudul “Terimpit Proyek Raksasa PIK 2 di Utara Tangerang” pada Juli 2024, seorang nelayan menyatakan jajaran bambu layaknya pagar di perairan Desa Tanjung Pasir hingga Tanjung Burung sudah ada sejak 2022.
Walau demikian, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Banten mengatakan baru menerima laporan nelayan soal pagar laut pada Agustus 2024. Ketika itu, panjang pagar disebut baru mencapai 7 km. Hingga kemudian pada Januari 2025, pagar laut sudah mencapai 30,16 km dengan bentuk bermacam-macam.
Pagar laut itu membentang di 16 desa yang tersebar di 6 kecamatan Kabupaten Tangerang: 3 desa di Kecamatan Kronjo, 3 desa di Kecamatan Kemiri, 4 desa di Kecamatan Mauk, 1 desa di Kecamatan Sukadiri, 3 desa di Kecamatan Pakuhaji, dan 2 desa di Kecamatan Teluknaga.
Keberadaan pagar bambu itu tak mengantongi Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) atau Kesesuaian Kegiatan Ruang Laut (KKRL) dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Di samping itu, merugikan 3.888 nelayan dan 502 pembudi daya.
Kehebohan pagar laut 30 km semakin menjadi usai muncul fakta telah terbit Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) maupun Sertifikat Hak Milik (SHM) di dalam area pagar laut di Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji.
Peta SHGB dan SHM di atas laut di Desa Kohod, Kab Tangerang. Foto: Bhumi ATR
SHGB terkavling menjadi 263 bidang yang terdiri dari 234 bidang atas nama PT Intan Agung Makmur, 20 bidang atas nama PT Cahaya Inti Sentosa, dan 9 bidang atas nama perseorangan. Selain itu ada 17 bidang SHM di kawasan tersebut. Dua perusahaan yang menguasai mayoritas kaveling SHGB di laut itu merupakan anak usaha Agung Sedayu Group.
“Kami beli dari masyarakat. Kami menilai sebenarnya itu daratan, karena dari awal pembelanjaan lahan kami juga koordinasi dengan BPN (Badan Pertanahan Nasional) Provinsi [Banten],” ucap Muannas.
Sumber kumparan di lingkungan Pemprov Banten menyebut pengajuan sertifikat di laut itu dikoordinir oleh Septian Prasetyo dari Law Firm Septian Wicaksono and Partners.
kumparan mendapat beberapa dokumen surat-menyurat oleh Septian terkait upaya pengajuan sertifikat di laut. Manuver awal Septian terekam dalam suratnya kepada DKP Banten tertanggal 21 Juli 2023.
Terkait dokumen-dokumen tersebut, kumparan mencoba menghubungi Septian maupun rekannya, Chandra Eka Agung, berkali-kali. Namun telepon maupun pesan kumparan tak direspons.
Dalam surat itu, Septian mengeklaim telah mendapat kuasa dari 218 warga Pakuhaji yang memiliki bidang-bidang tanah secara turun temurun dengan dasar Letter C atau girik. Total luasnya mencapai 360 hektare.
Septian berupaya mengajukan penerbitan sertifikat tanah-tanah itu ke BPN Kabupaten Tangerang. Namun BPN meminta Septian lebih dulu menanyakan kejelasan status tanah yang menjadi wewenang DKP Banten itu. Alhasil ia meminta DKP menerbitkan surat rekomendasi bahwa tidak terdapat hubungan hukum antara bidang tanah tersebut dengan DKP.
Sepekan setelahnya, 28 Juli 2023, DKP Banten menjawab surat Septian. Dalam poin ketiga, Kepala DKP Banten Eli Susiyanti menegaskan lokasi tanah girik yang hendak diajukan Septian berada di perairan. Lokasi itu merupakan zona perikanan budidaya, zona perikanan tangkap dan wilayah kerja minyak dan gas bumi. Sebagian area juga masuk rencana pembangunan waduk lepas pantai oleh Bappenas.
Dalam surat jawaban itu, DKP Banten melampirkan lokasi area yang dimohonkan Septian. Area berwarna kuning tersebut mirip dengan lokasi terbitnya SHGB dan SHM di Desa Kohod.
Tak berhasil di DKP, Septian bermanuver ke Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Banten. Menurut sumber kumparan, terdapat tafsir di Perda 1/2023 terkait tata ruang Banten bahwa area yang dimohonkan dimungkinkan sebagai kawasan permukiman.
Berpatokan pada tafsir itu, BPN Kabupaten Tangerang akhirnya menerbitkan SHGB maupun SHM di laut Desa Kohod. Sertifikat terbit secara bertahap sejak Agustus 2023.
