Saat JK Bicara Pendidikan RI: Kritik Mendikbud hingga Kurikulum Merdeka

8 September 2024 8:05 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Wakil presiden ke 10 dan 12, Jusuf Kalla pada acara Diskusi Kelompok Terpumpun dengan tajuk "Menggugat Kebijakan Anggaran Pendidikan" bersama Kemendikbudristek di Hotel Sheraton Gandaria City, Jakarta, Sabtu (7/9/2024). Foto: Luthfi Humam/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Wakil presiden ke 10 dan 12, Jusuf Kalla pada acara Diskusi Kelompok Terpumpun dengan tajuk "Menggugat Kebijakan Anggaran Pendidikan" bersama Kemendikbudristek di Hotel Sheraton Gandaria City, Jakarta, Sabtu (7/9/2024). Foto: Luthfi Humam/kumparan
ADVERTISEMENT
Wakil Presiden ke-10 dan 12, Jusuf Kalla (JK) menghadiri diskusi bertajuk “Menggugat Kebijakan Anggaran Pendidikan” yang digelar di Hotel Sheraton Gandaria City, Jakarta, Sabtu (7/9).
ADVERTISEMENT
Di sana ia menyampaikan sejumlah keritik untuk pendidikan di Indonesia.
Berikut rangkumannya:

Cerita Cucunya Tidak Ada yang Sekolah di Sekolah Negeri

Wakil presiden ke 10 dan 12, Jusuf Kalla pada acara Diskusi Kelompok Terpumpun dengan tajuk "Menggugat Kebijakan Anggaran Pendidikan" bersama Kemendikbudristek di Hotel Sheraton Gandaria City, Jakarta, Sabtu (7/9/2024). Foto: Luthfi Humam/kumparan
JK menceritakan bahwa cucunya tidak ada yang menempuh pendidikan di sekolah negeri.
Mulanya, JK mengungkapkan bahwa pola masyarakat memandang pendidikan sudah berubah. Di perkotaan atau urban, lebih banyak yang menyekolahkan anaknya ke sekolah swasta dibanding negeri.
“Saya tanya tadi Pak Jimly ‘berapa cucu? 7’, ‘berapa sekolah negeri? Tidak ada’,” kata JK pada acara tersebut yang digelar di Hotel Sheraton Gandaria City, Jakarta, Sabtu (7/9).
“Sama saya, 15 cucu tidak ada satu sekolah negeri,” lanjutnya.
JK bercerita bahwa ia pernah meminta kepada anaknya untuk menyekolahkan cucunya ke sekolah negeri. Namun, anak JK lebih memilih menyekolahkan anaknya ke sekolah swasta.
ADVERTISEMENT
JK lantas menyebut bahwa tak masalah pendidikan di mana pun baik di sekolah swasta maupun di negeri. "Jadi sebenarnya masyarakat itu bisa bayar sebenarnya, selama bayar jadi biarlah makin banyak swasta," ujarnya.
Selain itu, JK juga kemudian mengatakan bahwa Indonesia jangan mencontoh Finlandia ataupun Singapura karena jumlah penduduk dengan pendapatan per kapitanya berbeda. Ia memberi saran agar Indonesia bisa mencontohkan pendidikan seperti India dengan penduduk yang tak kalah banyak dengan Indonesia, tapi bisa menerbitkan tokoh-tokoh dunia.

JK Kritik Nadiem

Mendikbudristek Nadiem Makarim raker dengan Komisi X DPR tentang UKT, Selasa (21/5/2024). Foto: YouTube Komisi X DPR
Jusuf Kalla mengkritik Mendikbudristek, Nadiem Makarim. Kemendikbudristek, kata JK, memiliki cakupan yang sangat luas sehingga memerlukan orang yang benar-benar kompeten.
Mulanya, JK menyinggung terkait menteri-menteri pendidikan terdahulu seperti Muhajir Effendy, Prof. Muhammad Nuh, hingga Anies Baswedan. Ia menilai tokoh-tokoh tersebut memang tokoh yang mengerti akan pendidikan.
ADVERTISEMENT
“Ada Muhajir, ada Prof. Nuh Rektor ITS, ada Anies Rektor Paramadina, ada kemudian Mas Nadiem yang tidak punya pengalaman pendidikan, tidak pernah datang ke daerah, jarang ke kantor,” kata JK dalam acara diskusi bertajuk “Menggugat Kebijakan Anggaran Pendidikan” yang digelar di Hotel Sheraton Gandaria City, Jakarta, Sabtu (7/9).
Ucapan JK itu disambut tertawa dan tepuk tangan sebagian hadirin. "[Saya] Minta maaf, Sekjen," ujar JK.
JK mengungkapkan bahwa Kemendikbudristek saat ini cakupannya tak hanya pendidikan. Ia menilai bahwa Kementerian tersebut tidak akan maju apabila Menterinya jarang “ngantor”.
JK mengaku beberapa kali meminta bertemu dengan Nadiem untuk membahas hal tersebut. Tapi, hal tersebut belum juga terlaksana.
Selain itu, JK juga mengatakan, agar ke depan posisi menteri tersebut bisa diisi oleh orang-orang yang benar kompeten pada pemerintahan berikutnya.
ADVERTISEMENT
JK lantas menyinggung soal tema diskusi tersebut yakni soal belanja wajib atau mandatory spending anggaran pendidikan yang juga turut dihadiri oleh pimpinan Komisi X DPR tersebut. Sebagai pengusaha, JK mengatakan bahwa bakal memilih direktur perusahaan yang kompeten terlebih dahulu dibanding memusingkan anggaran.
“Kalau saya punya perusahaan, yang pertama saya siapkan di Dirut yang terbaik, bukan berapa anggarannya, dirutnya gimana itu? COO-nya gimana? baru kita bicara program, baru kita bicara anggaran,” tutup JK.
Belum ada tanggapan dari Nadiem mengenai kritikan dari Jusuf Kalla tersebut.

