Saat Wacana Kepala Daerah Dipilih DPRD Tuai Kritik

15 Desember 2024 7:07 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Raker pemerintah, kepala daerah dan DPRD. Foto: Jihad Akbar/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Raker pemerintah, kepala daerah dan DPRD. Foto: Jihad Akbar/kumparan
ADVERTISEMENT
Wacana Ketum Golkar, Bahlil Lahadalia yang disambut positif Presiden Prabowo, yang menyebut bakal menyerahkan pemilihan kepala daerah kepada para anggota DPRD menuai polemik. Beberapa menyebut langkah ini adalah kemunduran demokrasi hingga tak menyelesaikan masalah.
ADVERTISEMENT
Prabowo sendiri mengusulkan wacana ini, karena ia melihat tingginya biaya yang dikeluarkan para kontestan atau penyelenggara pilkada terlalu tinggi. Bahkan tembus triliunan rupiah.
Lantas, apakah dengan menyerahkan wewenang kepada DPRD untuk memilih kepala daerah menyelesaikan berarti menghemat ongkos?, berikut kumparan rangkum beberapa pendapatnya:

Feri Amsari: Katanya Dievaluasi, Kok Sudah Disimpulkan Harus ke DPRD?

Pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Feri Amsari mengkritisi wacana itu. Kata Feri, pelaksanaan pilkada akan dievaluasi lebih dulu.
Tapi, belum ada kabar evaluasi berjalan, Presiden Prabowo justru melempar wacana untuk menyerahkannya ke DPRD.
"Katanya Pilkada dievaluasi tapi kok sudah disimpulkan saja harus ke DPRD," kata Feri dalam unggahan di akun media sosial pribadinya, @feriamsari, dikutip Sabtu (14/12). kumparan telah mendapatkan izin untuk mengutip pernyataan Feri tersebut.
Pakar Hukum Tata Negara, Feri Amsari, dalam program Info A1 kumparan. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
"Pilih parlemen bahkan serentak dibela oleh menteri-menteri dan pendukungnya. Sekali ini pula perlu dievaluasi tapi kesimpulan sudah didapat. Sumber referensinya Bahlil," lanjut dia.
ADVERTISEMENT
Feri menyoroti komentar Prabowo yang ingin meniru Malaysia, Singapura, hingga India. Kata Feri, negara itu punya pemerintahan yang beda dengan Indonesia.
Malaysia, contohnya. Mereka menggunakan sistem parlementer.
"Malaysia itu [sistem pemerintahannya] parlementer. Eksekutifnya bercampur dengan parlemen, jadi pasti otomatis dipilih parlemen berdasarkan mayoritas pilihan rakyat," tutur dia.
"Kalau contoh Malaysia, maka Presiden tidak ada. Mau emang? Jadi negara Malaysia itu konsepnya beda. Bertentangan betul," ucapnya.

ICW: Usulan Kepala Daerah Dipilih DPRD Tidak Selesaikan Masalah

Staf Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Seira Tamara, merespons usulan diubahnya sistem pilkada serentak menjadi lewat DPRD. Mereka menyoroti komentar Prabowo yang menyebut tingginya ongkos politik pada penyelenggaraan pilkada.
Tapi, persoalan biaya politik yang tinggi itu justru digelontorkan sebagai mahar politik dan untuk jual beli suara.
ADVERTISEMENT
"Pertama harus diingat bahwa yang berkontribusi dalam hal itu adalah politik uang dalam bentuk mahar politik (dari paslon ke partai untuk dapat tiket pencalonan), dan jual beli suara (paslon dengan pemilih)," ujar Seira saat dihubungi, Sabtu (14/12).
Staf Divisi Korupsi Politik ICW, Seira Tamara. Foto: Jonathan Devin/kumparan
Oleh karenanya, wacana perubahan sistem tersebut justru tidak menyelesaikan masalah utamanya.
"Dengan persoalan ini, maka menjadikan Pilkada oleh DPRD tidak menyelesaikan masalah utama, tapi memindahkan letak distribusi uangnya saja," kata dia.
arena dengan dipilih oleh DPRD, bukan tidak mungkin uang-uang di bawah meja ini malah jadi lebih besar," jelasnya.

