Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.99.1

Sesampainya di lokasi yang berjarak sekitar 500 meter sampai 1 km dari pesisir, mereka turun dari rakit masing-masing dan mulai menancapkan bambu di laut. Bambu ditancapkan secara manual pada kedalaman tiga meter. Pekerjaan mereka diawasi seorang mandor, Tyson, yang memantau dari atas perahu.
“Pekerjaan saya dilihat sama dia (Tyson), [diperingatkan] ‘Kalau salah, gak sesuai titik, enggak dapat bayaran,’” kata Jaya. Kepada kumparan, ia meminta namanya disamarkan.
Titik yang dimaksud Jaya ialah titik koordinat pemasangan pagar bambu di laut . Jika patok bambu melenceng sedikit dari lokasi yang sudah ditentukan oleh Tyson, Jaya dan para pekerjanya tidak diupah.
Jaya bercerita, pekerjaan memasang pagar bambu di laut mulai ia lakoni sejak Desember 2023. Tawaran pekerjaan itu datang dari Kepala Desa Tanjung Pasir, Arun. Jaya kemudian dipertemukan dengan Tyson.
Jaya lantas membawa 9–10 orang untuk bergabung dengannya. Mereka bekerja mulai pukul 08.00 sampai 16.00 WIB, saat kondisi laut sedang surut pada ketinggian air sedada orang dewasa. Mereka memasang bambu-bambu pada jarak 500 meter dari pantai.
Jika laut tiba-tiba pasang, Jaya dan anak buahnya menancapkan bambu dari atas rakit. Per pekan, Jaya dan para pekerjanya mendapat upah Rp 10 juta. Artinya, seorang sekitar Rp 1 juta setiap minggunya.
“Pengambilan uang di rumah mandor Tyson,” ucap Jaya yang menjalani pekerjaan itu selama setengah tahun.
Genap enam bulan, pada Juli 2024, Jaya berhenti. Ia tak tahan lagi menghadapi protes para nelayan yang terganggu jalur melautnya gara-gara pemasangan pagar laut oleh kelompoknya. Apalagi nelayan-nelayan itu merupakan tetangga dan kenalannya. Selain itu, bonus yang dijanjikan kepala desa tak kunjung cair.
Rabu (22/1), kumparan mendatangi kantor Desa Tanjung Pasir, namun Kades Arun tak ada di tempat. kumparan diterima seorang aparatur desa, Adi (bukan nama sebenarnya). Menurut Adi, Kades Arun saat itu sedang ikut acara Musrenbang, dan esoknya akan langsung bertolak ke Yogyakarta.
Saat dimintai nomor telepon Kades Arun, Adi enggan memberikan. Ia hanya memberikan nomor kontak Sekdes Tanjung Pasir, Ahmad Hudri. Namun saat Hudri dihubungi lewat telepon maupun pesan tertulis, ia tak membalas.
Adi sendiri selaku aparat desa mengaku tak tahu-menahu soal proyek pagar laut di wilayahnya. Ia mengatakan, hanya bertugas di bagian surat-menyurat.
Meski demikian, Adi menduga atasannya tahu soal kasus pagar laut, sebab proyek sebesar itu harus seizin kades sebelum diinformasikan ke kepala dusun dan pengurus RT/RW.
Setahu Jaya, pemagaran bambu di perairan Tanjung Pasir sudah berlangsung sejak Juli 2023. Setahun sebelumnya, 2022, proyek ini berlangsung di Desa Kramat dan Desa Kohod. Mandornya sama: Tyson. Selain itu, ujar Jaya, ada satu mandor lagi: Memet.
“Memet itu yang di atas. Kalau Tyson yang atur waktu, atur saya kerja,” kata Jaya.
Menurutnya, dari kabar yang beredar di kalangan pekerja pagar laut, Memet merupakan koordinator lapangan Agung Sedayu Group—pengembang properti yang menggarap proyek raksasa Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 di pesisir Tangerang bersama Salim Group.
Konsultan hukum pengembang PSN-PIK 2, Muannas Alaidid, menegaskan pagar laut tak ada kaitannya dengan PIK 2. Bahkan, menurutnya, pagar itu sudah ada sejak 2014, sebelum proyek PIK 2 dimulai. Buktinya, pagar itu sudah terlihat pada foto eks Bupati Tangerang Ahmed Zaki Iskandar saat ia berperahu meninjau pesisir Tangerang pada 2014.
“Kami tidak punya kepentingan terhadap pagar itu,” tegas Muannas.
