SBY Terima Informasi MK Segera Putuskan Gugatan Sistem Pemilu

18 Februari 2023 21:24 WIB
ยท
waktu baca 6 menit
Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan keterangan pers terkait KLB Partai Demokrat di Puri Cikeas, Bogor, Jawa Barat, Jumat (5/3/2021). Foto: Asprilla Dwi Adha/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan keterangan pers terkait KLB Partai Demokrat di Puri Cikeas, Bogor, Jawa Barat, Jumat (5/3/2021). Foto: Asprilla Dwi Adha/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengatakan dirinya mendapat informasi hakim Mahkamah Konstitusi akan segera memutus gugatan UU Pemilu yang saat ini sedang berjalan.
ADVERTISEMENT
SBY mengatakan, dirinya tertarik dengan isu gugatan UU Pemilu ini karena menyangkut sistem Pemilu.
"Saya mulai tertarik dengan isu penggantian sistem Pemilu, dari sistem proporsional terbuka menjadi sistem proporsional tertutup," kata SBY dikutip dari akun Facebooknya, Sabtu (18/2).
"Informasinya, Mahkamah Konstitusi (MK) akan segera memutus mana yang hendak dipilih dan kemudian dijalankan di negeri ini. Sebelum yang lain, dari sini saya sudah memiliki satu catatan," lanjut dia.
SBY mempertanyakan apakah benar sebuah sistem Pemilu akan diubah dan diganti ketika proses Pemilu sudah dimulai sesuai dengan agenda dan "time-line" yang ditetapkan oleh KPU.
"Tepatkah di tengah perjalanan yang telah direncanakan dan dipersiapkan dengan baik itu, utamanya oleh partai-partai politik peserta pemilu, tiba-tiba sebuah aturan yang sangat fundamental dilakukan perubahan? Ini tentu dengan asumsi bahwa MK akan memutuskan sistem proporsional tertutup yang mesti dianut dalam Pemilu 2024 yang tengah berjalan saat ini," ucap dia.
ADVERTISEMENT
"Apakah saat ini, ketika proses Pemilu telah berlangsung, ada sebuah kegentingan di negara kita, seperti situasi krisis tahun 1998 dulu misalnya, sehingga sistem pemilu mesti diganti di tengah jalan," lanjut SBY.
SBY menjelaskan, mengubah sebuah sistem tentu amat dimungkinkan. Namun, di masa 'tenang', akan bagus jika dilakukan perembugan bersama, ketimbang mengambil jalan pintas melakukan judicial review ke MK.
"Sangat mungkin sistem pemilu Indonesia bisa kita sempurnakan, karena saya juga melihat sejumlah elemen yang perlu ditata lebih baik. Namun, janganlah upaya penyempurnaannya hanya bergerak dari terbuka-tertutup semata," jelas SBY.
Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tiba di Pendopo Puri Cikeas, Bogor, Senin (9/9). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
SBY menuturkan, dalam tatanan kehidupan bernegara yang baik dan dalam sistem demokrasi yang sehat, ada semacam konvensi baik yang bersifat tertulis maupun tidak.
ADVERTISEMENT
"Apa yang saya maksud? Jika kita hendak melakukan perubahan yang bersifat fundamental, misalnya konstitusi, bentuk negara serta sistem pemerintahan dan sistem pemilu, pada hakikatnya rakyat perlu diajak bicara. Perlu dilibatkan," ucap SBY.
""Ada yang menggunakan sistem referendum yang formal maupun jajak pendapat yang tidak terlalu formal. Menurut saya, lembaga-lembaga negara, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif tidak boleh begitu saja menggunakan kekuasaan (power) yang dimilikinya dan kemudian melakukan perubahan yang sangat mendasar yang berkaitan dengan 'hajat hidup rakyat secara keseluruhan'," jelas SBY.
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (kiri) memimpin jalannya sidang sidang pleno perkara nomor 114/PUU-XX/2022 terkait uji materi UU Pemilu soal sistem pemilihan legislatif proporsional terbuka di Gedung MK, Jakarta. Foto: Aditya Pradana Putra/Antara Foto
SBY berpendapat, mengubah sistem Pemilu itu bukan keputusan dan bukan pula kebijakan (policy) biasa yang lazim dilakukan dalam proses dan kegiatan manajemen nasional (kebijakan pembangunan misalnya).
"Bagaimanapun rakyat perlu diajak bicara. Kita harus membuka diri dan mau mendengar pandangan pihak lain, utamanya rakyat," kata SBY.
ADVERTISEMENT
"Mengatakan "itu urusan saya dan saya yang punya kuasa", untuk semua urusan, tentu tidaklah bijak. Sama halnya dengan hukum politik "yang kuat dan besar mesti menang, yang lemah dan kecil ya harus kalah", tentu juga bukan pilihan kita," tutur dia.
SBY menyebut, hal yang telah dijelaskan tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Sebab consensus building yang sering diwujudkan dalam musyawarah untuk mufakat, berdialog dan berembuk, take and give, merupakan nilai-nilai yang diwariskan oleh para pendiri republik dahulu.
"Saya mempelajari secara mendalam, bagaimana dengan cerdas dan arifnya, founding fathers kita ~ Bung Karno, Bung Hatta, Yamin, Supomo, Ki Bagus dan lain-lain, bersedia untuk berembuk dan saling mendengar untuk merumuskan dasar-dasar negara baru (Republik Indonesia) yang dinilai paling tepat," ucap SBY.
Warga menggunakan hak politiknya ketika mengikuti Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilu 2019 di TPS 02, Pasar Baru, Jakarta, Sabtu (27/4). Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