JK Kritik Kurikulum Merdeka

Ilustrasi gedung sekolah. Foto: Shutter Stock
Jusuf Kalla mengkritik kebijakan kurikulum merdeka yang digagas oleh Mendikbudristek, Nadiem Makarim. JK menilai bahwa dirinya konservatif soal pendidikan.
Menurutnya kurikulum itu membuat anak-anak jadi tidak belajar. Sebab sudah tidak ada Ujian Nasional (UN).
ADVERTISEMENT
"Saya konservatif, anak itu, kita ini, kita semua pernah sekolah kan? kapan kita belajar? kan mau ujian, ya, kan. Kalau tidak ada ujiannya, kapan belajarnya?" kata JK, dalam acara diskusi bertajuk “Menggugat Kebijakan Anggaran Pendidikan” yang digelar di Hotel Sheraton Gandaria City, Jakarta, Sabtu (7/9).
"Kampus merdeka, apa merdekanya? tidak merdeka aja tidak belajar, apalagi merdeka," tambahnya.
Menurut JK, jangan asal menerapkan kurikulum untuk seluruh sekolah di Indonesia. Baginya Ujian Nasional juga tidak akan membuat seluruh siswa stres.
JK menerangkan jumlah SMK saat ini begitu banyak. Tapi lulusannya tidak bekerja sesuai kejuruannya.
“Kita punya luar biasa bikin SMK dia buat SMK sekarang di Indonesia 10 ribu swasta, 5 ribu pemerintah, tapi 75 persen caddy di lapangan golf tamatan SMK, siapa suka golf boleh tanya 75 persen caddy tamatan SMK,” kata JK.
ADVERTISEMENT
JK menilai hal tersebut terjadi karena ada kesalahan pada dua faktor yakni ekonomi dan juga pendidikan.
“Dua-duanya salah, ekonomi kita tidak berkembang akhirnya mereka sekolah SMK tidak ada kerjaan atau mereka tamat asal tamat sehingga tidak bisa bekerja mengembangkan ekonomi,” ujarnya.

JK Jelaskan Apa yang Jadi Dasar Anggaran Pendidikan 20 Persen dari APBN

DipTalk bersama Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Jusuf Kalla. Foto: Dicky Adam Sidiq/kumparan
JK menjelaskan awal mula atau yang menjadi dasar anggaran pendidikan 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Anggaran tersebut ramai dibicarakan setelah Menkeu Sri Mulyani meminta Badan Anggaran (Banggar) DPR memformulasi ulang acuan belanja wajib atau mandatory spending anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari pagu belanja APBN.
JK mengatakan yang menjadi rujukan penetapan anggaran tersebut adalah UUD 1945 pasal 31 dan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
ADVERTISEMENT
“Sebenarnya juga terjadi awal-awalnya. Pada saat UU nomor 20 itu sebagai lanjutan dari pada Undang-Undang Dasar 31. Dalam Undang-Undang Dasar 31, satu-satunya angka yang ada hanya angka pendidikan. Yang lainnya normal. Tapi yang ada angka pasti adalah pendidikan,” ungkap JK dalam Diskusi Kelompok Terpumpun dengan tajuk Menggugat Kebijakan Anggaran Pendidikan bersama Kemendikburistek di Hotel Sheraton Gandaria City, Jakarta, Sabtu (7/9).
JK mengungkapkan tidak banyak negara di dunia yang memasukkan besaran angka anggaran pendidikan dalam sebuah UU. Sedangkan Indonesia lewat UU Nomr 20 Tahun 2003 memasukkan angka anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN.
“Hanya tiga negara di dunia ini yang ada angkanya pendidikan itu. Kita ikut juga. Kalau tidak salah di China, Taiwan. Jadi angka minimum lagi. Hanya bisa lebih tidak boleh kurang. Jadi sedikit sejarah ini. Itu tahun 2003. Saya ikut sebagai main government untuk di DPR hadir dalam diskusi debat panas bagaimana kita menyetujui UU nomor 20 ini. Akhirnya dicapai persetujuan,” ujar JK.
ADVERTISEMENT
Namun, dua tahun setelah aturan tersebut disepakati atau pada 2005, pemerintah tidak bisa mencapai alokasi APBN sebesar 20 persen untuk anggaran pendidikan. JK melihat dalam kondisi tersebut pemerintah saat itu bisa disalahkan.
JK saat itu melihat tidak tercapainya alokasi 20 persen APBN ke anggaran pendidikan karena unsur guru tidak masuk ke dalam alokasi anggaran tersebut. Menurut JK, guru merupakan salah satu infrastruktur pendidikan yang seharusnya masuk ke alokasi.
“Padahal guru jelas untuk pendidikan. Jadi karena itu pendidikan saya bilang ada unsur infrastruktur pendidikan, sekolah dan sebagainya. Ada guru yang benar-benar penting, ada sistem kurikulum, dan ada murid. Kan di situ 4 faktor di pendidikan itu. Objeknya murid, siswa, mahasiswa. Guru dikeluarkan dari undang-undang pendidikan. Maka sampai akhir hayat pun tidak mungkin dicapai 20 persen,” jelas JK.
ADVERTISEMENT
Sehingga pada 2006 melalui berbagai pendekatan dan diskusi dengan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) sampai pembahasan di Mahkamah Konstitusi (MK), guru masuk ke dalam alokasi. Hasilnya alokasi 20 persen APBN untuk pendidikan bisa tercapai.