Ketika hendak ditanya lebih lanjut soal mandor Memet dan mandor Tyson yang diduga sebagai koordinator lapangan Agung Sedayu Group, Muannas tak merespons.
Melacak Operasi Kavling Laut
Sejumlah narasumber yang ditemui kumparan menyebut proyek pagar laut telah dimulai sejak 2023. Namun, ada pula yang menyatakan bambu-bambu sudah terpatok pada 2022.
Dalam liputan khusus kumparan berjudul “Terimpit Proyek Raksasa PIK 2 di Utara Tangerang ” pada Juli 2024, seorang nelayan menyatakan jajaran bambu layaknya pagar di perairan Desa Tanjung Pasir hingga Tanjung Burung sudah ada sejak 2022.
Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Banten mengatakan, baru menerima laporan nelayan soal pagar laut pada Agustus 2024. Ketika itu, panjang pagar disebut baru mencapai 7 km. Lima bulan kemudian, Januari 2025, panjang pagar laut sudah mencapai 30,16 km dengan bentuk yang bermacam-macam.
Pagar laut itu membentang di 16 desa yang tersebar di 6 kecamatan Kabupaten Tangerang, dengan rincian: 3 desa di Kecamatan Kronjo, 3 desa di Kecamatan Kemiri, 4 desa di Kecamatan Mauk, 1 desa di Kecamatan Sukadiri, 3 desa di Kecamatan Pakuhaji, dan 2 desa di Kecamatan Teluknaga.
Keberadaan pagar bambu itu tak mengantongi Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) atau Kesesuaian Kegiatan Ruang Laut (KKRL) dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Di samping itu, merugikan 3.888 nelayan dan 502 pembudi daya.
Kehebohan pagar laut 30 km makin menjadi usai muncul fakta telah terbit Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) di dalam area pagar laut di Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji.
SHGB tersebut terkavling menjadi 263 bidang yang terdiri dari 234 bidang atas nama PT Intan Agung Makmur, 20 bidang atas nama PT Cahaya Inti Sentosa, dan 9 bidang atas nama perseorangan. Selain itu, ada 17 bidang SHM di perairan tersebut.
Dua perusahaan yang mendominasi kavling SHGB di laut Tangerang, PT Intan Agung Makmur dan PT Cahaya Inti Sentosa, adalah anak usaha Agung Sedayu Group.
“[SHGB itu] kami beli dari masyarakat. Kami menilai sebenarnya wilayah itu daratan, karena dari awal pembelanjaan lahan, kami juga koordinasi dengan BPN Provinsi [Banten],” ucap Muannas, konsultan hukum pengembang PSN-PIK 2.
Sumber kumparan di lingkungan Pemprov Banten menyebut pengajuan sertifikat di laut itu dikoordinir oleh Septian Prasetyo dari Septian Wicaksono and Partners Law Firm.
kumparan mendapat beberapa dokumen surat-menyurat oleh Septian terkait upaya pengajuan sertifikat di laut. Langkah awal Septian terekam dalam suratnya kepada DKP Banten tertanggal 21 Juli 2023.
Terkait dokumen-dokumen tersebut, kumparan berkali-kali mencoba menghubungi Septian maupun rekannya, Chandra Eka Agung. Namun baik telepon maupun pesan kumparan tak direspons.
Pada satu kesempatan, telepon kumparan ke nomor Septian sempat diangkat. Namun saat kumparan memperkenalkan diri sebagai wartawan, telepon langsung ditutup.
Dalam surat kepada DKP Banten seperti tertera di atas, Septian mengeklaim telah mendapat kuasa dari 218 warga Kecamatan Pakuhaji yang memiliki bidang-bidang tanah secara turun-temurun dengan dasar Letter C atau girik (surat kuasa atas lahan secara adat).
Total luas lahan 218 warga Pakuhaji yang “diserahkan” ke Septian itu mencapai 360 hektare. Septian kemudian berupaya mengajukan penerbitan sertifikat atas tanah-tanah itu ke BPN Kabupaten Tangerang. Namun, BPN Kab. Tangerang meminta Septian menanyakan lebih dulu ke DKP Banten—yang dianggap berwenang—soal kejelasan status lahan-lahan tersebut.
Septian pun menyurati DKP Banten. Ia meminta instansi itu menerbitkan surat rekomendasi yang berisi keterangan bahwa tidak terdapat hubungan hukum antara bidang-bidang tanah di Pakuhaji tersebut dengan DKP.