Rakyat Perlu Penjelasan Terkait Sistem Pemilu

ADVERTISEMENT
SBY mengatakan, rakyat memang sangat perlu diberikan penjelasan yang gamblang tentang rencana penggantian sistem Pemilu itu. Apanya yang berbeda antara sistem terbuka dengan sistem tertutup. Mereka harus tahu bahwa kalau yang digunakan adalah sistem proporsional tertutup, mereka harus memilih parpol yang diinginkan.
"Selanjutnya partai politiklah yang hakikatnya menentukan kemudian siapa orang yang akan jadi wakil mereka. Sementara, jika sistem proporsional terbuka yang dianut, rakyat bisa memilih partainya, bisa memilih orang yang dipercayai bisa menjadi wakilnya, atau keduanya-partai dan orangnya," kata SBY.
"Rakyat sungguh perlu diberikan penjelasan tentang rencana penggantian sistem pemilu ini, karena dalam pemilihan umum merekalah yang paling berdaulat. Inilah jiwa dan napas dari sistem demokrasi," kata SBY.
Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tiba di Pendopo Puri Cikeas, Bogor, Senin (9/9). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
SBY menjelaskan, dirinya tidak ingin menyampaikan pikirannya tentang mana yang paling tepat antara sistem proporsional tertutup versus sistem proporsional terbuka. Meski begitu, dirinya punya sejumlah pandangan dan pemikiran, namun bukan itu inti tulisan singkat saya ini.
ADVERTISEMENT
"Saya hanya ingin mengingatkan bahwa perkara besar yang tengah ditangani oleh MK ini adalah isu fundamental, hakikatnya salah satu "fundamental consensus" dalam perjalanan kita sebagai bangsa. Apalagi, putusan MK bersifat final dan mengikat. Bagaimana jika putusan MK itu keliru? Tentu bukan sejarah seperti itu yang diinginkan oleh MK, maupun generasi bangsa saat ini," kata SBY.
'Mungkin ada yang bicara, "tidak ada yang tidak bisa diubah di negeri ini". Konstitusi pun bisa saja diubah. Demikian juga sistem pemilu. Pendapat demikian tidaklah salah, dan saya pun amat mengerti," jelas dia.
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (kedua kiri) memimpin jalannya sidang pengujian materiil UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan agenda pembacaan amar putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Selasa (31/1/2023). Foto: Indrianto Eko Suwarso/Antara Foto
Lebih jauh, SBY mengatakan dirinya hanya ingin mengingatkan kepada masyarakat. Jika konstitusi, undang-undang dan juga sistem pemilu hendak diubah; mengapa dan bagaimana semua itu diubah.
ADVERTISEMENT
"Bangsa yang maju dalam tatanan kehidupan yang baik, mesti mengedepankan pentingnya "what, why, how". Dalam perjalanan ke depan, negeri ini harus memiliki budaya untuk selalu mengedepankan "the power of reason"," kata SBY.
"Begitulah karakter bangsa yang maju dan rasional. Permasalahan bangsa mesti dilihat secara utuh dan seraya tetap berorientasi ke depan, serta untuk memenuhi aspirasi besar rakyatnya. Bukan pikiran dan tindakan musiman, apalagi jika bertentangan dengan kehendak dan pikiran bersama kita sebagai bangsa," tutup dia.
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (tengah) memimpin jalannya sidang sidang pleno perkara nomor 114/PUU-XX/2022 terkait uji materi UU Pemilu soal sistem pemilihan legislatif proporsional terbuka di Gedung MK, Jakarta. Foto: Aditya Pradana Putra/Antara Foto

Gugatan UU Pemilu

ADVERTISEMENT
Sistem Pemilu dalam UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 saat ini digugat ke MK oleh 6 orang karena dianggap bertentangan dengan UUD. Mereka adalah:
ADVERTISEMENT
Para pemohon mendalilkan bahwa sistem pemilu proporsional berbasis suara terbanyak, telah dibajak oleh caleg pragmatis yang hanya bermodal popular dan menjual diri tanpa ada ikatan ideologis dengan partai politik.
Akibatnya, saat terpilih menjadi anggota DPR/DPRD seolah-olah bukan mewakili partai politik namun mewakili diri sendiri.
"Oleh karena itu, seharusnya ada otoritas kepartaian yang menentukan siapa saja yang layak menjadi wakil partai di parlemen setelah mengikuti pendidikan politik, kaderisasi, dan pembinaan ideologi partai," ucap kuasa hukum pemohon, Sururudin.
Sistem terbuka juga dianggap membuat biaya politik sangat mahal dan melahirkan masalah yang multikompleks. Yakni, menciptakan model kompetisi antarcaleg yang mendorong caleg melakukan kecurangan termasuk dengan pemberian uang pada panitia penyelenggara pemilihan.
Setelah gugatan ini menjadi polemik, 8 partai politik yakni Golkar, Demokrat, PKB, NasDem, PKS, Gerindra, PAN, dan PPP menyatakan menolak Pemilu proporsional tertutup.
ADVERTISEMENT
Bahkan NasDem dan PKS mengajukan diri menjadi pihak terkait dalam gugatan ini.
Sementara Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan, pemerintah tidak akan bersikap dalam gugatan ini. Pemerintah akan menunggu dan menjalankan putusan MK.