Namun BPN tidak mengukur dan mengecek langsung tanah tersebut ke lapangan. “Kegiatan pengukuran dilaksanakan oleh pihak ketiga Kantor Jasa Surveyor Berlisensi (KJSB). Yang turun ke lapangan mereka [KJSB], bukan kami,” ujar Rio, staf BPN Kab Tangerang, Kamis (23/1).
Sumber kumparan menyebut saat proses pengukuran itulah pagar laut berperan krusial. Walau secara nyata lokasi berada di lautan, namun karena klaim girik berada di pesisir, maka area itu dianggap seolah-olah daratan. Cara mengukurnya pun harus seperti di darat yakni jelas bidang dan patoknya. Sehingga pagar laut seakan menjadi pembatas antar bidang tanah.
“Tujuan pagar laut ini untuk pengukuran,” kata sumber itu.
Warga Desa Kohod, Tangerang, menyampaikan aspirasi saat Menteri ATR/BPN Nusron Wahid berkunjung, Jumat (24/1/2025). Foto: ANTARA/Putra M. Akbar
Pengajuan sertifikat ke BPN pun diduga mencatut nama warga. Nasar, warga Kohod, menyebut nama anaknya, Nasrullah, dipakai sebagai pemilik SHGB. Pencatutan itu bermula pada 2021 saat Kades Kohod, Arsin, meminta KTP anaknya. Namun saat itu ditolak.
Arsin lalu memerintahkan staf desa ke rumah Nasar untuk meminta KTP dan Kartu Keluarga (KK) Nasrullah. Alasannya hendak difotokopi untuk pendataan. Hingga kemudian pada 2024, Nasar kaget karena tiba-tiba ada SHGB atas nama anaknya Nasrullah. Surat ukur tanah itu terbit pada 11 Desember 2023 dengan luas 14.978 m2.
Lima bulan setelahnya, SHGB terbit pada 21 Mei 2024. Dasar penerbitan SHGB itu yakni alas hak surat keterangan ahli waris No. 594/181/2023. Padahal Nasar yang notabene orang tua Nasrullah masih hidup.
“Darimana uangnya saya [beli lahan itu], itu kan luas. Kalau misalnya saya mau beli, saya mau belinya sama siapa? Itu kan laut,” kata Nasar.
Informasi SHGB atas nama Nasrullah di perairan Desa Kohod, Tangerang. Foto: kumparan
Klaim kepemilikan girik di surat tersebut memang janggal. Sebab nama-nama yang dicantumkan memiliki luas lahan yang serupa yakni 15 ribu meter persegi. Guru Besar Hukum Agraria UGM Nurhasan Ismail menyatakan, bukti surat girik memang rentan disalahgunakan.
“Jangankan hanya buku letter C, seperti di luar-luar Jawa yang namanya Surat Keterangan Tanah sering menjadi konflik. Karena satu bidang tanah oleh kepala desa diberikan kepada dua orang, padahal lokasinya sama,” kata Nurhasan.
kumparan berupaya mengonfirmasi keterangan tersebut dengan mendatangi kantor Desa Kohod, Rabu (22/1). Namun Kades Arsin tidak ada di lokasi, hanya terdapat seorang staf.
kumparan kemudian mengirim surat permohonan wawancara kepada Kades Arsin melalui staf tersebut, namun hingga kini belum ditanggapi. kumparan pun berkali-kali mengontak langsung Arsin ke nomor teleponnya, tapi tetap tak direspons.
Menteri ATR/BPN Nusron Wahid meninjau lokasi laut yang memiliki SHGB hingga SHM di Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji, Tangerang, Jumat, (24/1/2024). Di sebelahnya ialah Kades Kohod, Arsin. Foto: Dok kumparan
Pada akhir pekan, beredar surat berkop Kejaksaan Agung yang ditujukan kepada Kades Arsin. Isi surat meminta Arsin membawa data atau dokumen berupa buku Letter C Desa Kohod terkait kepemilikan hak di area pagar laut.
Permintaan dokumen itu disebut untuk kepentingan penyelidikan dugaan korupsi penerbitan SHGB dan SHM di laut Tangerang. Surat tertanggal 21 Januari 2025 itu diteken Direktur Penyidikan JAMPidsus Kejagung Abdul Qohar.
Kejagung tak membantah maupun membenarkan surat tersebut. Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar menyatakan tengah mendalami dugaan korupsi di balik penerbitan SHGB dan SHM di lokasi pagar laut.