Sepekan setelahnya, 28 Juli 2023, DKP Banten menjawab surat Septian. Pada poin ketiga, Kepala DKP Banten Eli Susiyanti menegaskan bahwa lokasi tanah girik yang hendak diajukan Septian berada di perairan.
Perairan tersebut merupakan zona perikanan budi daya, perikanan tangkap, serta wilayah kerja minyak dan gas bumi. Sebagian areanya bahkan masuk rencana pembangunan waduk lepas pantai oleh Bappenas.
Dalam surat jawaban itu, DKP Banten melampirkan lokasi yang dimohonkan Septian. Area tersebut berwarna kuning dan mirip dengan lokasi terbitnya SHGB serta SHM di Desa Kohod.
Tak berhasil di DKP, Septian berkoordinasi dengan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Banten. Menurut sumber kumparan, terdapat tafsir pada Perda 1/2023 terkait tata ruang Banten yang memungkinkan area yang dimohonkan Septian sebagai kawasan permukiman.
Berpatokan pada tafsir itu, BPN Kabupaten Tangerang akhirnya menerbitkan SHGB dan SHM di perairan Desa Kohod. Sertifikat-sertifikat itu terbit secara bertahap sejak Agustus 2023. Namun, BPN Kab. Tangerang tidak turun langsung ke lapangan untuk mengukur dan mengecek langsung lahan-lahan tersebut.
“Kegiatan pengukuran dilaksanakan oleh pihak ketiga, yakni Kantor Jasa Surveyor Berlisensi (KJSB). Yang turun ke lapangan mereka, bukan kami,” ujar Rio, staf BPN Kab Tangerang, Kamis (23/1).
Sumber kumparan mengatakan, saat proses pengukuran itulah pagar laut berperan krusial. Meski lokasi yang diukur ada di lautan, karena klaim girik berada di pesisir, maka area itu dianggap daratan. Cara mengukurnya pun seperti di darat: jelas bidang dan patoknya. Jadi, pagar laut seolah menjadi pembatas antarbidang tanah.
“Tujuan [dibuatnya] pagar laut ya untuk pengukuran itu,” ujar sumber tersebut.
Sertifikat Laut Mencatut Nama Warga
Pengajuan sertifikat ke BPN Kabupaten Tangerang ternyata diduga mencatut nama warga. Nasar, warga Desa Kohod di Kecamatan Pakuhaji, menyebut nama anaknya, Nasrullah, dipakai sebagai pemilik SHGB. Pencatutan itu bermula pada 2021 ketika Kades Kohod, Arsin, meminta Kartu Tanda Penduduk (KTP) anaknya. Permintaan itu awalnya ditolak.
Setelahnya, Arsin memerintahkan pegawai desa ke rumah Nasar untuk meminta KTP dan Kartu Keluarga (KK) Nasrullah. Alasannya hendak difotokopi untuk pendataan penduduk.
Tetiba pada 2024, ada SHGB atas nama Nasrullah.
Sebelum SHGB terbit, surat ukur tanahnya terbit pada 11 Desember 2023. Luas lahannya 14.978 meter persegi.
Lima bulan kemudian, 21 Mei 2024, SHGB terbit. Dasar penerbitan SHGB itu ialah surat keterangan ahli waris No. 594/181/2023. Ini janggal, sebab orang tua si ahli waris, Nasar, masih hidup.
“Dari mana uangnya [buat beli lahan]? Itu kan luas. Kalaupun saya mau beli, ke siapa? Itu kan laut,” kata Nasar.
Klaim kepemilikan girik pada surat tersebut memang janggal, sebab nama-nama yang dicantumkan memiliki luas lahan yang sama, yakni 15 ribu meter persegi.
Guru Besar Hukum Agraria UGM Nurhasan Ismail menyatakan, bukti surat girik memang rentan disalahgunakan.
“Jangankan buku letter C, di luar-luar Jawa yang namanya Surat Keterangan Tanah sering jadi konflik karena satu bidang tanah oleh kepala desa diberikan kepada dua orang, padahal lokasinya sama,” kata Nurhasan.
kumparan mencoba mengonfirmasi hal ini dengan mendatangi kantor Desa Kohod, Rabu (22/1). Namun Kades Arsin tidak ada di kantornya. Di sana hanya ada seorang staf.
kumparan kemudian mengirim surat permohonan wawancara kepada Kades Arsin melalui staf tersebut, namun hingga kini belum ditanggapi. Selain surat, panggilan telepon juga berkali-kali diupayakan ke nomor Arsin, tapi tetap tak direspons.
