Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Masyarakat Uighur yang tinggal di Xinjiang, China, tengah menjadi perbincangan. Kebebasan mereka dilaporkan berbagai media dan lembaga HAM direnggut dalam kamp-kamp konsentrasi. Sontak aksi solidaritas Uighur digelar di negara-negara mayoritas Muslim, termasuk Indonesia.
ADVERTISEMENT
Oya, memang laporannya seperti apa?
Laporan ini sebenarnya muncul sejak pertengahan tahun ini, diberitakan berbagai media arusutama dunia, salah satunya Associated Press yang mengutip saksi mata dan bekas korban yang mengaku dipenjara selama beberapa bulan, menerima perlakuan buruk di dalamnya.
Beberapa bulan berselang, pada September 2018, lembaga Human Right Watch menerbitkan laporan panjang berjudul "Menghapuskan Virus Ideologi" soal penjara di terhadap Muslim Uighur. Amnesty International menyebut penjara ini dalam tulisannya "Dunia di Balik Kamp 'Neraka' Xinjiang, China" telah mencerai-beraikan banyak keluarga di Xinjiang.
Media Prancis AFP pada Oktober lalu melaporkan, penjara itu dijaga oleh ribuan sipir yang bersenjatakan tongkat baton, gas air mata, atau pistol kejut. Selain dikelilingi tembok beton, penjara itu juga dipagari kawat berduri dan kamera infra merah.
ADVERTISEMENT
Mereka yang disekap di penjara ini sebagian besar adalah orang-orang yang dituduh ekstremis atau pernah berhubungan dengan kelompok radikal. Kebanyakan tuduhan ini tidak terbukti, hanya prasangka lantaran warga Uighur itu pernah ke negara-negara yang dianggap sensitif terorisme, salah satunya Indonesia .
Dalam laporan Komisi Kongres Amerika Serikat untuk China pada Juli lalu, warga Uighur juga disiksa secara fisik dan mental di penjara ini. Siksaan yang diterima seperti waterboarding, disekap di sel isolasi tanpa makan dan minum, dan dilarang tidur.
Kongres AS menyebut kamp ini sebagai "tahanan massal terbesar bagi warga minoritas di seluruh dunia saat ini".
Yang benar? Apa kata China?
Ketika laporan itu pertama kali muncul, China membantahnya dengan keras, mengatakan tidak pernah ada penjara semacam itu. Salah satu yang membantahnya adalah Duta Besar China untuk Indonesia Xiao Qian ketika dikonfirmasi kumparan pada Mei lalu.
ADVERTISEMENT
"Itu berita palsu. Laporan itu direkayasa," kata Xiao seraya mengatakan China menjunjung kebebasan beragama.
Namun setelah berbagai laporan lainnya bermunculan, termasuk desakan dari negara-negara Barat seperti Amerika Serikat, Eropa, dan Kanada, terlebih setelah dikonfrontir di PBB, akhirnya China mengaku.
Tapi China mengatakan kamp itu bukanlah penjara, melainkan lembaga pendidikan untuk menampung dan mendidik para pelaku kejahatan kecil. Dalihnya, tempat itu adalah tempat deradikalisasi orang-orang yang teracuni paham terorisme.
Wakil Menteri Luar Negeri China Le Yucheng mengatakan, seperti dikutip Wall Street Journal , kamp itu untuk memberikan keterampilan kerja untuk warga Uighur sembari membantu dunia memberantas terorisme.
Laporan ini lantas menjadi kontroversi karena tidak adanya bukti yang konkret. Pemerintah China membantah, tapi banyak kesaksian yang mengatakan sebaliknya. Sementara dunia mengecam China.
ADVERTISEMENT
Para Senator di AS mendorong pemerintahan Presiden Donald Trump untuk menjatuhkan sanksi kepada China. Berbagai aksi solidaritas bagi Uighur juga digelar, di antaranya di Turki dan Indonesia.
Kenapa banyak yang mengecam?
Pertama, karena berbagai laporan para korban kepada media dan lembaga HAM terpercaya. Kedua, lantaran dalam sejarahnya represi dan diskriminasi telah dilaporkan terjadi bertahun-tahun terhadap warga Uighur di Xinjiang.
Xinjiang dianggap sebagai zona panas bagi China. Pada 2009 terjadi kerusuhan besar akibat konflik antara Uighur dan etnis Han di kota Urumqi, ibu kota Xinjiang. Sekitar 200 orang tewas dan ratusan lainnya terluka dalam peristiwa yang disebut terpicu akibat diskriminasi terhadap Uighur itu.
