Sederet Polemik Perbedaan Bonus para Juara Dunia

26 Juli 2018 13:26 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Fauzan dan Juara Dunia yang Terlupakan (Foto: Muhammad Faisal Nu'man/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Fauzan dan Juara Dunia yang Terlupakan (Foto: Muhammad Faisal Nu'man/kumparan)
ADVERTISEMENT
Masyarakat Indonesia seakan dihujani kejutan dengan hadirnya atlet-atlet muda berprestasi. Sebagian langsung viral, seperti Lalu Muhammad Zohri atlet lari junior dan Fauzan Noor atlet karate tradisional, sedangkan sejumlah atlet lainnya tak cukup tersorot.
ADVERTISEMENT
Nama Zohri dan Fauzan tak hanya tenar setelah menjuarai kejuaran dunia, namun juga luput dari perhatian secara finansial dan fasilitas dari Kemenpora.
Seiring dengan ketenaran yang serba tiba-tiba, Kemenpora mendapat berbagai laporan juga hujatan. Kemenpora dianggap telat memberikan apresiasi serta tak memfasilitasi atlet-atlet berbakat Indonesia.
Perlakuan pada setiap atlet berprestasi juga tak merata. Zohri yang menjadi juara dunia pada 11 Juli langsung diganjar bonus Rp 250 juta, sedangkan Fauzan yang menjadi juara dunia pada Januari, baru menerima bonus bulan Juli dengan nilai yang jauh berbeda, yakni Rp 40 juta.
Juara dunia lainnya juga menerima bonus berbeda-beda. Samantha Edithso (10), juara dunia catur junior meraih Rp 40 juta sedangkan Jevon Kuswoyo yang menjadi juara dunia wushu junior meraih Rp 200 juta.
ADVERTISEMENT
Lain lagi dengan Aries Susanti Rahayu, juara dunia panjat tebing, dan Ni Nengah Widiasih juara dunia angkat berat difabel. Aries hanya dijanjikan bonus yang nilainya belum disebutkan, sedangkan Ni Nengah Widiasih tak menerima bonus apapun.
“Tidak ada. Kalau single event memang tidak pernah dapat bonus,” ujar Widi, sapaan akrab Ni Nengah Widiasih, saat dikonfirmasi terpisah, Rabu (25/7).
Fauzan juara dunia karate (Foto: Dokumentasi kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Fauzan juara dunia karate (Foto: Dokumentasi kumparan)
Dalam kasus Fauzan, Kemenpora meminta maaf karena terlambat hingga 6 bulan dalam memberikan apresiasi. Menurut Sesmenpora Gatot S Dewa Broto, ada sejumlah faktor yang mempengaruhi, salah satunya kondisi finansial pemerintah.
"Kami juga melihat kapasitas kondisi keuangan yang kami miliki, penginnya ya makin banyak atlet yang kita berikan penghargaan tapi kalau keterbatasan anggaran, kan akan mempersulit," ujar Gatot saat ditemui Senin (23/7).
ADVERTISEMENT
Untuk mengatasi anggaran yang terbatas Kemenpora terus menjalin kerja sama dengan banyak perusahaan sehingga bisa memberikan apresiasi kepada banyak atlet berprestasi di Indonesia.
"Tapi okelah, the show must go on. Dan ini menggambarkan bahwa pemerintah itu hadir seperti yang diperintahkan Presiden Jokowi," lanjut Gatot.
Selain soal anggaran, keterlambatan penghargaan untuk Fauzan karena federasi yang diikutinya tidak terdaftar dalam Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI).
Fauzan yang merupakan atlet karate tradisional berlindung dalam naungan Federasi Karate Tradisional Indonesia (FKTI). Sedangkan cabang olahraga karate yang diakui KONI adalah Federasi Olahraga Karatedo Indonesia (FORKI).
Gatot menyebut, karate tradisional tidak termasuk olahraga prestasi, melainkan olahraga rekreasi. Organisasi yang menaunginyapun bukan KONI melainkan Federasi Olahraga Rekreasi Masyarakat Indonesia (FORMI).
Sesmenpora Gatot S Dewabroto. (Foto: Yudhistira Amran Saleh/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Sesmenpora Gatot S Dewabroto. (Foto: Yudhistira Amran Saleh/kumparan)
Menurut UU Sistem Keolahragaan Nasional (SKN) nomor 3 tahun 2005, olahraga di Indonesia dibagi 3 yakni prestasi, rekreasi, dan pendidikan. Gatot mengakui, selama ini yang menjadi fokus pemerintah dan paling banyak disorot publik adalah olahraga prestasi.
ADVERTISEMENT
“Karena yang dihitung publik itu perolehan medali, juara atau enggak. Nah itulah pentingnya olahraga prestasi. Bukan berarti kami mengabaikan olahraga rekreasi atau pendidikan wong sama-sama diatur oleh UU,” tuturnya.
Itulah yang menyebabkan pemberian bonus kepada para atlet berbeda-beda meski mereka sama-sama meraih gelar juara dunia.
“Kan harus ada skala prioritas. Kalau skala prioritasnya di prestasi ya otomatis anggarannya lebih banyak,” katanya.
Namun Gatot membantah sikap Kemenpora yang dinilai tidak adil kepada semua atlet berprestasi. Dalam kasus Fauzan, dia menyebut tak ada laporan apa pun ke Kemenpora. Meski demikian, Gatot mengakui ada sistem yang harus dibenahi dalam urusan olahraga khususnya pada pembinaan atlet.
“Bukan tidak adil, karena mereka (pihak Fauzan dan FKTI) juga tidak melaporkan pada kami kok. Makanya saya katakan perlu ada Pertap yang harus disusun ya,” katanya.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya Gatot mengimbau para atlet yang akan berlomba di berbagai kejuaraan untuk melaporkan kegiatannya ke pemerintah.
"Bukan berarti kalau mereka lapor ke pemerintah itu lalu dibayar dan dikasih uang, tapi at least, keberadaan mereka dan prestasinya itu seperti apa itu yang perlu kami atur secara khusus," tutur Gatot.
"Karena regulasinya yang ada itu baru mengatur misalnya di UU mengatur tentang kewajiban memberikan penghargaan, di bawah itu ada PP-nya, di bawah itu ada Perpresnya nomor 44 tahun 2014 soal penghargaan atlet ada Kemenpora juga," lanjutnya.
Gatot berujar, para atlet tidak perlu khawatir soal masa depan dan fokus menorehkan prestasi. Sebab perhatian pemerintah kepada para atlet kini terus ditingkatkan
ADVERTISEMENT
"Bahkan tahun ini akan lebih spesial karena ada proses CPNS, kemudian setelah Asian Games ada juga bonus rumah dan sebagainya. Ini untuk mematahkan asumsi bahwa sebagai atlet itu masa depannya enggak jelas," ujar Gatot.
Simak selengkapnya perjuangan para juara dunia dalam topik Zohri dan Juara Dunia.