Minggu, 26 Januari 2025, beredar surat berkop Kejaksaan Agung yang ditujukan kepada Kades Arsin. Isinya meminta Arsin membawa data atau dokumen berupa buku Letter C Desa Kohod terkait kepemilikan hak di area pagar laut.
Permintaan dokumen itu disebut untuk kepentingan penyelidikan dugaan korupsi penerbitan SHGB dan SHM di perairan Tangerang. Surat tertanggal 21 Januari 2025 itu diteken Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejagung Abdul Qohar.
Kejagung tak menampik surat tersebut. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar mengatakan institusinya mendalami dugaan korupsi di balik penerbitan SHGB dan SHM di area pagar laut.
“Kami sedang mengikuti secara saksama perkembangan di lapangan, dengan mengedepankan lembaga leading sector yang sedang menangani, dan secara proaktif melakukan kajian dan pendalaman apakah ada informasi atau data yang mengindikasikan peristiwa pidana terkait tipikor,” ujar Harli, Sabtu (25/1).
Kavling Laut Menarget 16 Desa
Berhasil di Desa Kohod, upaya mengkavling laut berlanjut. Lahan yang ditarget lebih luas. Dalam dua surat tertanggal 25 Oktober 2024 kepada Plt. Direktur Perencanaan Ruang Laut KKP, Septian Wicaksono and Partners Law Firm dan perusahaan jasa perizinan yang bekerja sama dengannya, PT Solusindo Teknik Indonesia, mengajukan penyesuaian batas wilayah di desa-desa pesisir Tangerang.
Perubahan batas wilayah itu diperlukan untuk mengajukan penerbitan alas hak girik seluas 1.500 hektare yang terpecah menjadi 389–413 bidang. Lahan-lahan itu tersebar di 16 desa di Kabupaten Tangerang, yakni Desa Tanjung Pasir, Tanjung Burung, Muncung, Kronjo, Pagedangan Ilir, Lontar, Karang Anyar, Patramanggala, Mauk Barat, Ketapang, Karang Serang, Marga Mulya, Tanjung Anom, Sukawali, Kramat, dan Kohod.
Seluruh desa itu merupakan desa yang dilintasi pagar laut sepanjang 30 km.
Surat itu menyebut bahwa bidang-bidang tanah girik itu selama beberapa tahun tidak dapat dimanfaatkan oleh pemilik lahan karena terkena abrasi.
“Namun ketika dilakukan penelaahan oleh perwakilan Pemerintah Desa beberapa waktu yang lalu, saat ini objek-objek bidang tanah tersebut kembali terlihat dan timbul lebih kurang seluas 53 hektare,” demikian isi surat-surat itu.
Surat dari PT Solusindo Teknik Indonesia juga mencantumkan petikan isi surat palsu DKP Banten tertanggal 23 September 2024. Surat palsu itu mengubah isi butir ketiga pada surat asli DKP tanggal 28 Juli 2023.
Wilayah yang dimohonkan Septian pada surat palsu tersebut bukan zona perikanan budi daya, bukan zona perikanan tangkap, bukan zona pertambangan energi dan mineral, serta tidak termasuk wilayah kerja TNI AL dan Polair.
Surat yang ditujukan ke KKP itu juga melampirkan permohonan dari para kepala desa. Isinya: para kepala desa meminta kepada BPN Kabupaten Tangerang untuk mengecek dan mengidentifikasi tanah abrasi yang disebut timbul kembali.
Bentuk dan isi surat dari tiap kepala desa itu serupa, hanya berbeda terkait luas tanah yang diklaim timbul kembali, yakni 35 hektare sampai 239 hektare.
Area yang Dipagar Dari Dulu Laut
Dua bulan sebelum surat-surat tersebut dikirim ke KKP, yakni akhir Agustus 2024, Dinas PUPR Banten mengundang berbagai pihak untuk membahas permohonan para kades itu. Salah satu yang diundang adalah Badan Informasi Geospasial. Pertemuan berlangsung di BSD, Tangerang Selatan.
“Saat itu kami menggambarkan kondisi existing dari garis pantainya (di pesisir Tangerang),” ujar Kepala BIG Aris Marfai kepada kumparan, Jumat (24/1).