“Kami sedang mengikuti secara saksama perkembangannya di lapangan, dengan mengedepankan instansi atau lembaga leading sector yang sedang menangani, dan secara proaktif melakukan kajian dan pendalaman apakah ada informasi atau data yang mengindikasikan peristiwa pidana terkait tipikor,” ujar Harli, Sabtu (25/1).
Pagar laut bikin geger. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan

Kavling Laut Menarget 16 Desa

Berhasil di Desa Kohod, upaya mengkavling laut berlanjut lagi dengan target lahan yang lebih besar. Kepada Plt. Direktur Perencanaan Ruang Laut KKP, Septian menulis surat atas nama firma hukumnya maupun menggunakan perusahaan jasa perizinan (PT Solusindo Teknik Indonesia), untuk mengajukan penyesuaian batas wilayah di 16 desa di Kabupaten Tangerang. Surat itu sama-sama tertanggal 25 Oktober 2024.
Perubahan batas wilayah itu diperlukan untuk mengajukan penerbitan alas hak girik seluas 1.500 hektare yang terpecah menjadi 389-413 bidang.
Lahan-lahan itu tersebar di desa Tanjung Pasir, Tanjung Burung, Muncung, Kronjo, Pagedangan Ilir, Lontar, Karang Anyar, Patramanggala, Mauk Barat, Ketapang, Karang Serang, Marga Mulya, Tanjung Anom, Sukawali, Kramat, dan Kohod. Desa-desa itu merupakan desa yang dilintasi pagar laut sepanjang 30 km.
Dalam suratnya, Septian menyatakan bidang-bidang tanah girik itu selama beberapa tahun tidak dapat dimanfaatkan oleh pemilik lahan karena terkena abrasi.
“Namun ketika dilakukan penelaahan oleh perwakilan Pemerintah Desa beberapa waktu yang lalu, saat ini objek-objek bidang tanah tersebut kembali terlihat dan timbul lebih kurang seluas 53 hektare,” demikian isi surat itu.
Dalam surat atas nama PT Solusindo Teknik Indonesia, dicantumkan petikan isi surat palsu DKP Banten tertanggal 23 September 2024. Surat palsu itu mengubah isi poin ketiga di surat sebelumnya tanggal 28 Juli 2023.
Isi surat berubah menjadi wilayah yang dimohonkan Septian bukanlah zona perikanan budidaya, zona perikanan tangkap, zona pertambangan energi dan mineral, serta tidak termasuk wilayah kerja TNI AL dan Polair.
Surat yang ditujukan ke KKP itu juga melampirkan permohonan dari para kepala desa. Isinya para kepala desa meminta kepada BPN Kab Tangerang agar tanah abrasi yang diklaim timbul kembali untuk dicek dan diidentifikasi.
Bentuk dan isi surat dari masing-masing kepala desa tersebut serupa, hanya berbeda di luas tanah yang diklaim timbul kembali yakni sekitar 35 hektare hingga 239 hektare.
Sekitar dua bulan sebelum surat Septian ke KKP itu, pada akhir Agustus 2024 di BSD Tangsel, Dinas PUPR Banten mengundang berbagai pihak untuk membahas permohonan dari para kades itu. Salah satu yang diundang adalah Badan Informasi Geospasial.
“Saat itu kami menggambarkan kondisi eksisting dari garis pantainya. Berdasarkan survei terestris, beberapa bidang tanah yang [diklaim] terkena abrasi itu berada di luar garis pantai tertinggi yang dianggap sebagai lautan, bukan daratan,” ujar Kepala BIG Aris Marfai pada kumparan, Jumat (24/1).
Kepala Badan Informasi Geospasial Aris Marfai. Foto: Instagram/ @arismarfai
Setelahnya, BIG juga diundang rapat oleh Ditjen Bina Administrasi Kewilayahan Kemendagri membahas persoalan serupa. Aris menyatakan sikap BIG tetap sama.
Menurut sumber kumparan di lingkungan Pemprov Banten, upaya Septian dan para kades itu bertujuan untuk mengubah garis pantai. Jika sebelumnya pagar laut dipakai untuk pengukuran, kali ini disinyalir sebagai bukti seolah muncul garis pantai baru apabila dilihat dari penginderaan jauh atau citra satelit.
“Fungsi pagar begitu di citra satelit muncul [garis] putih-putih, itu yang [berupaya] diklaim sebagai tanah timbul,” kata sumber itu.
Sumber ini menambahkan pengajuan kaveling laut diduga terkait dengan proyek pagar bambu. Dugaan ini muncul sebab dalam surat perusahaan jasa perizinan di poin keempat disinggung mengenai pembuatan cerucuk bambu.