Wacana Kepala Daerah Dipilih DPRD Dinilai sebagai Kemunduran Demokrasi

Selain tak menyelesaikan masalah utama soal ongkos politik, wacana ini juga berarti kemunduran demokrasi yang ada pada rakyat Indonesia. Hal itu disampaikan oleh Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Iwan Setiawan.
ADVERTISEMENT
Iwan menilai meski bisa lebih efisien dalam anggaran, pemilihan kepala daerah (Pilkada) melalui DPRD sebagai sebuah kemunduran demokrasi karena menghilangkan hak partisipasi politik masyarakat.
"Bagi saya, Pemilihan Kepala Daerah dikembalikan ke DPRD merupakan kemunduran demokrasi. Nilai demokrasi tertinggi itu adalah ketika rakyat dengan bebas menyalurkan pilihannya langsung untuk menentukan pemimpinnya," ujar Iwan saat dihubungi, Sabtu (14/12).
Ilustrasi tinta di jari usai ikut Pemilu 2024. Foto: Shutterstock
Ia menyebut, biaya politik yang tinggi tak bisa dijadikan alasan utama untuk mengubah sistem Pilkada di Indonesia. Meski begitu, ia tak menampik bahwa tingginya biaya politik diperlukan dalam kontestasi Pilkada di Indonesia. Namun, menurut dia, justru pelaksanaan sistem Pilkada saat ini saja yang harus dievaluasi dan terus diperbaiki.
"Yang bikin mahal itu, kan, money politic yang masih subur, bagi-bagi sembako. Para elite-nya masih menyuburkan stigma bahwa untuk menang harus bayar suara, borong partai, dan lain-lain. Akhirnya masyarakat juga terbawa-bawa," jelas dia.
ADVERTISEMENT
"Tinggal yang begini diperbaiki. Dicari formula yang baik, efektif, dan efisien dalam pelaksanaan Pilkada langsung ini. Bukan malah mau dikembalikan ke DPRD," imbuhnya.

Wamendagri Bima Arya soal Usul Kepala Daerah Dipilih DPRD: Perlu Kajian

Wamendagri Bima Arya menyebut pilkada serentak harus dievaluasi. Komentar politikus PAN itu menanggapi usulan Ketum Golkar Bahlil Lahadalia yang direspons baik oleh Presiden Prabowo.
Menurut Bima, Pilkada telah membuat besarnya biaya politik yang dikeluarkan oleh para calon. Ia pun melihat komentar Prabowo adalah serapan aspirasi.
"Presiden betul-betul mencermati aspirasi yang sangat kuat dari banyak pihak mengenai sistem pemilihan kita yang berbiaya tinggi," ujar Bima Arya saat dihubungi, Sabtu (14/12).
Wamendagri Bima Arya menjawab pertanyaan wartawan di Kantor KPU RI, Jakarta Pusat, Rabu (13/11/2024). Foto: Alya Zahra/kumparan
"Banyak data mengenai besarnya yang harus dikeluarkan untuk pemilihan legislatif maupun pemilihan kepala daerah," lanjut dia.
Bima mengaku pihaknya banyak menerima data terkait biaya yang diperlukan untuk pencalonan DPRD hingga di Pilkada. Untuk DPRD misalnya, ia mengungkapkan biaya yang dikeluarkan mencapai Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar.
ADVERTISEMENT
Sementara untuk pencalonan Pilkada, kata Bima, bisa mencapai puluhan miliar. Bahkan, bisa melewati angka Rp 1 triliun. Kondisi tersebut dinilai Bima tidak sehat dan perlu evaluasi.
"Jelas ini tidak sehat dan merusak sistem politik dan demokrasi kita. Harus ada evaluasi menyeluruh," ucap dia.

Respons Pramono Anung dan Rano Karno soal Wacana Kepala Daerah Dipilih DPRD

Pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Jakarta nomor urut 3, Pramono Anung-Rano Karno juga ditanyai mengenai wacana ini.
Pram enggan menjawab pertanyaan tersebut. Karena ia belum dilantik.
"Dilantik aja belum. Dilantik aja belum sehingga tidak perlu berwacana apa pun," kata Pramono usai bertemu dengan Rais Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DKI Jakarta, KH Muhyidin Ishaq di kediaman pribadinya di Jl. H. Nawi II, Gandaria Selatan, Sabtu (14/12).
Calon Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung - Rano Karno, di acara Apel Siaga Warga Kawal TPS, Lapangan Blok S, Jakarta Selatan, Kamis (21/11/2024). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Sementara Rano Karno atau Si Doel menyebut pelaksanaan pilkada yang mahal itu karena pemenuhan asas jujur dan adil.
ADVERTISEMENT
"Kita pilih Pilkada itu, kan, dengan asas. Asas [Pilkada] itu, kan, jurdil (jujur dan adil). Ini, kan, memang yang terasa, ini, kan, memang biaya besar. Waktunya lama," ujar Doel kepada wartawan di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (14/12).
"Kenapa berasa? Kita mulai dari Pileg, loh. Pileg, Pilpres, Pilkada. Waduh, memang lelah, lelah," kata dia.
"Makanya, kan, Pak Prabowo juga bilang capek gitu, panjang. Jadi, nanti kita pikirkan mana yang terbaik buat Indonesia," imbuhnya.