Setelah pertemuan di BSD itu, Badan Informasi Geospasial juga diundang rapat oleh Ditjen Bina Administrasi Kewilayahan Kemendagri untuk membahas persoalan serupa. Sikap lembaga itu tetap sama: pesisir Tangerang yang disebut abrasi itu lautan, bukan daratan.
Menurut sumber kumparan di lingkungan Pemprov Banten, rangkaian upaya yang dilancarkan Septian dan para kades bertujuan untuk mengubah garis pantai Tangerang.
Setelah sebelumnya pagar laut dipakai untuk mengukur bidang-bidang lahan di lautan yang akan dibuatkan sertifikatnya, berikutnya diduga hendak digunakan sebagai bukti bahwa seolah muncul garis pantai baru dilihat dari citra satelit atau pengindraan jauh.
“Begitu di citra satelit muncul [garis] putih-putih, itu diklaim sebagai tanah timbul,” kata sumber itu.
Sumber tersebut menduga pengajuan kavling laut terkait dengan proyek pagar bambu. Dugaan ini muncul sebab butir keempat isi surat perusahaan jasa perizinan kepada KKP menyinggung mengenai pembuatan cerucuk bambu, yakni susunan tiang bambu yang ditancapkan ke tanah.
“Pertimbangan untuk dilakukannya kesesuaian ruang pada lokasi yang akan dimohonkan meliputi perbaikan struktur pantai yang mengalami abrasi … Perbaikan akan dilakukan secara tradisional dengan cara membentuk cerucuk dari bahan bambu menjadi sekatan-sekatan dan tanggul agar dapat teridentifikasi menjadi bidang-bidang,” demikian isi surat pada butir keempat.
Surat permohonan Septian itu ditolak KKP. Dalam surat jawaban pada 11 November 2024, Plt. Direktur Perencanaan Ruang Laut Suharyanto menyatakan, hasil overlay citra satelit terhadap lokasi girik yang diklaim di 16 desa menunjukkan bahwa sejak tahun 1990 wilayah itu sudah berupa laut.
Dengan demikian, isi surat itu menegaskan bahwa “Permohonan penyesuaian batas administrasi wilayah di Kabupaten Tangerang yang terdapat di ruang laut menjadi tidak memiliki dasar.”
KKP dalam suratnya juga mencantumkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010 bahwa ruang laut tidak boleh diberikan hak kepemilikan.
Namun, menurut Guru Besar Hukum Agraria UGM Nurhasan Ismail, hak atas tanah di perairan sebetulnya masih dimungkinkan. Ia mencontohkan masyarakat Suku Bajo yang mendapat HGB pada 2022 dan 2023. Walau demikian, penerbitan HGB tersebut harus sesuai prosedur, yakni terlebih dahulu mengantongi Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) dari KKP.
Terkait surat-menyurat di atas, kumparan telah berkali-kali menghubungi Septian maupun rekannya, Chandra Eka Agung, ke nomor kontak yang dicantumkan di surat mereka ke DKP dan KKP. Namun tak ada respons sampai saat ini. Adapun Muannas tak menjawab saat dikonfirmasi soal sosok Septian.
Abrasi Pesisir Tangerang Tak Signifikan
Surat para kepala desa di pesisir Tangerang maupun Septian menyebut bahwa tanah seluas 1.500 hektare di 16 desa hilang karena abrasi. Benarkah demikian?
Kepala BIG Aris Marfai menyatakan, berdasarkan peta rupa bumi Indonesia (RBI) tahun 2001 (yang dasarnya foto udara 1993) maupun peta RBI terkini, memang terdapat beberapa bagian di pesisir Tangerang yang terkena abrasi. Namun daerah yang terkena abrasi itu masih dekat dengan darat, tidak sampai batas luar pagar laut.
“Mulai tahun 90-an dipastikan sebagian besar [lokasi] yang berpolemik sudah berada di laut,” kata Aris.
Ia lantas menunjukkan perbandingan garis pantai di peta RBI 2001, RBI 2024, dan batas pagar laut. Di situ terlihat wilayah yang terkena abrasi ada di Desa Pagedangan Ilir, Mauk Barat, Ketapang, Marga Mulya, Sukawali, dan Kramat.
Namun, abrasi di desa-desa itu hanya kurang dari 200 meter. Khusus di Desa Kohod yang memiliki SHGB dan SHM di laut, abrasinya justru sangat kecil.
Malahan, ada pula wilayah yang bahkan mengalami akresi atau penambahan daratan karena sedimentasi muara Sungai Cisadane. Peristiwa ini terjadi di Desa Tanjung Burung dan Tanjung Pasir.