“Pertimbangan untuk dilakukannya kesesuaian ruang pada lokasi yang akan dimohonkan meliputi perbaikan struktur pantai yang mengalami abrasi … Perbaikan dimaksud akan dilakukan secara tradisional dengan cara membentuk cerucuk dari bahan bambu membentuk sekatan-sekatan dan tanggul agar dapat teridentifikasi menjadi bidang-bidang,” demikian isi surat di poin keempat.
Namun surat permohonan Septian itu ditolak KKP. Dalam surat jawaban pada 11 November 2024, Plt. Direktur Perencanaan Ruang Laut Suharyanto menyatakan hasil overlay citra satelit terhadap lokasi girik yang diklaim di 16 desa nyatanya sejak tahun 1990 merupakan laut dan tidak pernah berbentuk bidang tanah.
“Permohonan penyesuaian batas administrasi wilayah di Kabupaten Tangerang yang terdapat di ruang laut menjadi tidak memiliki dasar,” lanjut isi surat tersebut.
Selain itu KKP juga mencantumkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010 bahwa ruang laut tidak boleh diberikan hak kepemilikan.
Namun menurut Guru Besar Hukum Agraria UGM Nurhasan Ismail, hak atas tanah di perairan pesisir sedianya masih dimungkinkan. Ia mencontohkan masyarakat Suku Bajo yang mendapat HGB pada 2022 dan 2023. Walau demikian, penerbitan HGB tersebut harus sesuai prosedur yakni terlebih dahulu mengantongi izin PKKPRL.
kumparan telah menghubungi Septian maupun rekannya, Chandra Eka Agung, berkali-kali ke nomor kontak yang dicantumkan di surat ke DKP maupun KKP. Namun hingga kini tak direspons.
Di kesempatan terpisah, telepon kumparan sempat diangkat oleh Septian. Namun saat memperkenalkan diri sebagai wartawan, Septian langsung menutup telepon. Adapun Muannas tak menjawab saat dikonfirmasi mengenai sosok Septian.
Peta pagar laut dan abrasi di pesisir Tangerang. Foto: Badan Informasi Geospasial (BIG)

Benarkah Pesisir Tangerang Abrasi?

Surat para kepala desa maupun Septian menarasikan bahwa tanah seluas 1.500 hektare di 16 desa hilang karena abrasi. Lantas benarkah klaim itu?
Kepala BIG Aris Marfai menyatakan, berdasarkan peta rupa bumi Indonesia (RBI) 2001—yang dasarnya foto udara 1993—maupun peta RBI terkini, memang terdapat beberapa bagian di pesisir Tangerang yang terkena abrasi. Namun daerah yang terkena abrasi itu masih dekat dengan darat, tidak sampai batas luar pagar laut.
“Mulai tahun 90-an dipastikan sebagian besar [lokasi] yang berpolemik sudah berada di laut,” kata Aris.
Aris pun menunjukkan perbandingan garis pantai di peta RBI 2001, garis pantai di RBI 2024, dan batas pagar laut. Hasilnya wilayah yang terkena abrasi ada di Desa Pagedangan Ilir, Mauk Barat, Ketapang, Marga Mulya, Sukawali, dan Kramat. Abrasi-abrasi itu, menurut Aris, hanya terjadi kurang dari 200 meter. Sedangkan khusus di Kohod yang sudah terbit SHGB dan SHM, abrasinya justru sangat kecil.
Aris menambahkan, ada pula daerah yang terkena akresi atau penambahan daratan yang signifikan karena sedimentasi muara Sungai Cisadane. Peristiwa ini terjadi di desa Tanjung Burung dan Tanjung Pasir.
“Lokasi abrasi tidak pernah sampai sini [pagar laut],” kata Aris.
Menteri ATR/BPN Nusron Wahid (kedua kiri) berjalan melewati jembatan saat mengecek pagar laut di Pantai Anom, Desa Kohod, Tangerang, Jumat (24/1/2025). Foto: ANTARA/Putra M. Akbar
Menteri ATR Nusron Wahid menyatakan wilayah laut Desa Kohod yang terbit SHGB dan SHM diajukan berdasarkan klaim girik tahun 1982, sehingga menurut Dirjen Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah Kementerian ATR Asnaedi, hanya BIG yang bisa memutuskan apakah pada 1982 lautan tersebut dulunya sawah maupun tambak.