Etnis Han, apa itu?
Di Xinjiang ada 10 juta etnis Uighur dan warga Muslim lainnya. Terletak di perbatasan dengan Kazakhstan, Kyrgyzstan, dan Mongolia, Xinjiang yang dikuasai China sejak 1949 adalah wilayah yang kaya minyak.
ADVERTISEMENT
Xinjiang juga dilintasi Jalur Sutra yang akan kembali dibangkitkan oleh China melalui investasi triliunan dolar.
Karena peluang yang besar, ditambah pemerataan, Han yang merupakan etnis mayoritas di China berdatangan ke Xinjiang. Menurut sensus pada 2000, warga Han mencakup 40 persen dari populasi Xinjiang.
Menyusul kerusuhan 2009, China memperketat pengawasan di Xinjiang. Pemerintah Beijing menyalahkan kelompok separatis yang memicu kekerasan. Dengan dalih "de-ektremisasi", China memberangus kebebasan warga Uighur dalam menjalankan agamanya secara penuh, hal ini disampaikan oleh lembaga Uyghur Human Rights Project.
Seperti apa pemberangusan kebebasannya?
Beragam. Di antaranya seperti yang diberitakan BBC pada 2017, pemerintah kota-kota di Xinjiang melarang warga Uighur menumbuhkan jenggot terlalu panjang, tidak boleh memakai cadar, tidak boleh melarang menonton televisi pemerintah, dan tidak boleh melarang anak-anak sekolah di sekolah pemerintah.
ADVERTISEMENT
Dengan alasan deradikalisasi, warga Uighur pada 2017 juga dilarang menamakan anak-anak mereka dengan nama-nama Islami. Di antaranya: Islam, Quran, Makkah, Jihad, Imam, Saddam, Haji, dan Madinah.
Pemerintah Xinjiang juga melarang pegawai negeri Muslim untuk berpuasa di bulan Ramadan. Larangan ini selalu muncul setiap tahun.
Kiranya pernyataan warga Uighur di Australia, Almas Nizamidin, dikutip dari ABC , ini menggambarkan kondisi mereka di Xinjiang: "Di Xinjiang, adalah kejahatan besar untuk jadi Uighur, menjadi etnis minoritas. Orang-orang seperti domba yang tunggu dipotong, kehilangan harapan."
Semua ini disebut tidak terlepas dari kepemimpinan tangan besi Chen Quanguo.
Chen Quanguo, siapa dia?
Chen Quanguo adalah Sekretaris Partai Komunis untuk Xinjiang yang dipilih pada 2016. Sebelumnya dia dikenal berhasil meredam separatisme di Tibet, wilayah China lainnya yang mendapatkan represi.
ADVERTISEMENT
Menurut South China Morning Post , Chen ingin menggunakan strategi yang sama di Xinjiang seperti dia melakukannya di Tibet. Di antaranya adalah pengawasan yang melekat, meningkatkan jumlah polisi, dan menerapkan sistem kisi-kisi untuk membagi masyarakat.
Dengan sistem kisi-kisi ini, seperti yang dijabarkan Economist, Chen membagi kota menjadi wilayah berkotak-kotak yang setiap kotaknya 500 warga Uighur. Setiap kotaknya ada pos polisi untuk menjaga mereka. Hal ini diterapkan di perkotaan maupun perdesaan Xinjiang.
Pos-pos pemeriksaan tersebar di banyak tempat. Warga Uighur harus memindai kartu identifikasi mereka di setiap stasiun kereta dan di jalan keluar dan masuk kota. Economist menyebut sistem ini "Aparteid dengan karakteristik China", pelesetan dari slogan "Sosialisme dengan karakteristik China".
ADVERTISEMENT
Wah, lantas Indonesia berbuat apa?
Pemerintah Indonesia tidak tinggal diam menanggapi laporan penjara bagi jutaan warga Uighur. Wakil Presiden Jusuf Kalla telah meminta Duta Besar RI di China Djauhari Oratmangun memastikan apakah benar ada pelanggaran HAM di Xinjiang.
"Memerintahkan dubes kita di Beijing untuk melihat keadaan sebenarnya di Xinjiang itu, untuk melaporkan segera, untuk pemerintah memberikan sikapnya," kata JK pada 20 Desember lalu.
Hasilnya?
Belum ada laporan dari Kedutaan Besar RI di China.