Menteri ATR Nusron Wahid mengatakan, SHGB dan SHM di wilayah laut Desa Kohod diajukan berdasarkan klaim girik tahun 1982. Oleh sebab itu, menurut Dirjen Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah Kementerian ATR Asnaedi, benar atau tidaknya klaim tersebut—bahwa pada 1982 laut Tangerang yang dipagari merupakan sawah dan tambak—hanya dapat diputuskan oleh Badan Informasi Geospasial.
Aris menjelaskan, data terlama yang dimiliki BIG adalah peta udara 1993. Dengan demikian, ujarnya, pihak yang menerbitkan sertifikat di laut Tangerang harus punya rujukan kuat untuk menopang argumennya yang mengeklaim laut sebagai daratan.
Setelah BIG dan Kementerian ATR/BPN berkoordinasi untuk membandingkan daerah yang diklaim terkena abrasi dengan peta garis pantai terkini, hal tersebut menjadi acuan bagi Kementerian ATR untuk membatalkan SHGB dan SHM di perairan Kohod.
Badan Informasi Geospasial siap jika ditugasi untuk menelusuri peta lama sebelum 1990-an. Sementara soal sertifikat di laut yang didasarkan pada girik lama tahun 1982, Aris berpendapat hal itu perlu diselesaikan dengan PP 43 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Ketidaksesuaian Tata Ruang, Kawasan Hutan, Izin, dan/atau Hak Atas Tanah.
Direktur Rujak Center for Urban Studies, Elisa Sutanudjadja, menilai alasan abrasi di Kohod dengan klaim girik 1982 mustahil, sebab jika merujuk ke citra satelit Google Earth—walau yang bisa dilihat paling lama tahun 1985—tampak bahwa abrasi di pesisir Tangerang tak mungkin sebegitu dahsyat. Malahan, jika membandingkan garis pantai tahun 1985 dan 2024, perubahan di pantai Kohod justru tidak sebanyak di sejumlah desa pain.
kumparan juga menelusuri pengindraan jauh di kawasan Kohod pada masa lalu. Dari citra satelit Landsat 1-5 MSS C2 L1, terlihat bahwa pada 1978 (empat tahun sebelum klaim tanah girik muncul) garis pantai di desa itu tidak banyak berubah.
Elisa menduga alibi abrasi merupakan upaya untuk menyalahgunakan Peraturan Menteri ATR tentang Tata Cara Penetapan Tanah Musnah. Aturan tersebut memberikan kesempatan kepada orang yang dirugikan karena tanahnya musnah imbas peristiwa alam untuk dapat mengeklaim kembali tanahnya.
Syarat klaimnya harus membuktikan kemampuan untuk memulihkan kembali tanahnya, salah satunya dengan reklamasi. Aturan inilah yang rentan disalahgunakan.
“Jika pihak itu mampu mereklamasi dan mempunyai bukti-bukti kepemilikan tanah, dia bisa mengeklaim walau bukan warga terkait. Ini persis dengan yang terjadi di Tangerang,” kata Elisa.
Hebohnya sertifikat di atas laut membuat Menteri ATR Nusron bergerak. Kementeriannya membatalkan sekitar 50 bidang sertifikat di perairan Tangerang.
Menanggapi hal itu, Agung Sedayu Group yang dua anak usahanya memiliki kavling-kavling bersertifikat di zona pagar laut, akan mematuhinya.
“Apa pun keputusan pemerintah, kami ikuti,” ucap Muannas selaku kuasa hukum.
Selain membatalkan sertifikat, Kementerian ATR juga mengusut apakah terjadi pelanggaran dalam penerbitan SHGB maupun SHM di laut Tangerang. Saat ini ada 4 pejabat ATR yang diperiksa internal, termasuk Kepala Pertanahan, Kepala Seksi 1, dan Kepala Seksi 2.
Mengenai dalang pembuat pagar laut, Polda Banten menyerahkan penanganan pidana kasusnya ke KKP yang masih menyelidiki dan belum menyebut nama tertentu,
Dalam rapat dengan Komisi IV DPR, Kamis (23/1), Menteri KKP Sakti Wahyu Trenggono berjanji menuntaskan kasus pagar laut dalam sepekan.
“Kementerian tidak perlu takut dengan oligarki karena DPR ada di belakang kementerian,” ujar Ketua Komisi IV DPR Siti Hediati Hariyadi alias Titiek Soeharto.