Mengenai hal tersebut, Aris menyatakan data terlama yang dimiliki BIG adalah peta udara 1993. Sehingga menurut Aris, pihak yang menerbitkan sertifikat di tahun tersebutlah yang harus punya sumber rujukan kuat bahwa dulu wilayah itu daratan.
Sejauh ini, koordinasi BIG dengan Kementerian ATR hanya membandingkan daerah yang diklaim terkena abrasi dengan peta garis pantai terkini. Sehingga hal tersebut yang menjadi acuan Kementerian ATR membatalkan SHGB dan SHM di perairan Kohod.
“Karena laut ya laut, darat ya darat. Kalau enggak ada objek seperti daratan ya harus dikatakan laut. Enggak mungkin kami menggeser peta. Pertanyaannya kondisi saat ini apa? Laut,” kata Aris.
Foto udara pagar laut (garis tipis memanjang) membentang di perairan Kecamatan Mauk, Tangerang, Januari 2025. Foto: Iggoy el Fitra/ANTARA
Aris menyatakan BIG siap jika memang ditugasi untuk menelusuri peta lama sebelum 1990-an.
“Masalahnya sertifikat itu sekarang di laut, dan laut tidak bisa disertifikat. Lalu kalau sudah ada [klaim] sertifikat (girik) yang lama bagaimana? Penyelesaiannya dapat menggunakan PP 43 Tahun 2021,” ucapnya.
Direktur Rujak Center for Urban Studies, Elisa Sutanudjadja, berpendapat alasan abrasi di Kohod dengan klaim girik 1982 mustahil. Sebab jika merujuk citra satelit Google Earth, walau paling lama tahun 1985, abrasi yang terjadi tak mungkin sedahsyat itu. Bahkan jika dibandingkan antara garis pantai 1985 dan 2024, perubahan di Kohod tidak terlalu jauh.
kumparan juga menelusuri penginderaan jauh di kawasan Kohod pada zaman dahulu. Dengan menggunakan citra satelit Landsat 1-5 MSS C2 L1, hasilnya ditemukan bahwa pada 1978 atau 4 tahun sebelum klaim tanah girik muncul, garis pantai di kawasan itu tidak banyak berubah.
Elisa menduga alibi abrasi merupakan upaya untuk menyalahgunakan Peraturan Menteri ATR tentang Tata Cara Penetapan Tanah Musnah. Aturan tersebut memberikan kesempatan kepada orang yang dirugikan karena tanahnya musnah imbas peristiwa alam untuk bisa mengeklaim kembali tanahnya. Syaratnya harus membuktikan kemampuan untuk memulihkan kembali tanahnya, salah satunya dengan reklamasi. Aturan itu, kata Elisa, rentan disalahgunakan.
“Jika pihak tersebut mampu mereklamasi dan mempunyai bukti-bukti kepemilikan tanah, maka dia bisa mengeklaim walaupun bukan warga tersebut. Ini sama persis dengan apa yang terjadi di Tangerang,” kata Elisa.
Hebohnya sertifikat di atas laut membuat Menteri ATR Nusron bergerak. Sejauh ini Kementerian ATR telah membatalkan sekitar 50 bidang sertifikat. Muannas menyatakan Agung Sedayu Group mengikuti keputusan pemerintah mengenai pembatalan itu.
“Apa pun keputusan pemerintah kami ikuti,” ucap Muannas.
Perahu nelayan di dekat muara Cisadane, Tangerang, dengan latar belakang apartemen Tokyo Riverside PIK 2. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Selain pembatalan sertifikat, Kementerian ATR juga tengah mengusut apakah terjadi pelanggaran dalam penerbitan SHGB maupun SHM. Sejauh ini terdapat 4 pejabat ATR yang telah diperiksa secara internal di antaranya Kepala Pertanahan, Kepala Seksi 1, dan Kepala Seksi 2.
Sementara mengenai dalang pembuat pagar laut, hingga kini KKP masih menyelidiki dan belum menyebut siapa di balik proyek tersebut. Sementara Polda Banten menyerahkan penanganan pidana kasus pagar laut ke KKP.
Saat rapat dengan Komisi IV DPR pada 23 Januari, Menteri KKP Sakti Wahyu Trenggono berjanji menuntaskan kasus pagar laut dalam sepekan. DPR pun meminta Trenggono tak gentar mengungkapnya.
“Kementerian tidak perlu takut dengan oligarki karena DPR ada di belakang kementerian,” ujar Ketua Komisi IV DPR RI Siti Hediati Hariyadi alias Titiek Soeharto.
Pagar laut bak jerat yang membahayakan nelayan. Ilustrasi: Adi Prabowo Wicaksono/kumparan
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten